Opini

Desak Hapus Red List, Demi Rakyat atau Konglomerasi Bisnis?

Rakyat hidup susah di tengah pandemi. Saat konglomerasi bisnis menguasai ekonomi, pejabat mendesak negara-negara sahabat untuk menghapus Indonesia dari daftar merah perjalanan (red list). Demi rakyat atau para konglomerat?

Penulis: Rindyanti Septiana, S.H.I.

MuslimahNews.com, OPINI — Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta para petinggi negara sahabat untuk menghapus RI dari daftar merah perjalanan (red list). Menlu menyampaikan permintaan tersebut saat pertemuan tinggi di Sidang Majelis Umum ke-76 PBB di New York pada 24/9/2021.

Bersama 18 negara lainnya, Menlu Retno membahas sejumlah isu, salah satunya terkait penanganan Covid-19. RI mengklaim bahwa kondisi Indonesia lebih baik dari negara lainnya terkait kasus Covid-19. (cnbcindonesia.com, 26/9/2021).

Padahal, kita ketahui bersama, saat sekolah memulai pembelajaran tatap muka, misalnya, klaster sekolah bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Kini, sejumlah upaya dilakukan untuk segera membuka tempat wisata.

Publik pun bertanya, ada apa di balik desakan menghapus red list? Sebenarnya siapa yang diuntungkan? Benarkah tercium aroma kepentingan konglomerasi bisnis di balik desakan tersebut?

Mematikan Rakyat?

Salah satu alasan RI meminta petinggi negara lain menghapus Indonesia dari red list adalah demi menghidupkan pariwisata. Pemerintah berharap, kehadiran sejumlah besar wisatawan dapat mendongkrak ekonomi rakyat dan negara.

Mereka juga menganggap membuka segera tempat wisata sebagai solusi mengatasi ekonomi. Pemerintah ngotot akan membuka tempat wisata pada Oktober 2021, mempersiapkan Bali dan Jogjakarta untuk menerima para wisman. Deputi Kebijakan Strategis Kemenparekraf Kurleni Ukar memperkirakan kunjungan 1,5 juta wisman dapat mencetak devisa sebesar US$0,36 miliar. (ekonomi.bisnis.com, 14/9/2021).

Baca juga:  [Editorial] "Ngemis" Penghapusan Red List, Demi Apa?

Pada sisi yang lain, persiapan skenario mitigasi risiko di tengah pandemi sangatlah minim. Namun, pemerintah buru-buru membuka 18 destinasi pariwisata demi mengundang wisman. Bukankah ini kebijakan yang cenderung gegabah? Tidakkah pemangku kebijakan mempertimbangkan bahwa menerima wisman di tengah pandemi justru bisa memicu penularan varian baru karena negara asal wisman juga belum seratus persen bebas Covid-19?

Buntutnya, lonjakan kasus Covid-19 bisa terjadi kembali. Apalagi disertai penularan varian baru yang makin sulit ditangani. Para nakes akan kewalahan merawat pasien Covid-19 yang makin bertambah. Belum lagi minimnya ketersediaan ruangan rumah sakit dan perlengkapan kesehatan lainnya.

Oleh karenanya, kebijakan ini menyelamatkan rakyat atau justru menamatkan hidup mereka? Sungguh, membuka tempat wisata untuk para wisman dengan “melunakkan” syarat masuk ke Indonesia adalah kebijakan yang tergesa-gesa dari penguasa beserta jajarannya.

Seharusnya, pemerintah tidak memaksakan proyeksi hadirnya jutaan wisman demi dolar, sementara rakyat harus menanggung risiko mengerikan terpapar virus. Saat penanganan pandemi masih setengah hati, kecil harapan ekonomi Indonesia untuk bisa bangkit dengan hadirnya para wisman tadi.

Pro Konglomerasi Bisnis

Sistem demokrasi kapitalistik yang diadopsi negeri selalu memuluskan kepentingan konglomerasi bisnis. Dalam sistem ini, penguasa dan pengusaha memiliki hubungan “mesra”. Tentu saja, setiap kebijakan yang diputuskan harus menguntungkan mereka.

Baca juga:  [Editorial] "Ngemis" Penghapusan Red List, Demi Apa?

Pemerintah mengklaim pariwisata merupakan kunci pertumbuhan ekonomi karena mampu mencetak lapangan kerja untuk semua umur, segala level keterampilan, dan untuk bidang apa saja. Jokowi pun menetapkan pariwisata sebagai sektor unggulan pembangunan nasional.

Mengingat SDA telah dikuasai asing dan aseng, maka pertumbuhan ekonomi yang “memandirikan rakyat” dilakukan dengan menjual pesona alam (pariwisata), sekaligus memberi lapangan pekerjaan sekalipun tanpa ri’ayah pemerintah. Kemenparekraf mencatat, sektor ini berpotensi menyerap 13 juta orang tenaga kerja.

Di antara konglomerasi bisnis itu adalah para pemilik hotel dan pengelola tempat wisata. Para pebisnis menggelontorkan suntikan dana yang tidak sedikit kepada pemerintah. Pada sisi lain, lembaga kapitalistik global siap memberikan bantuan dana bagi negara yang berupaya meningkatkan pariwisatanya. Sebut saja United Nations World Tourism Organizations (UN WTO), World Travel and Tourism Council (WTTC), World Bank, dan Islamic Development Bank (IDB).

Oleh karenanya, rakyat jangan “gede rasa” seolah-olah pemerintah memperhatikan kebutuhannya. Membuka tempat wisata dengan alasan meningkatkan ekonomi rakyat hanyalah polesan untuk menutupi tujuan tertentu. Inilah sebab pemerintah terus berjibaku meningkatkan pariwisata meski pandemi masih menghantui.

Khatimah

Pemerintah mengandalkan pemasukan dari pariwisata, tetapi dengan mengancam keselamatan rakyat. Untung tak diraih rakyat, jiwa pun melayang.

Baca juga:  [Editorial] "Ngemis" Penghapusan Red List, Demi Apa?

Sebetulnya, Indonesia bukanlah negeri yang miskin SDA, melainkan kaya dan berlimpah. Mengalihkan pandangan publik pada sektor pariwisata lalu membiarkan asing dan aseng menguasai SDA adalah bentuk kegagalan mengurus rakyat dan negara. Sementara itu, penanganan Covid-19 juga belum tuntas, penyebarannya masih terus mengular akibat kebijakan yang plinplan.

Dengan demikian, rakyat harus segera sadar, hanya Islam solusi segala persoalan di tengah pandemi, termasuk problem ekonomi. Rakyat juga harus paham, setiap aturan yang dihasilkan demokrasi justru menyulitkan kehidupan mereka.

Jangan pernah bosan menyerukan pemerintah untuk mengelola negara—termasuk SDA—dengan baik sesuai tuntunan Islam. Wajib menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemutus dalam setiap perkara.

Allah Swt. berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa: 65).

Sungguh, begitu menyedihkan ketika kita tidak dipimpin oleh pemimpin yang beriman, hingga setiap kebijakannya pun jauh dari kemaslahatan. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *