[Fikrul Islam] Pengertian Takdis

Kaum muslimin menyadari bahwa bertakdis kepada Allah adalah tindakan beribadah kepada-Nya dengan cara menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta tunduk dan pasrah terhadap apa pun yang tercantum dalam Al-Qur’anul Karim. Sedangkan menyucikan Nabi Muhammad saw. adalah dengan bertakzim dan memuliakan beliau dalam setiap kondisi dan keadaan.

Penulis: Muhammad Ismail

MuslimahNews.com, FIKRUL ISLAM – Takdis (penyucian) adalah tingkat penghormatan setulus hati yang paling tinggi, yang dapat dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain atau kepada suatu benda. Takdis dapat muncul akibat adanya dorongan perasaan manusia yang disertai dengan mafahim (yang tumbuh dari naluri manusia). Kadang-kadang takdis juga muncul akibat adanya dorongan pemikiran yang disertai dengan perasaan yang digerakkan oleh pemikiran tersebut.

Takdis terhadap berhala atau manusia super (tokoh-tokoh fiksi) adalah termasuk golongan yang pertama, yakni timbul dari perasaan yang disertai dengan mafahim (yang tumbuh dari naluri manusia) tentang ketuhanan atau sesuatu yang dianggap agung.

Sedangkan takdis terhadap Allah, dengan cara melakukan ibadah, tunduk dan pasrah terhadap hukum-hukum-Nya, termasuk yang terakhir, yaitu berasal dari hasil pemahaman akal bahwasanya Allah adalah satu-satunya Zat yang patut disembah; atau bahwasanya hukum-hukum tersebut berasal dari Allah, sehingga mewajibkan adanya sikap pasrah dan tunduk padanya. Dalam dua tindakan takdis tersebut, dorongan yang muncul dalam diri manusia disertai dengan perasaan naluri beragama (gharizah tadayyun), yaitu adanya perasaan lemah dan membutuhkan kepada Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta.

Takdis adalah sesuatu yang fitri dalam diri manusia, dan merupakan hasil manifestasi dari naluri beragama yang memiliki berbagai bentuk pengejawantahan. Bentuk tertinggi berupa ibadah. Bentuk-bentuk takdis lain misalnya adanya ketundukan, kekhusyukan, tindakan merendahkan diri, ataupun tindakan membesarkan dan mengagungkan sesuatu.

Perasaan manusia dapat digerakkan oleh takdis dengan goncangan yang lemah atau kuat sesuai dengan mafahim yang terikat dengan perasaan tersebut. Mafahim-lah yang menentukan tata cara takdis, dan menentukan kapan suatu takdis dilakukan atau ditinggalkan.

Oleh karena itu bisa saja terjadi kesalahan dalam mengalihkan takdis dari sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau mengalihkan pentakdisan dari Al-Khaliq kepada pentakdisan makhluk. Kadangkala, kesalahan dapat terjadi dalam tata cara takdis.

Seperti, seseorang yang mencium Al-Qur’an dan menganggap bahwa ia telah menyucikan Al-Qur’an. Padahal, tindakan dan ucapannya bertentangan dengan apa yang ia sucikan (Al-Qur’an); misalnya orang itu telah menyentuhnya tanpa berwudu, atau ia menyatakan bahwa Al-Qur’an sudah tidak layak lagi pada masa kini.

Jadi, dia melakukan takdis terhadap Al-Qur’an dengan cara menciumnya, walaupun tindakannya tersebut bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang sangat jelas maknanya, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci (dari hadas kecil atau hadas besar).” (QS Al Waaqi’ah: 79)

Atau, ia pun telah kufur akibat ucapannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an sudah tidak layak lagi. Berdasarkan hal ini, memang ada kemungkinan untuk menghilangkan atau mengalihkan takdis dari sesuatu kepada sesuatu yang lain; atau dengan memutarbalikkan fakta bahwa hanya amal perbuatan seseorang saja yang merupakan takdis, sedangkan yang lainnya tidak berkaitan dengan takdis; atau menganggap perbuatan lain tidak bertentangan dengan takdis.

Hilangnya/beralihnya takdis terjadi karena kesalahan yang muncul akibat perubahan mafahim. Dan hal ini sangat mudah terjadi pada kebanyakan manusia, terutama pada orang-orang yang sikap takdisnya muncul dari dorongan perasaan. Sebab mereka itu mudah sekali mengubah mafahim yang terikat dengan perasaan tersebut karena pada umumnya mafahim tersebut berasal dari naluri manusia yang bersifat pasrah (taslimiyah) dan mudah sekali hilang.

Adapun takdis yang lahir dari dorongan berpikir yang disertai dengan perasaan dan menggerakkan pemikiran tersebut sulit sekali menghilangkannya. Dan kalaupun mungkin hal ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan pemikiran yang lebih tinggi serta pandai dalam berhujah, meskipun ia akan menghadapi perlawanan keras, sebelum mampu menghilangkan/mengubah pemahamannya.

Oleh karena itu, takdis harus muncul dari dorongan berpikir yang disertai dengan perasaan, sehingga akan menjadi takdis yang kukuh, jauh dari kesalahan atau kesesatan. Takdis yang dilakukan oleh seorang muslim, kedudukannya sama seperti akidah, yang harus muncul dari akal. Takdis tersebut dilakukan karena dorongan dari akidah yang merupakan akidah aqliyah (keyakinan yang muncul setelah melalui proses berpikir, bukan kepercayaan yang membabi-buta, pent.).

Atas dasar hal ini harus dilakukan penetapan, siapa yang harus melakukan takdis, dan siapa yang harus disucikan. Di samping itu, jika telah ditetapkan adanya sesuatu yang wajib disucikan, maka di sini takdis harus dilakukan tanpa harus diperdebatkan lagi setelah ditetapkan keabsahannya, kecuali dalam keadaan adanya upaya meyakinkan orang lain untuk menyucikan sesuatu yang patut disucikan, sebab menerima adanya perdebatan dan pembahasan dalam masalah ini, setelah (sebelumnya) ditetapkan kebenaran takdis tersebut, berarti sikap tersebut bertentangan dengan takdis (yang telah ada dalam diri manusia).

Seperti halnya sikap menerima perdebatan dan pembahasan terhadap akidah, setelah (sebelumnya) dipastikan kebenaran akidah, berarti sikap tersebut bertentangan dengan akidah yang sudah ada. Yang harus dilakukan adalah meninggalkan pembahasan dalam akidah ataupun takdis dari cara filsafat (perdebatan) ke suatu perkara yang telah pasti kebenarannya (aksioma) disertai dengan ketundukan.

Begitu pula harus melakukan perubahan dalam takdis dari sekadar pembahasan filsafat menjadi suatu kebiasaan yang muncul secara otomatis. Jika tidak, maka tidak mungkin suatu akidah dapat terkonsentrasi dalam diri seseorang, selama ia masih melakukan perdebatan dalam masalah ini. Juga tidak akan muncul dorongan takdis terhadap sesuatu, selama masih ada perdebatan di dalamnya.

Dengan akalnya, kaum muslimin telah menyadari bahwa melakukan takdis kepada Allah adalah suatu tindakan beribadah kepada-Nya yang dilakukan dengan cara menaati perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta tunduk dan pasrah terhadap apa pun yang tercantum dalam Kalamullah yaitu Al-Qur’anul Karim.

Mereka pun menyadari (dengan akalnya) bahwa menyucikan Nabi Muhammad saw. adalah dengan bersifat takzim dan memuliakan beliau dalam setiap kondisi dan keadaan. Hal itu dilakukannya dengan menundukkan diri dan pasrah total terhadap apa yang terbukti kebenarannya dari hadis beliau dengan menganggap bahwa semua itu adalah wahyu dari Allah.

Oleh karena itu, takdis terhadap Al-Qur’an dan hadis Nabi dilakukan (pula) dengan pemikiran yang disertai dengan perasaan yang digerakkan oleh pemikiran tersebut. Al-Qur’an dan hadis memang harus disucikan, kemudian apa yang disucikan dijadikan suatu hal yang pasti kebenarannya dan tidak lagi menerima perdebatan atau dijadikan pembahasan di kalangan orang-orang yang sudah sangat memahami keharusan takdis terhadapnya.

Apabila seseorang berusaha mengalihkan takdis dari hadis Rasul saw., dan menakdiskan Al-Qur’an saja, hal seperti ini tidak dapat diterima, dan ia terjerumus dalam kekufuran. Atau ia menyucikan Al-Qur’an dengan cara menciumnya saja tetapi menganggap bahwa Al-Qur’an sudah tidak layak lagi pada masa kini. Dengan demikian takdis harus dilakukan dengan penuh pengagungan, ketundukan, dan kepasrahan secara total dan menyeluruh serta tidak menerima pembahasan/perdebatan lagi kecuali dalam keadaan meyakinkan orang lain terhadap asal-usul takdis.

Manusia, dilihat dari segi keberadaannya sebagai manusia, diciptakan secara fitri memiliki kecenderungan untuk menakdiskan sesuatu. Tidak mungkin ia dapat menghilangkan kecenderungan untuk menyucikan sesuatu yang ada dalam dirinya, meskipun mungkin saja dapat ditekan atau dialihkan.

Akidah aqliyah yang dipeluk oleh kaum muslimin telah memberikan ketentuan siapa yang harus melakukan takdis dan siapa yang harus disucikan. Manusia diciptakan secara fitri memiliki kecenderungan untuk menakdiskan sesuatu.

Bagi kaum muslimin, akal telah menentukan apa yang seharusnya disucikan dan bagaimana cara menyucikannya. Sama sekali manusia tidak akan mampu mematikan/menghilangkan takdis. Sebab hal itu telah menjadi satu kesatuan (bagian yang tak terpisahkan) dari proses penciptaannya sebagai manusia.

Kaum muslimin tidak boleh meninggalkan takdis terhadap sesuatu yang telah diwajibkan menyucikannya, karena termasuk kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Islam. Akan tetapi musuh-musuh Islam telah menyusupkan berbagai kekeliruan yang dapat menghilangkan takdis terhadap sesuatu yang telah diperintahkan oleh Islam untuk menyucikannya. Mereka pun telah mengubah arti takdis terhadap sesuatu, setelah mereka menemui kesulitan untuk menghilangkan takdis itu sama sekali (dari benak kaum muslimin).

Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban atas orang-orang yang sadar dari kalangan kaum muslimin untuk menjadikan takdis bersumber dari akidah Islam yang disertai dorongan berpikir, kemudian mengalihkan takdis tersebut menjadi suatu perkara yang telah pasti kebenarannya. Sehingga setiap muslim memiliki kemampuan menempati satu posisi dalam suatu celah dari sekian banyak celah perbentengan Islam, agar musuh-musuh Islam tidak dapat menerobosnya. [MNews/Rgl]

Sumber: Al-Fikru Al-Islamiyu (Bunga Rampai Pemikiran Islam). Muhammad Ismail.

One thought on “[Fikrul Islam] Pengertian Takdis

  • 15 Oktober 2021 pada 09:13
    Permalink

    Naluri bkn dasar perasaan tetapi krn perintah dan larangan Allah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.