Opini

Adidaya Menanti Resesi, Umat Perlu Revolusi

Penulis: Asy Syifa Ummu Sidiq

MuslimahNews.com, OPINI — Hidup segan mati pun tak mau, mungkin ini peribahasa yang cocok untuk kondisi negara Paman Sam sekarang. Saat pandemi masih menerpa, bencana justru melanda negara adikuasa itu. Bukan serangan alam, tetapi resesi ekonomi yang langsung menusuk jantung pengusung kapitalisme.

Melansir katadata.co.id (23/9/21), Amerika Serikat terancam gagal bayar utang sebesar US$28,4 triliun atau setara Rp404.501 triliun per Agustus 2021. Sebuah utang yang tak main-main. Pasalnya, jumlah utang AS ini sudah melebihi produk domestik brutonya (PDB).

Pendapatan AS tahun lalu sekitar US$21 triliun. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyampaikan bahwa Departemen Keuangan akan kehabisan uang untuk membayar obligasi pada pertengahan Oktober ini. Oleh karena itu, pihaknya kelimpungan mencari pertolongan di bank-bank besar Wall Street.

Kepala Ekonom Moody’s Analytics Mark Zandi memaparkan, dengan kondisi ini, negara tersebut akan mengalami kerugian ekonomi hingga enam juta pekerja, memangkas pendapatan rumah tangga hingga US$15 triliun, dan pengangguran melonjak 9% dari saat ini (5%). Ia menilai, resesi yang mengintai akan lebih parah daripada sebelumnya, yakni Desember 2018—2019 AS saat AS sempat shutdown 35 hari.

Pertanda Runtuhnya Kapitalisme

Ancaman resesi dan default (gagal bayar utang) merupakan masalah besar bagi negara Adidaya. Sebagaimana kita ketahui, negara tersebut berulang kali menghadapi krisis, tetapi tetap bisa bertahan. Hanya saja masalah kali ini cukup sulit, utang sudah terlalu melambung tinggi. Solusi yang dipandang bisa menyelesaikan adalah dengan menambah utang. Sayangnya, senat tidak lantas mengamini aturan tentang penambahan utang ini. Anggota dari Partai Republik tidak menyetujui pengajuan itu dengan alasannya akan memperparah kondisi AS.

Baca juga:  Pandemi Covid-19, Menguak Kesalahan Fatal Ekonomi Sekuler

Masalah yang datang bertubi-tubi tanpa penyelesaian yang pasti, membuktikan AS telah gagal memimpin negaranya sendiri. Akibat mengadopsi prinsip sistem ekonomi kapitalisme, mereka kini telah terjerumus ke jurang resesi. Tidak menutup kemungkinan, jika AS gagal dalam pembayaran utang yang jatuh tempo, shutdown akan kembali terulang kemudian mengantarkan pada kehancuran.

Jikalau solusi penambahan utang disetujui, juga tidak akan menambah kegagahannya. Seperti borok, makin ditutupi tanpa penyembuhan yang benar, bau busuknya akan makin tercium. Bahkan, suatu saat akan terjadi pembusukan yang membuat nyawa melayang. Begitu pula dengan AS, jika masih memakai sistem ala kapitalisme, tidak akan membuatnya selamat.

Kesalahan Kapitalisme

Sejarah mencatat, kapitalisme lahir dari kesepakatan jalan tengah antara para pemuka gereja dan kaum intelektual. Keduanya sepakat tidak menjadikan agama sebagai sarana pengatur kehidupannya. Agama sebatas kedok dan saat ibadah semata, sehingga aturan yang berlaku di muka bumi ini hanyalah buatan manusia. Inilah sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan.

Kapitalisme juga mendasarkan makna kebahagiaan pada materi (kesenangan dunia). Tak ayal, semua kebijakannya juga mementingkan materi semata (materialisme), tidak peduli apakah agama melarang atau tidak. Akhirnya, prinsip yang diambil untuk memenuhi semua kebutuhan adalah “kebebasan” alias liberalisme. Apa pun boleh asalkan kebutuhannya terpenuhi.

Dengan begitu, seluruh aturan yang lahir akan berlandaskan pada sekularisme, liberalisme, dan materialisme. Tiga prinsip pokok inilah yang melahirkan sistem ekonomi kapitalistik. Terdapat empat kekhasan aturan ekonomi ala kapitalisme, pertama, sirkulasi perputaran hanya terjadi di kalangan orang kaya. Kedua, adanya praktik ekonomi riba. Ketiga, praktik maysir (spekulasi, gambling/perjudian, praktik gharar (ketakpastian). Keempat, sifat tamak manusia khas bentukan peradaban sekuler.

Baca juga:  Utang Membengkak, Ekonomi Menukik, Salah Siapa?

Dengan keempat hal itu, wajar jika AS sebagai pengusung kapitalisme sekarang mengalami kemunduran, bahkan menuju gerbang kehancuran. Kalau sudah nyata kelumpuhannya, mengapa masih banyak negara—terlebih negeri muslim—yang mau bertahan dengan kapitalisme?

Sistem Alternatif

Sebagai negara yang beriman kepada Allah Swt., semestinya negeri muslim tak boleh menyandarkan hidup pada aturan yang jelas-jelas rusak dari awal. Aturan ayat suci jadi lebih rendah daripada aturan konstitusi. Padahal, prinsip pemikiran liberalisme, sekularisme, materialisme sangat bertentangan dengan Islam. Walhasil, aturan yang lahir ketiganya pun berlawanan dengan Islam.

Islam melandaskan keimanan terhadap Allah Swt., menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan Rasulullah saw. sebagai pembawa berita gembira. Islam memerintahkan umatnya untuk taat tanpa tapi, menjalankan syariat tanpa nanti, melalui firman-Nya.

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 2)

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS Al-Furqan: 56)

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata, ‘Sami’na wa atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nuur: 51)

Baca juga:  Saat Amerika "Tak Bisa Bernapas"

Islam telah memberikan tuntunan dalam seluruh, termasuk dalam menentukan kebijakan, karena Islam sistem yang sempurna yang berasal langsung dari Allah Swt..

Islam dan Resesi Ekonomi

Pakar ekonomi Islam, Nida Sa’adah, menyampaikan bahwa Islam memiliki tata aturan ekonomi antikrisis. Keunggulan dari sistem ini antara lain pertama, adanya larangan kanzul mal (penimbunan/menumpuk harta) yang akan menarik perputaran uang di masyarakat, termasuk menyimpan atau menahan harta dalam berbagai bentuk surat berharga.

Kedua, mengatur kepemilikan. Islam melarang privatisasi, sehingga korporasi tidak lagi menguasai kekayaan seperti sumber daya alam dalam deposit melimpah. Hadis menyatakan bahwa umat Islam berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.

Ketiga, menerapkan mata uang yang tidak palsu yaitu berbasis emas dan perak. Ketika mata uang berganti, transaksi akan ekuivalen antara peredaran jumlah uang dan barang jasa. Ekonomi pun stabil dan produktif.

Keempat, menghentikan kegiatan transaksi riba yang menjadi muara persoalan ini dan juga spekulatif.

Kelima, penerapan zakat mal dalam regulasi negara. Ustazah Nida menjelaskan, negara akan serius menggarap zakat mal, tetapi tidak untuk infrastruktur.

Dengan kelima hal di atas, Islam akan membawa masyarakat menjadi umat terbaik. Oleh karenanya, satu-satunya pengganti kapitalisme hanya Islam karena Islam itu benar dan langsung berasal dari Allah Swt.. Dengan makin terhunjamnya kapitalisme ke lembah hitam, kita berharap Islam akan segera menggantikannya. Umat butuh revolusi segera. Pertanyaannya, di mana peran kita saat Islam menggantikan kapitalisme? [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *