Syarah Hadis

[Syarah Hadis] Masihkah Ada Hijrah Setelah Hijrahnya Rasulullah ﷺ?

Penulis: Arini R.

MuslimahNews.com, SYARAH HADIS — Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

”Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi (yang ada adalah) jihad dan niat. Maka apabila kalian diperintahkan jihad, berangkatlah.” (HR Bukhari 3077 dan Muslim 1353).

Hadis ini dipahami sebagian orang telah menghapuskan disyariatkannya hijrah. Mereka menganggap bahwa saat ini tidak lagi berlaku hukum hijrah. Apakah demikian halnya?

Hadis di atas, konteksnya adalah hijrah setelah Makkah statusnya bukan lagi sebagai negara kufur tetapi telah menjadi bagian negara Islam pascapenaklukannya. Hijrah di dalam negeri Islam bukan merupakan suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadis,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَفْوَانَ الْقُرَشِيِّ قَالَ

لَمَّا كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ جَاءَ بِأَبِيهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لِأَبِي نَصِيبًا فِي الْهِجْرَةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَا هِجْرَةَ

Dari Abdurahman bin Shafwan, ia berkata ketika penaklukan Kota Makkah ia datang bersama bapaknya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, berilah bapakku bagian pahala hijrah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya sudah tidak ada hijrah lagi.”

Namun meski demikian syariat hijrah tidak hilang. Hal ini diterangkan oleh hadis,

عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Baca juga:  Hijrah: Berpindah dari Cengkraman Sistem Kufur menuju Islam Kaffah

Dari Mu’awiyyah, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Hijrah tidak terputus sehingga tobat terputus, dan tobat tidak terputus, sehingga matahari terbit dari barat.'” (HR Imam Ahmad 4/99, Abu Dawud 2479, Ath-Thabarani 19/387/907, Al-Baihaqi 9/17, Ad-Darimi 2513, Nasa’i 8711, Abu Ya’la 737. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 1208).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah membawakan hadis-hadis tentang hijrah setelah Fathu Makkah, ”Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa hijrah telah terputus setelah Fathu Makkah, karena manusia telah masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Islam telah tampak menang, fondasi-fondasinya kuat, maka tidak perlu hijrah. Kecuali bila muncul suatu keadaan yang menuntut hijrah karena jajahan orang-orang kafir dan tidak mampu menampakkan agama di tengah-tengah mereka, maka ketika itu hijrah menuju negeri Islam hukumnya wajib. Hal ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama.” (Al-Bidaayah wan-Nihaayah 4/320)

Sekalipun hijrah tadinya dimaknai sebagai perpindahan tempat, tetapi Rasulullah ﷺ juga memaknai hijrah dengan makna lain, yakni meninggalkan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah ﷺ bersabda,

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

”Dan Al-Muhaajir adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR Bukhari 6484 dan Muslim 41)

Baca juga:  Al-Qa'nabi, dari Pesta Miras, Jadi Ahli Hadis Berkelas

Larangan Allah yang paling besar adalah larangan syirik, menyekutukan Allah. Di zaman modern ini, syirik bukan hanya menyembah tuhan yang lain di samping Allah, tetapi syirik telah menjelma dalam demokrasi, pluralisme, dan sekularisme.

Demokrasi telah menyerahkan kekuasaan membuat hukum, yang seharusnya di tangan Allah, kepada sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya wakil rakyat. Allah berfirman,

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS Al-An’am: 57)

Sekularisme juga bisa kita masukkan sebagai kemusyrikan, karena menolak untuk dihukumi dengan hukum Allah dalam setiap aspek kehidupan. Ia hanya menerima diatur dalam masalah ibadah saja, tapi dalam ekonomi, sosial, budaya, apalagi politik, tidak ada aturan agama. Kemusyrikan ini Rasulullah ﷺ jelaskan ketika menafsirkan ayat Allah dalam QS At-Taubah: 31,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”

Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalian pun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?” Beliau (Adi bin Hatim) berkata, “Benar.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka.” (HR Ahmad dan Tirmidzi, hasan)

Baca juga:  Hijrah di Mata Syekh Taqiyuddin an-Nabhani

Syekh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Nabi ﷺ dalam hadis tersebut menafsirkan bahwa maksud ‘menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah’ bukanlah maknanya rukuk dan sujud kepada mereka. Akan tetapi maknanya adalah menaati mereka dalam mengubah hukum Allah dan mengganti syariat Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Perbuatan tersebut dianggap sebagai bentuk beribadah kepada mereka selain kepada Allah di mana mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah tersebut sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam masalah menetapkan syariat.

Barangsiapa yang menaati mereka dalam hal tersebut, maka sungguh dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syariat serta menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah syirik besar.

Dengan demikian, hijrah yang relevan dengan fakta sekarang adalah hijrah dari demokrasi, pluralisme, dan sekularisme menuju kepada penerapan Islam kafah. [MNews/Rgl]

Sumber: suaramubalighah.com/2019/09/23/masihkah-ada-hijrah-setelah-hijrahnya-rasulullah-saw/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *