Tapak Tilas

[Tapak Tilas] Panas Dingin Islam di Asia Tengah

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

MuslimahNews.com, TAPAK TILAS—Edisi lalu, Tapak Tilas mengulas soal Islam di Uzbekistan. Negeri ini ada di kawasan Asia Tengah, bahkan dikenal sebagai jantungnya karena terletak persis di tengah-tengah kawasan.

Sejak dakwah masuk pada abad ke-8 M, pengaruh Islam di negeri ini begitu kuat. Umat Islam di sana bahkan turut menjadi pejuang tangguh dan pengemban risalah Islam. Wajar jika negeri ini kemudian dikenal sebagai pintu gerbang dakwah Islam ke seluruh Asia Tengah, Rusia, bahkan India.

Asia Tengah (sumber: wikipedia.com)

Di era Abbasiyah, beberapa kota di Uzbekistan sempat menjadi pusat peradaban Islam yang nyaris setara dengan Baghdad dan Kairo. Misalnya kota Samarkand, Bukhara, dan Tarmez.

Samarkand, pusat penyebaran Islam di Asia Tengah. (sumber: Islami.co)

Di kota-kota ini, lahir ulama-ulama ternama di dunia, seperti Imam Bukhari, Abu Laits As-Samarkandi, dan Imam Tirmidzi. 

Sejak Islam berkembang di Asia Tengah, kondisi negeri-negeri lain di masa itu tak jauh beda dengan negeri Uzbekistan. Islam di kawasan itu menancap sangat kuat dalam diri penduduknya. Padahal, sebelum memilih Islam, mereka menganut agama Zoroaster karena sebelumnya termasuk wilayah kekuasaan imperium Persia atau Sassanid.

Asia Tengah, tanah para ulama dan ilmuwan Islam (sumber: jernih.co)

Pergolakan Ideologi di Asia Tengah

Meski eskalasi politik Islam mengalami fluktuasi, termasuk akibat adanya pergantian dinasti di pusat kekuasaan, tetapi kondisi muslim di Asia Tengah selalu berada dalam kebaikan. Di bawah pangkuan Islam mereka bisa merasakan hidup sejahtera dan benar-benar terjaga.

Namun, kondisi berubah saat Rusia berhasil mencaploknya dari Kekhalifahan Utsmaniyah pada akhir abad ke-19. Di bawah aneksasi Rusia, umat Islam di kawasan Asia Tengah hidup dalam tekanan dan kehilangan kedaulatan dalam beragama.

Kondisi makin sulit saat pasca-Revolusi Bolsevik (1917). Rusia mengadopsi sosialisme sebagai dasar bernegara, lalu membentuk Uni Soviet yang di antaranya menggabungkan negeri-negeri Islam di Asia Tengah sebagai bagian wilayah kekuasaan politiknya.

Di bawah kekuasaan Uni Soviet itu, umat Islam makin kehilangan kesempatan untuk mengekspresikan agamanya. Simbol-simbol Islam dan identitas lainnya haram diperlihatkan.

Baca juga:  [Tapak Tilas] Uzbekistan, Gerbang Islam di Asia Tengah

Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, terbentuklah 15 negara republik baru di atas puing-puingnya. Lima di antaranya ada di kawasan Asia Tengah, yakni Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgizstan, dan Tajikistan.

Peradaban Islam di Asia Tengah. (sumber: bumijowo.blogspot.com)

Perubahan politik ini justru membuat umat Islam kembali memiliki ruang mengekspresikan agamanya. Meskipun tantangan baru justru datang dari para penguasa mantan antek Soviet yang tetap mengadopsi sosialisme dan pola kepemimpinan diktator.

Di era itulah pergolakan politik dan dakwah terjadi di kawasan Asia Tengah. Ini dikarenakan, kawasan ini berhasil menjadi salah satu poros pergerakan Khilafah yang diinisiasi oleh gerakan dakwah berskala internasional bernama Hizbut Tahrir.

Gerakan ini berhasil menyadarkan umat Islam Asia Tengah tentang problem mendasar umat dan solusinya. Juga berhasil mengembalikan kesadaran mereka akan tanggung jawab untuk menegakkan kembali sistem Islam yang dulu menjadi darah daging dan sumber kemuliaan mereka.

Sikap represif yang dilakukan penguasa sosialis diktator di negeri-negeri itu tak mampu memadamkan api ideologi yang kembali dengan cepat ke pangkuan mereka.

Pemenjaraan, penyiksaan, bahkan pembunuhan para kader gerakan malah memunculkan simpati masif dari umat, hingga mereka pun berbondong-bondong menjadi pengikut dan pendukungnya.

Asia Tengah Menjadi Kancah Persaingan Adidaya

Tentu saja api kebangkitan ini menjadi peringatan tersendiri bagi penguasa dunia baru, yakni Amerika. Saat itu, AS sedang serius berusaha mengokohkan hegemoni ideologi kapitalisme atas dunia, termasuk di bekas-bekas wilayah pengaruh sosialisme yang sebelumnya merupakan musuh ideologinya.

