Opini

Problem Guru Honorer, Buruknya Pembiayaan Pendidikan di Sistem Sekuler

Penulis: Chusnatul Jannah

MuslimahNews.com, OPINI — Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang semestinya memberi harapan baru bagi guru honorer, masih menyisakan pilu. Ribuan guru honorer mengaku keberatan dengan beban soal dan tingginya passing grade yang ditetapkan. Seleksi PPPK yang dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan bagi guru honorer ternyata tidak berjalan semudah itu.

Terutama, bagi guru honorer senior yang sudah puluhan tahun mengabdi. Dengan kompetensi pas-pasan, mereka dihadapkan dengan persaingan yang tidak seimbang. Para guru honorer senior harus bersaing dengan guru yang fresh graduate atau memiliki kompetensi lebih. Seleksi PPPK dianggap tidak afirmatif. Hingga beredar surat terbuka untuk Mendikbudristek agar meringankan dan memberi kemudahan bagi guru honorer.

Peran Penting Guru Honorer

Kehadiran guru honorer bagaikan oase di tengah padang pasir. Sosok mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Kesenjangan guru dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan lebih banyak ditopang dengan keberadaan guru honorer dengan segala keterbatasannya. Guru honorer mengisi ruang-ruang kosong di sekolah, terutama di daerah dan pelosok desa.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK), secara keseluruhan saat ini terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935 siswa. Dengan demikian rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Angka tersebut merupakan angka yang sangat ideal dalam pemenuhan layanan belajar. Namun, ketika ditinjau dari sisi status kepegawaiannya, baru 1,607,480 (47,8%) guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara 62,2% sisanya merupakan guru honorer yang terdiri dari 458.463 Guru Tetap Yayasan (GTY), 14.833 Guru Tidak Tetap (GTT) provinsi, 190.105 GTT kabupaten/kota, 3.829 guru bantu pusat, 728.461 guru honor sekolah, dan 354.764 guru dari kategori lainnya (data.kemdikbud.go.id, 25/11/2020).

Banyaknya jumlah guru ASN yang pensiun, bertambahnya lulusan guru tiap tahun, sementara pemerintah tak mampu mengangkat guru ASN sesuai kebutuhan, kekurangan guru ditutup dengan keberadaan guru honorer. Sayangnya, gaji yang amat minim selalu menjadi problem tak terurai bagi guru honorer.

Buruknya Pelayanan Pendidikan

Untuk memberi kesejahteraan bagi guru honorer, pemerintah mengambil langkah strategis yaitu seleksi PPPK. Langkah ini dinilai sebagai tindakan afirmatif untuk memenuhi kebutuhan guru dan solusi bagi masalah guru honorer. Namun, tidak semua guru honorer akan diterima sebagai pegawai PPPK. Mereka harus melalui tahapan seleksi dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Pemerintah mengaku telah memberi banyak kemudahan bagi guru honorer dalam seleksi PPPK. Seperti kelonggaran batas usia maksimal satu tahun sebelum pensiun, seleksi tiga kali kesempatan hingga menyediakan materi persiapan seleksi.

Baca juga:  Ironi Gaji Abdi Negara di Sistem Demokrasi

Namun apa yang disebut mudah oleh pemerintah, faktanya tidak mudah di lapangan. Banyak guru menangis dan kecewa lantaran terbebani dengan soal dan tingginya passing grade yang ditetapkan. Maksud hati ingin sejahtera dengan ikut seleksi, apa daya tak kuasa karena senjanya usia dan kompetensi yang tak seberapa.

Pelaksanaan seleksi PPPK pun menuai kritik. Banyak yang menilai seleksi tersebut belum memenuhi rasa keadilan bagi guru honorer, yaitu tidak mempertimbangkan masa pengabdian. Bandingkan pula seberapa besar gaji guru honorer dengan anggota DPR yang begitu mentereng? Sangat timpang.

Inikah sebaik-baik pelayanan dan pemberian negara bagi mereka yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa? Padahal, tugas guru itu berat. Di tangan merekalah kualitas dan masa depan generasi ini dipertaruhkan. Tugas dan tanggung jawab semua guru, baik berstatus PNS atau honorer adalah sama. Namun, mengapa berbeda antara perlakuan dan pemberian gaji? Apakah karena tiadanya dana untuk gaji guru ataukah keengganan pemerintah yang merasa berat hati memberi kesejahteraan dan jaminan bagi pendidik negeri ini?

Masalah Pembiayaan Pendidikan

Pemerintah menganggarkan dana untuk pendidikan sebesar Rp541,7 triliun dalam RAPBN 2022. Jumlah tersebut naik tipis sebesar 0,2% dari alokasi tahun 2021 sebesar Rp540,3 triliun.

Presiden Joko Widodo dalam Pidato Pengantar RAPBN 2022 menyebutkan bahwa pembangunan SDM tetap menjadi agenda prioritas pemerintah guna memanfaatkan bonus demografi dan menghadapi disrupsi teknologi. (Kompas.com, 16/8/2021)

Meski anggaran pendidikan mencapai 20% dari dana APBN, tetap saja belum sebanding dengan apa yang diperoleh dari anggaran sebanyak itu. Dari 20% anggaran tersebut, Kemendikbudristek hanya mengelola sebanyak 14,8% atau sekitar Rp81,5 triliun.

Direktur Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat, Fransisca Fitri, mengatakan sepanjang tahun 2016-2020 terdapat banyak masalah dan tantangan dalam pengalokasian anggaran untuk memenuhi hak pendidikan.

Menurutnya, serapan anggaran pendidikan tidak selalu mencapai 20% dari total realisasi belanja APBN meski pengalokasiannya sejalan dengan mandat konstitusi. Belum lagi dana alokasi khusus fisik di bidang pendidikan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun belum juga menjawab problem kesenjangan akses dan kualitas infrastruktur pendidikan. Masih banyak sekolah rusak, telantar, dan tak terurus dengan baik.

Islam Memuliakan Guru

Guru merupakan ujung tombak bagi sebuah peradaban. Kualitas guru sangat menentukan bagaimana generasi ini menyerap ilmu. Dari peran strategis inilah Islam memberi perhatian yang sangat besar pada bidang pendidikan. Islam memberikan tempat mulia dan istimewa bagi seorang guru.

Baca juga:  Derita Guru Honorer, Bilakah Berakhir?

Imam Jalaluddin as-Suyuthi menuliskan dalam Lubab al-Hadits, bahwa pahala memuliakan guru tak lain adalah surga. Disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barang siapa memuliakan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Barang siapa memuliakan Allah, maka tempatnya di surga.”

Islam tidak mengenal dikotomi guru PNS atau honorer. Dalam sistem Khilafah, semua guru adalah pegawai negara. Khilafah memahami bahwa pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara, baik siswa maupun guru dijamin haknya. Hak mendapat kesejahteraan berupa gaji yang layak bagi semua guru. Hak mendapat layanan dan fasilitas pendidikan bagi seluruh siswa.

Seperti Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al-Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Politik Ekonomi Pendidikan Khilafah

Kebijakan politik ekonomi adalah penentu terselenggaranya sistem pendidikan. Jika kacamata kapitalisme yang dipakai, politik ekonominya pasti mengarah kepada paradigma tersebut. Dalam Islam, politik ekonomi pendidikan tecermin dalam visi pendidikan Islam, yaitu membentuk generasi ber-syakhshiyah Islam serta memberi kemaslahatan bagi umat manusia.

Problem paling kentara terhadap kegagalan pendidikan di sistem kapitalisme, bisa terlihat dari beberapa poin berikut: (1) kurikulum sekuler yang gagal membentuk insan bertakwa; (2) ketimpangan akses dan layanan pendidikan bagi siswa; (3) guru tidak sejahtera; (4) infrastruktur pendidikan tidak merata; (5) dana minim.

Dari kelima poin tersebut, Khilafah mampu menyelesaikan problematik sistem pendidikan sebagai berikut:

Pertama, menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Kurikulum ini menjadi kerangka dasar arah dan tujuan pendidikan dalam Islam, yakni berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam dan ilmu terapan (ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi), serta memiliki keterampilan yang tepat dan berdaya guna.

Kedua, akses mudah dan layanan pendidikan gratis bagi semua anak. Negara berkewajiban memenuhi hak pendidikan setiap warga negara. Sepanjang penerapannya, sistem Islam berhasil memberikan fasilitas terbaik bagi anak didik. Terdapat banyak lembaga pendidikan yang berkembang di masa peradaban Islam yang melahirkan para pemikir, ilmuwan, dan cendekiawan muslim.

Baca juga:  Menyetop Tunjangan Guru, Kesejahteraan Kian Jauh

Ketiga, kesejahteraan guru dengan gaji layak dan mencukupi Dengan jaminan kebutuhan dan penghidupan yang cukup, para guru bisa fokus mendidik generasi dengan ilmu terbaiknya tanpa harus dibayangi besok makan apa atau mencari tambahan nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Keempat, negara Khilafah akan membangun infrastruktur pendidikan yang memadai dan merata di seluruh wilayah. Pemerataan ini memiliki banyak kelebihan. Selain akses mudah, guru dengan sukarela mau ditempatkan di mana saja walau di pelosok desa. Sebab, negara akan memberikan fasilitas pendidikan yang menunjang proses belajar mengajar berjalan dengan baik di semua wilayah negara.

Kelima, dari mana biaya untuk mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas semacam itu? Negara tidak akan kelimpungan mencari dana pendidikan jika seluruh kekayaan alam yang dimiliki dikelola negara berdasar syariat Islam.

Negara Khilafah memiliki mekanisme pembiayaan pendidikan. Ada dua sumber pendapatan baitulmal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai` dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi negara dengan dana dari dharibah yang dipungut dari kaum muslimin.

Biaya pendidikan dari baitulmal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, membayar gaji segala pihak yang terkait pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.

Secara integratif, Islam jauh lebih unggul dan matang dalam mempersiapkan generasi terbaik. Bukan hanya siswanya yang terjamin haknya, guru pun bisa sejahtera dan mulia. Mengutip pernyataan cendekiawan muslim, Prof. Dr.-Ing, Fahmi Amhar, “Jika ada standar pendidikan yang di dalamnya tidak untuk membentuk misi sebagai generasi terbaik, maka standar pendidikan tersebut sudah gagal sejak awal.”

Generasi terbaik tidak akan lahir dari peradaban kapitalisme dan sekularisme yang rusak dan merusak. Generasi terbaik hanya lahir dari peradaban mulia dengan sistem pendidikan Islam yang sudah terbukti kegemilangannya. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *