[Tanya Jawab] Membaiat Khalifah Tanpa Penerapan Syariat
Oleh: Ustaz M. Shiddiq Al Jawi
MuslimahNews.com, TANYA JAWAB – Tanya: Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasanya dia mengaku sudah membaiat atau memiliki khalifah. Meskipun ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dan sebagainya, dia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Karena menurut dia, yang penting adalah membaiat atau mengangkat khalifah dulu, soal perangkatnya (wilayah, militer, dan lain-lain) menyusul. Jika harus menunggu militer dan wilayah dulu ada, maka akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliah. Jadi, angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut dia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadis Rasul saw., “Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berbaiat kepada khalifah, maka matinya mati jahiliah.” (HR Muslim)
Pertanyaan saya:
1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi di atas, yang penting “person khalifah” dulu, bukan “wilayah atau kekuasaan”?
2. Bagaimana penjelasan soal hadis yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi?
Mohon ustaz berkenan untuk menjawabnya. (Hamba Allah, Bumi Allah).
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan tentang “khalifah”, perlu diketahui lebih dulu apa definisi “khalifah” secara syar’i, yaitu pengertian khalifah sebagaimana dimaksudkan oleh nas-nas syariat (Al-Qur’an dan As-Sunah).
Definisi khalifah secara syar’i adalah:
هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان وفي تنفيذ الأحكام الشرعية
(Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan atau kekuasaan [as sulthaan] dan dalam penerapan hukum-hukum syariat).
Demikian diterangkan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum–rahimahullah–dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab “Al-Khalifah”, halaman 49.
Jadi, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syarak di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Khalifah dalam definisi syar’i inilah yang dimaksud dalam hadis tersebut (“Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berbaiat kepada khalifah maka matinya mati jahiliah.“)
Maka dari itu, kalau seseorang diangkat sebagai khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syarak, sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar’i. Membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariat kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syarak karena telah menyalahi nas-nas syarak dalam Al-Qur’an dan As-Sunah yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syariat. Untuk apa khalifah dibaiat kalau bukan untuk menjalankan kekuasaan dan menerapkan hukum-hukum syariat?
Memang benar, bahwa wajib setiap muslim mempunyai baiat di lehernya kepada khalifah dan bahwa kalau seorang muslim tidak mempunyai baiat kepada khalifah, matinya adalah mati jahiliah (mati dengan dosa besar, bukan mati kafir). Tapi ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memerhatikan syarat-syarat syar’i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah.
Sama halnya dengan salat yang merupakan kewajiban atas setiap muslim, di mana siapa pun muslim yang tidak mau salat diancam Allah Swt. akan masuk ke dalam neraka Saqar (QS Al Mudatstsir : 42-43). Namun ini tidak berarti seorang muslim boleh salat secara sembarangan tanpa memerhatikan syarat-syarat sah salat, misalnya salat tanpa menutup aurat, tanpa wudu, dan sebagainya.
Perlu diperhatikan bahwa kekeliruan mendasar teman anda–hadaanallahu wa iyyahu—(semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan dia) adalah dia tidak mampu membedakan antara mengangkat khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah). Kedua hal ini berbeda.
Mengangkat khalifah adalah mengangkat seseorang menjadi khalifah. Ini tidak otomatis membuat tegak sistem Khilafah (ketika Khilafahnya tidak ada, seperti sekarang). Tapi menegakkan Khilafah (iqamatul Khilafah) secara otomatis akan berimplikasi adanya pengangkatan khalifah (nashbul khalifah).
Padahal, masalah yang dihadapi umat Islam saat ini setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekadar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah). Sementara teman anda mempunyai pemahaman dasar, bahwa masalah yang perlu dipecahkan hanya sekadar mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tanpa memerhatikan apakah negara Khilafah-nya ada atau tidak. Di sinilah pangkal kekeliruan teman Anda. (Lengkapnya lihat kitab Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, karya Wali Al-Fattah).
Dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam Syaikh Abdul Qadim Zalum, menerangkan bahwa untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah. Yaitu seorang khalifah itu wajib memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) Muslim,
(2) Laki-laki,
(3) Balig,
(4) Berakal,
(5) Adil (tidak fasik),
(6) Merdeka (bukan budak), dan
(7) Mampu. (Abdul Qadim Zalum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 50-53).
Sedangkan untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), maka suatu negeri (al balad, al quthr) wajib memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu;
Pertama, kekuasaan yang ada pada negeri (al-balad) tersebut wajib merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali negara kafir.
Kedua, keamanan (al-amaan) di negeri tersebut berada di tangan kaum muslimin, baik di dalam negeri atau di luar negeri.
Ketiga, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syarak di dalam negeri dan segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri.
Keempat, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in’iqad (baiat pengangkatan khalifah), yaitu ketujuh syarat untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) yang telah disebutkan di atas, yaitu muslim, laki-laki, balig, berakal, adil (tidak fasik), merdeka (bukan budak), dan mampu. (Abdul Qadim Zalum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 59-60).
Demikianlah penjelasan kami secara garis besar saja. Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syaikh Abdul Qadim Zalum. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya. Aamiin. [MNews/Rgl]