Opini

Pajak Diperas, Sumber Daya Alam Dilepas, Apakah ini Kebijakan Waras?

Ketika banyak orang kehilangan nyawa, keluarga, pekerjaan, maupun kesulitan dalam memenuhi kehidupan, negara justru tega menaikkan pajak. Sungguh, hal ini terasa tidak waras.

Penulis : Asy Syifa Ummu Sidiq

MuslimahNews.com, OPINIMasa kejayaan kerajaan di Eropa akhirnya mengalami keruntuhan. Penyebabnya pemungutan pajak yang sangat menggigit rakyat. Tekanan yang terjadi, menyulut api penolakan dari para intelektual sehingga lahirlah aturan baru yang mengagungkan kebebasan.

Kondisi itu kembali berulang. Kini, rakyat diperas bagai sapi perah melalui kenaikan pajak. Pemerintah dan DPR RI akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada April 2022. Tidak sampai di situ, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menambahkan, PPN akan kembali naik menjadi 12% pada 2025. (kompas.com, 7/10/21).

Selain kenaikan pajak PPN, Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). Peraturan itu menjelaskan, meskipun NIK otomatis menjadi NPWP, tidak akan menjadikan warga negara langsung ditarik pajak. Upaya ini hanya untuk memudahkan secara administrasi. Walhasil, tidak ada satu orang WP yang bisa mangkir dari tagihan pajak. (kompas.com, 10/10/21).

Rantai yang Mengikat

Keputusan yang berlaku itu seakan menjadi rantai yang mengikat leher rakyat. Pemangku kebijakan kelihatan mencari pendapatan sedetail-detailnya. Ibarat rakyat bersembunyi, petugas akan mencarinya hingga ke lubang jarum di tumpukan jerami.

Baca juga:  Bocornya Pandora Papers, Rakyat Hanya Kebagian Apes

Padahal, dalam kondisi saat ini rakyat nampak hidup segan mati pun tak mau. Mengapa? Karena mereka hidup dalam kesulitan di tengah wabah Covid-19 yang masih menyisakan lara. Ketika banyak orang kehilangan nyawa, keluarga, pekerjaan, maupun kesulitan dalam memenuhi kehidupan, negara justru tega menaikkan pajak. Sungguh, hal ini terasa tidak waras.

Ironinya di kesempatan yang lain, negara malah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPn-BM) dengan alasan mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal, orang-orang yang mampu membeli mobil atau barang mewah lainnya pasti kaya dan tidak terkena imbas wabah.

Pajak Penopang Ekonomi Kapitalisme

Apa yang terjadi saat ini memperlihatkan pada kita bahwa pemerintah nampak menjadikan pajak sebagai penopang perekonomian. Hal itu wajar saja terjadi karena sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara.

Sebenarnya ada sumber pendapatan lain, seperti sumber saya alam (SDA). Sayangnya, pengelolaan SDA mayoritas diserahkan kepada asing, contohnya tambang emas di Papua yang dikuasai Freeport, geothermal di Gunung Salak yang dikuasai Chevron, dan lainnya. Kalaupun milik negara, mayoritas diprivatisasi oleh oknum-oknum tertentu, seperti tambang batu bara di Kalimantan yang dimiliki para pengusaha sekaligus penguasa negeri ini.    

Baca juga:  [Editorial] Rakyat Terus Dipalak, Apa Kata Dunia?

Hasilnya, pendapatan yang masuk dari segmen ini sangat sedikit. Sehingga, pemerintah tidak dapat mengandalkannya sebagai pendapatan tetap. Oleh karena itu, kesempatan yang dapat dilakukan hanya dengan menarik pajak dalam segala lini.

Beginilah sistem kapitalisme, pandangan hidup berdasarkan pada sekularisme yaitu menjadikan aturan manusia sebagai poros. Kebahagiaan tertinggi ketika mendapatkan materi sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan hal yang lain. Jadi, pemerintahan yang menganut sistem ekonomi ini akan berpikir tidak ada cara mendapatkan uang selain dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya.

Rakyat Tidak akan Tinggal Diam

Apabila kebijakan ini dibiarkan tanpa ada rem yang pakem, di mana pajak makin menginjak-injak, maka rakyat tidak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha mencari jalan untuk mengubah sistem kapitalisme ini. Pada saat itu terjadi, sistem ekonomi yang berbasis pajak ini akan runtuh.

Hancurnya tatanan ekonomi kapitalistik harus diganti oleh tata aturan baru. Islam datang menawarkan sistem ekonominya. Dalam Islam, pengelolaan pendapatan negara tidak ditopang pada pajak. Namun, diperoleh dari beberapa pos, di antaranya hasil pengelolaan SDA, jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah, harta tak bertuan, dan lainnya. Dengan demikian, kas negara akan cukup membiayai kebutuhan rakyat.

Hanya saja, adakalanya kas negara kosong karena suatu hal. Islam membolehkan menarik dharabah (seperti pajak) pada rakyat. Akan tetapi penarikan tersebut tidak dilakukan kepada semua rakyat, hanya muslim dan memiliki kelebihan harta yang akan membayar dharabah. Adapun ketika kas negara sudah cukup, dharabah akan dihentikan.

Baca juga:  [Quote] Pajak yang Menghancurkan

Selain itu, ada perbedaan pengelolaan SDA dalam Islam dan kapitalisme. Jika kapitalisme memperbolehkan privatisasi, maka Islam justru melarang. Dalam Islam, pengelolaan SDA harus dilakukan oleh negara karena SDA adalah milik rakyat. Sebagaimana dalam hadis,

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Itulah kebijakan Islam dalam masalah ekonomi keuangan. Sistem ini hanya bisa berjalan kalau ada negara yang mau menerapkannya. Negara tersebut adalah institusi yang mau tunduk dengan aturan Islam. Sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah saw., para sahabat dan para khalifah setelahnya. Dengan demikian terang sudah masalah ini. Agar rakyat terbebas dari jeratan pajak dan SDA pun kembali kepada yang berhak, hanya Islam yang dapat menyelesaikan dengan bijak.[MNews/Ruh]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *