Editorial

[Editorial] Berburu Pajak dan Pungutan dari Rakyat

MuslimahNews.com, EDITORIAL — DPR akhirnya mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang pemerintah ajukan. Namun, kelahiran UU ini tetap saja menuai pro dan kontra.

Pihak pemerintah mengklaim, UU HPP akan menjadikan perpajakan nasional makin siap menghadapi berbagai tantangan ekonomi ke depan, termasuk menjamin agar kondisi kegiatan usaha dan iklim investasi pada masa pandemi tetap kondusif. Bahkan, Sri Mulyani menjamin UU HPP akan melindungi rakyat dan UMKM.

Adapun pihak yang kontra menilai UU ini justru sangat zalim. Selain menjadikan rakyat sebagai objek perburuan pajak, juga menampakkan pemihakan pemerintah pada kepentingan korporasi atau para pemilik modal besar.

—————

Untuk diketahui, UU ini antara lain mengatur soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Karbon, NIK merangkap NPWP, denda pajak, hingga tax amnesty.

Untuk PPN misalnya, mulai April tahun depan tarif akan naik menjadi sekitar 10—11%. Angka ini rencananya akan naik lagi menjadi 12% pada 2025. Meski hanya naik sebesar 1—2%, tetap saja akan berdampak pada kehidupan rakyat banyak. Harga-harga kebutuhan akan meningkat, padahal beban ekonomi rakyat sudah berat.

Pemerintah sendiri selalu mengklaim bahwa kenaikan tarif PPN tersebut relatif masih lebih rendah daripada negara lain yang rata-rata sebesar 15,4%. Pemerintah lupa bahwa taraf kesejahteraan rakyat Indonesia juga jauh lebih rendah daripada mereka.

Adapun untuk PPh, UU ini menetapkan besaran pajak orang pribadi (OP). Sebelumnya hanya ada empat lapisan (bracket) pada PPh OP. Sekarang ditambah dengan lapis kelima dengan dalih PPh OP Indonesia kurang progresif dibanding negara lain.

Kelima lapis itu adalah lapis penghasilan per tahun antara Rp54—60 juta atau setara gaji Rp4,5—5 juta per bulan, akan terkena pajak sebesar 5%. Penghasilan Rp60—250 juta terkena 15%. Penghasilan Rp250—500 juta sebesar 25%. Penghasilan Rp500 juta—Rp2 miliar terkena 30%. Lapis kelima, penghasilan lebih dari Rp5 miliar terkena 35%.

Adapun tarif PPh Badan tidak jadi naik atau tetap 22% pada tahun depan. Alasannya, pemerintah mesti mempertimbangkan tren reformasi pajak di berbagai negara yang mengharuskan negara memberi dukungan fiskal lebih banyak bagi korporasi demi meningkatkan daya saing pascapandemi.

Tampak bahwa alasannya adalah demi kepentingan korporasi atau dunia usaha. Padahal, dalam konteks Indonesia, berbagai relaksasi dan insentif bagi mereka sudah tersedia. Misalnya berupa insentif pajak, dorongan bagi sektor properti dan otomotif termasuk penghapusan pajak kendaraan mewah, hingga adanya skema supertax deduction, tax holiday, dan sebagainya.

Baca juga:  Haram Menzalimi Harta Rakyat

Yang tak kalah kontroversial adalah pengaturan soal penggunaan NIK sebagai NPWP dan aturan soal pengampunan pajak. Aturan-aturan ini justru makin menampakkan pemihakan negara bukan kepada rakyat, tetapi pada para oligarki.

Dengan sinkronisasi antara NIK dan NPWP misalnya, rakyat harus siap-siap menjadi wajib pajak, meskipun memang tidak lantas mereka harus membayar pajak. Sementara untuk pengampunan pajak, jelas aturan ini mengakomodir kepentingan para cukong dan pejabat yang melakukan “dosa-dosa keuangan” pada era setelah 2015 hingga sekarang.

——————-

Tidak kita mungkiri keuangan negara memang sedang kolaps. Defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) per Agustus 2021 tercatat sebesar Rp383,2 triliun. Sementara outlook terbaru perekonomian 2021, tahun ini terpatok hanya bisa tumbuh 3,7—4,5%, turun dari sebelumnya 5%.

Karenanya, pemerintah terus berusaha mencari sumber pendanaan baru guna menyelesaikan problem keuangan negara. Namun sayangnya, perspektif solusinya selalu mengarah pada penambahan pendapatan di sektor pajak dan mengemis utang.

Terkait utang, Kementerian Keuangan melaporkan hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 triliun. Ini setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Jumlah ini tentu sangat besar, dan melihat situasi yang ada, utang ini berpotensi terus bertambah. Padahal, siapa pun bisa paham bahwa utang bukanlah solusi, melainkan beban. Bahkan, menambah utang sama dengan menggadai masa depan.

Begitu pun dengan pajak. Sebagaimana kita ketahui, restrukturisasi struktural khususnya bidang pajak ini memang merupakan amanah dari UU Cipta Kerja. Sementara siapa pun tahu, UU Cipta Kerja sarat dengan kepentingan para pengusaha, baik lokal maupun global.

Dengan demikian, kita dapat lihat target “kebijakan” yang ada dalam UU HPP adalah “mengurangi” beban pengusaha sekaligus memuluskan bisnis mereka. Namun, pada saat yang sama justru mengalihkan beban itu kepada individu rakyat dengan berbagai dalihnya.

Berbagai jenis pajak terus diproduksi. Objek pajak dan besarannya pun terus dimodifikasi. Hingga prestasi rezim terukur dengan seberapa besar pajak bisa masuk dalam kantung keuangan negara. Sekalipun alih-alih rakyat merasakan manfaatnya, tetapi tak sedikit para pejabat yang justru menilap pemasukan pajak.

—————–

Baca juga:  Negeri Surganya Oligarki, Tax Amnesty Titipan Cukong Berdasi?

Semestinya, masyarakat menyadari bahwa situasi ini adalah konsekuensi hidup dalam sistem kapitalisme neoliberal. Sistem ini memang menempatkan kepentingan pengusaha sebagai hal yang utama.

Dalam sistem ini penguasa dan pengusaha saling bekerja sama untuk menarik sebanyak-banyak keuntungan dari masyarakat. Bahkan mereka berhak merampas hak milik rakyat dengan berbagai cara.

Karenanya, meskipun negara tersebut terkenal kaya raya atau sumber dayanya melimpah ruah, tetapi gagal menyejahterakan rakyatnya karena seluruh sumber daya itu justru jadi rebutan pengusaha yang berkolaborasi dengan para penguasa.

Sementara, topangan kebutuhan untuk menyejahterakan rakyat hanya dari sumber-sumber pendapatan yang bertumpu pada pajak dan utang. Ujung-ujungnya tetap saja membebani pundak rakyat.

Kalaupun ada sumber penerimaan negara bukan pajak, tetap saja faktanya adalah pungutan yang di antara sumber dan objeknya adalah rakyat-rakyat juga, seperti penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam dan kegiatan pelayanan pemerintah.

Saat ini misalnya, para nelayan di berbagai daerah sedang memprotes kebijakan pungutan nelayan yang naik hingga 400%. Hal ini terkait terbitnya PP 85/2021 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.

Adapun penerimaan dari kegiatan pelayanan pemerintah, di antaranya adalah penerimaan dari layanan kesehatan atau rumah sakit. Targetnya, satuan layanan itu dapat memberikan kontribusi pemasukan pada kas negara, yang berarti bebannya tetap pada masyarakat yang memanfaatkannya.

Dengan demikian, tak mungkin masyarakat berharap rezim kapitalistik ini bisa memberikan kesejahteraan dan kebaikan pada mereka. Karena rezim ini tak melandaskan pengaturannya pada Zat Yang Mahaadil dan Mahasempurna, melainkan pada kepentingan manusia yang berkuasa.

——–

Sungguh, harapan satu-satunya hanya ada pada Islam. Sistem Islam tegak di atas landasan yang benar, yang melahirkan aturan yang juga benar, yakni aturan yang menyolusi seluruh problem kehidupan, sekaligus menjamin keadilan dan kesejahteraan.

Dalam Islam, kesejahteraan adalah hak setiap individu rakyat. Aturan-aturannya datang untuk memastikan hal tersebut tercapai sempurna. Islam pun mengatur soal kepemilikan berlandaskan paradigma halal dan haram. Dengan aturan ini, negara memastikan tiap individu memiliki sumber-sumber kekayaan minimal. . Lalu ditopang oleh peran negara yang dipastikan memiliki modal membangun dan mewujudkan kesejahteraan.

Dalam sistem Islam, terdapat begitu banyak pos pendapatan negara. Salah satunya dari kekayaan alam yang secara syar’i ditetapkan sebagai milik umat. Adapun negara mendapat amanah oleh Allah untuk mengelola harta milik umat dalam fungsi utamanya sebagai pengurus dan penjaga umat. Dengan harta itulah negara menjamin sebesar-besar kesejahteraan rakyat melalui mekanisme yang dipastikan memberi rasa keadilan bagi semua.

Baca juga:  Menarik Pajak atas Kebutuhan Dasar, Apakah Kebijakan Pintar?

Modal ini jumlahnya sangat luar biasa. Kekayaan yang ada dalam perut tanah air kita dan umat Islam di berbagai wilayah nyaris tak ada habisnya. Ada minyak, gas, emas, perak, intan, tembaga, uranium dan lainnya. Belum kekayaan yang ada di perairan dan hutan rimba.

Semuanya lebih dari cukup untuk membuat rakyat bahagia. Sayang, penerapan sistem kapitalisme hari ini justru membuat semua kekayaan milik umat ini dirampok oleh kapitalis rakus, baik lokal maupun asing.

Di luar sumber daya alam itu, masih banyak pos penerimaan yang akan mengisi kas baitulmal negara Islam. Antara lain berupa jizyah, ganimah, fai’, kharaj, usyur, rikaz, dan juga zakat. Hanya saja, pemanfaatan zakat ini harus mengikuti aturan khusus yang ditetapkan.

Negara dalam Islam tak akan menarik pungutan semacam pajak dalam sistem sekarang. Kalaupun ada istilah pungutan yang disebut dharibah, faktanya berbeda dengan konsep pajak dalam kapitalisme.

Dharibah hanya dipungut saat kas negara kosong dan upaya lain sudah ditempuh maksimal oleh negara. Dharibah juga hanya dipungut dari orang kaya dari kaum mukminin. Memungut kepada selain mereka disebut sebagai kezaliman yang ancamannya adalah api neraka.

———-

Alhasil, satu-satunya solusi atas semua penderitaan rakyat akibat berbagai kebijakan rezim kapitalis neoliberal ini adalah dengan melepas dukungan pada mereka. Bukan hanya fokus pada orang per orangnya saja, tetapi pada sistem yang tegak atasnya.

Umat pun harus memahami bahwa hanya sistem Islam yang layak mereka harapkan, yakni dengan menguatkan keyakinan akan kebenaran akidah dan hukum-hukum Islam, sekaligus memberi gambaran tentang konstruksi Islam dalam mewujudkan kesejahteraan.

Hal ini sekaligus mengonfirmasi urgensi dakwah pemikiran Islam ideologis, yakni Islam yang dipahami dan diperjuangkan penegakkannya secara sempurna dalam setiap aspek kehidupan.

Dakwah inilah yang akan menaikkan level berpikir umat dan menggerakkan mereka untuk menempuh jalan perubahan ke arah yang benar. Mereka tak akan mudah terbodohi oleh retorika para pemburu kekuasaan yang mencari dukungan justru untuk menebar kezaliman. [MNews/SNA-Gz]

One thought on “[Editorial] Berburu Pajak dan Pungutan dari Rakyat

  • Mila Erna

    Astaghfirullah…. kehidupan saat ini yg menganut sistem kapitalisme semakin nyata kezaliman nya terhadap rakyat mau berharap apa lagi?ganti dengan sistem yg adil yg berasal dari yg Maha adil yaitu sistem Islam

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *