Ironi Kebijakan “Cinta Produk Anak Negeri” di Tengah Banjir Impor yang Tiada Henti
Penulis: Asy Syifa Ummu Sidiq
MuslimahNews.com, OPINI — “I love product Indonesia” adalah sebuah ajakan untuk mencintai semua hasil jerih payah anak bangsa, terutama barang-barang buatan dalam negeri. Gerakan ini dimunculkan seiring mulai banjirnya barang luar negeri di kancah nasional. Agar jualan laku serta mampu bersaing dengan barang impor, dibuatlah gerakan itu. Selain itu, juga untuk menghidupkan ekonomi mikro di dalam negeri agar pergerakan ekonomi terus tumbuh.
Apakah usaha ini akan berjalan lancar hingga membawa Indonesia ke kancah Internasional? Tampaknya, usaha ini akan mengalami banyak kesulitan karena sudah telanjur basah dengan barang-barang impor. Mulai dari hal kecil seperti peralatan dapur, mainan anak-anak, pakaian, hingga peralatan elektronik dll., ternyata berasal dari negeri orang. Sangat sedikit ditemui barang buatan sendiri.
Nilai Impor Makin Tinggi
Di tengah hiruk-pikuk gerakan cinta produk dalam negeri, ternyata nilai impor akan barang-barang nonmigas juga naik drastis. Tercatat nilai impor Indonesia pada Agustus 2021 mencapai US$16,68 miliar. Ketua Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono menjelaskan, nilai impor itu naik 55,26 persen dibandingkan Agustus 2020. Kategori migas naik 115,75 persen dan non migas naik 49,39 persen.
Pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari hingga Agustus 2021 adalah Cina US$34,67 miliar (32,25%), Jepang US$9,01 miliar (8,39%), dan Korea Selatan US$5,84 miliar (5,44%). Impor nonmigas dari ASEAN US$18,93 miliar (17,61%) dan Uni Eropa US$6,73 miliar (6,27%).
Tersendat Impor
Melihat hal ini, tentu sangat memberatkan langkah mengembangkan produk dalam negeri. Di sisi lain, rakyat pun dibuat bingung. Pasalnya, kedua kebijakan ini dipandang saling bertolak belakang. Masyarakat diminta konsumsi produk sendiri, tapi di sisi lain dagangan luar negeri terus membanjiri. Kalau begini siapa yang akan menjadi korban?
Selama ini, produk luar negeri lebih murah. Selain harga barang yang rendah, kualitas juga tak kalah, fasilitas bebas ongkir pun menggiurkan masyarakat untuk membeli brand luar negeri. Padahal dari segi kualitas, buatan anak bangsa juga berkualitas. Hanya saja harga tak semurah buatan luar dan fasilitas bebas ongkir sangat terbatas.
Kebijakan pasar bebas ternyata menjadi pionir masalah perdagangan di negeri ini. Sejak Indonesia harus menerima keputusan internasional mengenai pasar bebas, produk luar membanjiri pasar dalam negeri. Apalagi ketika biaya masuk (bea cukai) dipangkas, hal ini yang membuat harga produk impor lebih murah dari produk lokal.
Ternyata kapitalisme telah berhasil merajai negara-negara berkembang. Dengan kebijakan pasar bebas yang dibuatnya, ia mampu menguasai pasar dunia. Pemerintah negara berkembang hanya sebagai fasilitator yang tunduk pada hukum internasional. Kondisi ini terjadi saat negeri ini menerima negara asing (AS) sebagai penguasa dan pemimpin gerakan dagang-gerakan dagang di kancah internasional. Negeri ini, hanya anggota yang harus bersedia mengikuti aturan tuannya.
Impor dalam Pandangan Khilafah
Sebagai negara yang selalu membebek asing, ternyata membuat kemandirian bangsa tak terwujud. Keadaan ini akan berbeda jika yang melakukan kebijakan itu adalah negara Islam alias Khilafah. Karena semua aturan yang dipakai berdasarkan tuntunan syara’, maka untuk kebijakan perdagangan luar negeri pun mengikuti syariat.
Dalam Khilafah, perdagangan luar negeri tidak dilihat dari jenis barang yang diperdagangkan. Tetapi dilihat dari siapa yang melakukan perdagangan. Mereka dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu: (1) Kafir Harbi, mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum muslim; (2) Kafir Muâhad, mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.
Warga negara kafir harbi diperbolehkan berdagang di negara Islam (menggunakan visa khusus). Kecuali warga negara “Israel”, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya ( negara yang memusuhi Islam), tidak boleh melakukan perdagangan apa pun di wilayah negara Islam. Sedangkan warga negara kafir muâhad, boleh atau tidaknya melakukan perdagangan di wilayah negara Islam tergantung dari isi perjanjian yang dilakukan dengan Khilafah.
Bagi warga negara Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh. Semua kegiatan perdagangan luar negeri diatur oleh Departemen Luar Negeri.
Adapun mengenai barang yang diimpor maupun ekspor juga tergantung dari halal atau haramnya. Semua terkait dengan syariat. Jika barang tersebut haram (zat atau cara perolehannya), contohnya babi atau daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, maka tidak akan diperbolehkan masuk negara Islam. Kalaupun statusnya syubhat juga tidak dibolehkan masuk. Jika terlanjur masuk, maka akan segera diputus pendistribusiannya.
Proteksi dan Neraca Perdagangan
Dalam sistem ekonomi kapitalis, proteksionisme adalah politik perdagangan yang dianutnya. Teori ini menuntut keterlibatan negara untuk menyeimbangkan neraca perdagangan luar negeri. Khilafah sendiri juga melakukan proteksi untuk menjaga stabilitas ekonominya. Proteksi ini tidak hanya melindungi stabilitas ekonomi saja, tetapi juga untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Bagaimana dengan cukai? Penerapan cukai di negara Khilafah berbeda dengan negara kapitalis. Cukai ini diberlakukan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga Negara Khilafah, baik Muslim atau nonmuslim (kafir dzimmi) tidak dikenakan cukai, baik komoditas yang mereka ekspor maupun yang mereka impor ke luar negeri.
Penggunaan emas dan perak sebagai standar baku mata uang perdagangan juga menjaga khilafah dari defisit neraca perdagangan. Karena, kurs valuta sifatnya tetap, sehingga inflasi nol. Jika inflasi tidak ada, maka neraca perdagangan dan aspek selisih pertukaran mata uang pun bisa dihindarkan.
Selain itu, ketersediaan barang baku, mentah yang melimpah dalam Khilafah dapat membantu memenuhi kebutuhan umat. Sehingga tidak perlu capek impor dari luar. Sehingga emas dan perak tidak keluar. Kalaupun akan impor, hanya barang-barang yang tidak terdapat dalam Khilafah. Dengan begitu akan membuat perekonomian Khilafah menjadi kuat. Jauh dari intervensi asing.
Melihat begitu detailnya Islam dalam mengurusi kebijakan luar negerinya. Bisa dipastikan, negara ini akan mampu berdikari dan melawan penjajahan tirani. Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al-Nisâ’ ayat141). Oleh karena itu, masihkah kita berpikir dua kali untuk menjadikan Islam sebagai sistem alternatif pengganti kapitalisme? [MNews/Gz]