Mungkinkah Ekonomi Syariah di Tengah Sistem Kapitalisme Berkah dan Menyolusi?

Mampukah ekonomi syariah dalam bingkai kapitalisme demokrasi menjadi solusi masalah negeri ini? Apakah keberkahan Allah tercurah melalui sistem “ekonomi syariah” versi kapitalisme?

Penulis: Zikra Asril

MuslimahNews.com, FOKUS — Wapres Ma’ruf Amin mengatakan Indonesia berpotensi menjadi negara terbesar untuk sektor ekonomi dan keuangan syariah. Potensi tersebut terdiri dari sektor keuangan, produk dan makanan halal, fesyen muslim, dana sosial Islam, serta usaha atau bisnis syariah.

Sandiaga Uno pun menegaskan Indonesia menargetkan menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada 2025, terutama di sektor halal. Alasannya, pengeluaran sektor halal di Indonesia pada 2019 mencapai USD220 miliar dolar. Pada 2025 angka tersebut diproyeksi bertambah hingga USD330,5 miliar dolar.

Selain itu, pandemi makin meningkatkan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Studi Inventure-Alvara menunjukkan, akibat pandemi, 58% masyarakat memilih lembaga keuangan syariah. Namun, ada kondisi anomali, perkembangan ekonomi syariah ini hadir dalam sistem ekonomi kapitalisme. Begitu pun secara sistem politik yang masih menganut demokrasi, sedangkan politik dan ekonomi suatu negara sangat ditentukan ideologi negaranya.

Pertanyaannya, mampukah ekonomi syariah dalam bingkai kapitalisme demokrasi menjadi solusi masalah negeri ini? Apakah keberkahan Allah tercurah melalui sistem “ekonomi syariah versi ini”?

Lahir dari Sekularisme

Melihat peluang besar ekonomi syariah pascapandemi, RUU Ekonomi Syariah ditetapkan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 di DPR RI. Bahkan, dalam situsnya, DPR menyatakan masuknya RUU Ekonomi Syariah dapat menjadi udara segar di tengah gencarnya isu ketakadilan ekonomi yang muncul dari RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengatakan, perjuangan panjang RUU Ekonomi Syariah diharapkan dapat menjadi payung atas UU bernapaskan syariah yang sudah ada, seperti UU Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat, dan UU Jaminan Produk Halal. Menurut Wakil Ketua BAKN DPR RI ini, perekonomian Indonesia sekarang sangat rentan mengakibatkan ketakadilan, seperti dominasi segelintir orang atas penguasaan ekonomi daripada masyarakat banyak. Akibatnya, ketimpangan ekonomi menjadi problem utama masyarakat.

Namun, perkembangan sejarah panjang lahirnya istilah “ekonomi syariah” di negeri ini, sampai kemunculan RUU-nya, tak bisa lepas dari sekularisme, yakni ada dikotomi antara ekonomi konvensional dan syariah. Begitu pun adanya RUU Ekonomi Syariah dan UU lain berbasis kapitalisme, seperti RUU KUP dan sebagainya. Hal ini tentu mengonfirmasi bahwa akidah yang menjadi landasan lahirnya ekonomi syariah adalah sekularisme yang merupakan akidahnya kapitalisme.

Dwi Condro Triono dalam buku Ekonomi Islam Madzhab Hamfara, menjelaskan fakta ekonomi syariah saat ini lahir dari metode islamisasi ekonomi kapitalisme. Dengan kata lain, kapitalisme yang berlabel syariah dengan cara menghilangkan riba dan menambahkan variabel zakat, wakaf, dan produk halal. Padahal, seharusnya bangunan ekonomi syariah itu lahir dari akidah Islam dan dari menggali dalil-dalil syariat. Selain itu, sistem politiknya yang masih demokrasi menunjukkan “ekonomi syariah”-nya sejatinya adalah ekonomi kapitalisme itu sendiri.

Membajak Kerinduan Umat terhadap Aturan Syariat

Kapitalisme dengan akidah sekulernya memang mampu berkolaborasi dengan ide yang lahir dari selainnya. Asas manfaat dan pragmatisme yang menjadi standar ideologi ini menjadi kunci keberhasilannya keluar dari krisis yang selalu menerpanya. Begitu pula dengan krisis ekonomi akibat pandemi, menuntut kapitalisme untuk selalu bertransformasi agar tetap eksis.

Sebagaimana penjelasan Profesor Ekonomi Universitas Oxford Paul Collier, harus mengelola kapitalisme agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang telah berubah; tidak harus menolak atau menghilangkan semua yang ada dalam kapitalisme. Menurutnya, kebijakan yang ada haruslah berlandaskan prinsip bahwa kebijakan tersebut dapat terimplementasikan dan memberi hasil nyata.

Dalam banyak kasus, kebijakan sering mendasarkan pada pemikiran ideologi semata, tanpa melihat apakah kebijakan tersebut benar-benar dapat terlaksana dan mampu mendatangkan kemakmuran yang nyata bagi masyarakat. Dalam hal ini, memerlukan pragmatisme agar hasil dari kebijakan benar-benar dapat secara nyata dinikmati masyarakat luas.1

Hal ini pula yang membuat kapitalisme “membajak” syariah untuk kepentingannya, karena melihat realitas masyarakat di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia berupa kerinduan hidup dengan aturan syariat agar meraih berkah Allah Ta’ala.

Menkeu Sri Mulyani mengakui hal ini, yang melihat potensi industri syariah sebagai target perekonomian Indonesia, karena melihat realitas masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim saat ini makin berkeinginan dan bergaya hidup yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.

Peluang inilah yang kapitalisme bajak dengan  memberikan tempat bagi aturan syariah, selama aturan itu mampu mendatangkan cuan baginya. Sebaliknya, jika aturan syariat itu meredupkan atau mematikannya, kapitalisme akan menutup peluang kemunculannya.

Dwi Condro Triono bahkan mengatakan, sistem ekonomi kapitalisme ibarat pedang bermata dua. Jika sistem ekonomi ini sakit, ia akan menimbulkan krisis ekonomi yang mampu meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi dunia. Namun, jika ia sehat, ia akan tumbuh menggurita dan menghegemoni dunia. Sehingga, ekonomi syariah menjadi “obat” bagi kondisi sekarang untuk meningkatkan kapitalisasi, tentu saja tidak lepas dari prinsip persaingan pasar bebasnya.

Kondisi inilah yang menjadi kekhawatiran Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah BI M. Anwar Bashori, bahwa Indonesia akan menjadi korban kapitalisasi pertumbuhan ekonomi syariah dunia apabila tidak memiliki strategi menghadapi persaingan ini. Sebab, ekonomi syariah telah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru yang tidak hanya dilirik negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Thailand misalnya, yang bervisi menjadi Dapur Halal Dunia, dan Korea Selatan dengan Destinasi Utama Pariwisata Halal.2

Oleh karena itu, apakah umat Islam rela jika niat hijrah untuk hidup dengan aturan Allah malah dijadikan komoditas untuk menguatkan modal para kapitalis?

Mengalihkan Arah Perjuangan

Tentu saja upaya sebagian umat Islam untuk memperjuangkan ekonomi syariah patut kita apresiasi, karena mereka berangkat dari semangat dakwah Islam. Namun, perjuangan dakwah saat ini tak bisa lepas dari benturan peradaban yang harus mereka hadapi.

Dalam menghadapi perang pemikiran ini, butuh ketajaman dan kejernihan pemikiran Islam, sehingga tidak terjebak dengan kaidah dan metode berpikir selain Islam. Sebab, syariat Islam hanya lahir dari akidah Islam dan dalil-dalil syarak, bukan yang lain. Begitu juga, tidak boleh mencocokkan syariat Islam dengan realitas yang berkembang di masyarakat, melainkan mengubah realitas tersebut sesuai arah syariat Islam.

Sesungguhnya, persoalan umat Islam saat ini adalah mereka tidak hidup dalam aturan Islam kafah. Padahal, Allah memerintahkan dalam surah Al-Baqarah: 208 bahwa umat Islam harus menerapkan aturan syariat secara sempurna, baik hablumminallah, hablumminannafs, dan hablumminannas; serta tataran individu, kelompok, maupun masyarakat dan negara.

Namun, semua itu tidak terlaksana saat ini, kapitalisme dengan akidah sekulernya telah mereduksi Islam hanya pada urusan ibadah. Walhasil, aturan bermasyarakat dan bernegara berdasarkan pada UU buatan manusia yang lahir dari ideologi kapitalisme. Akibatnya, terjadi banyak krisis di tengah masyarakat, termasuk krisis ekonomi, khususnya masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masyarakat.

Dalam riset bertajuk Virus Ketimpangan, Oxfam mencatat kekayaan 1.000 miliuner dunia sempat turun dari 9.150 miliar dolar AS pada Februari 2020 ke 6.432 miliar dolar AS pada Maret 2020. Akan tetapi, hanya dalam waktu sembilan bulan atau per November, kekayaan para miliuner sudah kembali ke level 9.139 miliar dolar AS. Dengan kata lain, selama periode kurang dari setahun, miliuner dunia berhasil menambah kekayaan sebesar 2.707 miliar dolar AS saat ekonomi dan bisnis lesu.

Realitas tersebut terjadi karena kebebasan hak milik merupakan salah satu pemikiran dasar kapitalisme dalam mengatur kepemilikan. Setiap individu berhak memiliki barang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (public property), seperti ladang minyak, tambang besar, pelabuhan, jalan, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan lain-lain.

Pembangunan yang bersandar pada paradigma inilah yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dengan demikian, solusi untuk menyelesaikannya adalah dengan meninggalkan paradigma kapitalisme, bukan dengan tambal sulam kapitalisme dan syariat Islam. Mustahil keduanya menyatu karena berasal dari akidah yang berbeda.

Oleh karenanya, arah perjuangan untuk mengolaborasikan kapitalisme dan syariat Islam dengan label ekonomi syariah hanya akan menjaga eksistensi kapitalisme itu sendiri, sedangkan syariat Islam kafah akan makin jauh dari pemikiran umat. Umat akan makin jauh dengan gambaran Islam kafah sebagai kewajiban yang harus diemban oleh setiap muslim. Mereka sudah merasa hidup dengan aturan syariah, padahal sejatinya itu kehidupan sekuler kapitalisme.

 Ekonomi Syariah Berkah Hanya Lahir dalam Sistem Khilafah

Syariat kafah hanya akan terwujud dalam sistem Khilafah yang akidahnya adalah Islam. Aturan yang diberlakukan adalah wahyu Allah. Dengan demikian, suasana yang terbangun adalah suasana iman di tengah negara, masyarakat, maupun individu.

Tujuan mereka beramal adalah meraih rida Allah, bukan materi atau manfaat semata. Di situlah akan turun keberkahan dari Allah. Sebagaimana janji-Nya dalam QS Al-A’raf: 96, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”

Begitu pun dalam bidang ekonomi, Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang mengatur hak kepemilikan individu, umum, dan negara, sehingga harta tidak didominasi individu tertentu.

Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menyengsarakan umat manusia.

Negara menerapkan politik ekonomi agar warga dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam. Dengan begitu, aturan syariah bukan menjadi komoditas untuk dikapitalisasi, tetapi untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Wallahu a’lam bishshawab. [MNews/Gz]

Catatan kaki:

1.https://katadata.co.id/maesaroh/finansial/610115ace8d3f/tren-hijrah-ke-ekonomi-syariah-semakin-bersemi-selama-pandemi

2.https://www.liputan6.com/bisnis/read/4587457/bi-indonesia-jangan-sampai-jadi-korban-kapitalisasi-ekonomi-syariah

3.https://tirto.id/pandemi-memperlebar-ketimpangan-kaya-miskin-di-indonesia-dan-dunia-f9JZ

4 komentar pada “Mungkinkah Ekonomi Syariah di Tengah Sistem Kapitalisme Berkah dan Menyolusi?

  • 17 Oktober 2021 pada 03:54
    Permalink

    Ekonomi berkah lahir dari sistem Islam

    Balas
  • 16 Oktober 2021 pada 17:27
    Permalink

    Islam mengatur seluruh aspek

    Balas
  • 15 Oktober 2021 pada 09:07
    Permalink

    Tak kan pernah bisa menerapkanx dlm bingkai sekuler, masalah baru akan muncul.lagi

    Balas
  • 15 Oktober 2021 pada 08:00
    Permalink

    Ekonomi syariah akan di manfaatkan oleh sistem kapitalisme. Ditengah terpuruknya sistem ekonomi Ribawi..
    Kapitalisme mau mengambil aturan Islam bagaikan makanan prasmanan, yang di suka/menguntungkan akan di manfaatkan, jika tidak akan di campakkan.
    Sungguh sangat berani mempermainkan hukum-hukum Allah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.