Apalagi, saat itu gelombang kebangkitan Islam yang dibaca oleh AS sebagai “bahaya hijau” sedang panas-panasnya muncul di berbagai wilayah dunia. Maka AS pun mulai melancarkan strategi baru yang disebut sebagai proyek Global War on Terrorism (GWoT), termasuk di kawasan Asia Tengah.

Terkait munculnya gelombang kebangkitan di Asia Tengah, AS bersama think tank-nya bahkan merasa perlu melakukan berbagai riset. Targetnya, untuk melihat apa kelemahan dari pemikiran Islam ideologi dan gerakan Khilafah yang berkembang di Asia Tengah.

Baca juga:  [Tapak Tilas] Uzbekistan, Gerbang Islam di Asia Tengah

Amerika benar-benar menyadari, meski ia tak lagi memiliki musuh ideologi yang nyata dalam bentuk negara sebagaimana sebelumnya, tetapi Asia Tengah tetap menyimpan bahaya besar baginya jika tak segera dilemahkan atau diambil loyalitasnya. Maklum, sebagaimana kawasan Timur Tengah sangat kaya sumber daya dan posisinya sangat strategis karena berbatasan dengan musuh-musuh potensialnya.

Diketahui, kawasan ini khususnya wilayah Laut Kaspia adalah wilayah yang sangat kaya minyak dan sumber daya lainnya termasuk emas. Sementara secara geografis, wilayah ini berbatasan dengan adidaya lain yakni Rusia di Utara dan Cina di bagian timur.

Kedua negara ini tentu sama-sama memiliki kepentingan untuk menancapkan pengaruh politiknya di kawasan Asia Tengah. Apalagi bagi Rusia misalnya, kawasan ini ibarat paru-paru yang digunakan untuk bernapas.

Laut Kaspia. (sumber: kompas.com)

Di samping itu, bagi Rusia, Asia Tengah juga menjadi pintu gerbang menuju kawasan lainnya di dunia. Sementara bagi Cina, Asia Tengah menjadi penting karena berbatasan dengan wilayah strategisnya di Turkmenistan Timur yang dihuni oleh muslim Uighur.

Maka, Amerika tidak akan mudah merebut kawasan tersebut untuk bisa menjadi wilayah pengaruhnya. Meskipun sejak era Uzbekistan dikuasai Islam Karimov, Amerika sudah berhasil menancapkan pengaruhnya di negeri itu, bahkan berhasil menjadikan Uzbek sebagai sekutu militer hingga AS bisa mendirikan pangkalan militernya di sana.

Tak hanya di Uzbekistan, AS pun telah berhasil memanfaatkan isu GWoT untuk mengambil hati para penguasa di Asia Tengah itu sendiri. AS berhasil membentuk kerja sama militer dengan Tajikistan. Juga menjalin kerja sama ekonomi dan budaya dengan Kirgizstan.

Begitu pun sejauh ini, Amerika telah berhasil memanfaatkan semua sekutu strategisnya yang ada di sekitar Asia Tengah. Di antaranya, Afganistan pada masa sebelum dikuasai Taliban baru-baru ini, serta Pakistan sejak era kepemimpinan Musharraf. Kedua pemimpin negara ini berhasil didaulat sebagai watch dog dan kaki tangan untuk memuluskan target penguasaannya atas nama kerja sama keamanan, ekonomi, dan proyek-proyek pembangunan infrastruktur lintas negara.

Baca juga:  [Tapak Tilas] Uzbekistan, Gerbang Islam di Asia Tengah

Situasi inilah yang menyebabkan kawasan Asia Tengah akan tetap menjadi problem dunia. Dia akan menjadi kancah persaingan negara adidaya, meskipun, sekali lagi, saat ini AS bisa dikatakan berhasil menjaga stabilitas keamanannya di kawasan melalui kekuatan militer, ekonomi dan politik yang belum terkalahkan atas dunia.

Asia Tengah, bak Api dalam Sekam

Meski kondisi Asia Tengah hari ini tampak adem ayem setelah penguasaan mutlak AS, bukan berarti potensi kebangkitan Islam benar-benar hilang. Sejarah membuktikan, meski ratusan tahun umat Islam Asia Tengah hidup dalam tekanan, tetapi saat celah itu ada, pengaruh ideologi Islam dengan mudah kembali kepada pemiliknya.

Tepatlah kiranya jika dikatakan bahwa kawasan Asia Tengah telah dan akan terus menjadi benteng penting dari sekian benteng Islam. Bahkan, ke depan tetap akan menjadi salah satu harapan Islam yang akan memberi lonceng bahaya bagi negara-negara adidaya bahwa sebuah negara Islam yang besar dengan segala potensinya akan berdiri kembali di tengah-tengah mereka.

Namun, seberapa kuat potensi ini akan memberi pengaruh bagi terealisasinya kebangkitan Islam, tentu sangat tergantung pada ikhtiar umat Islam di sana untuk menggarapnya. Mereka harus benar-benar memahami situasi politik yang melingkupinya. Bukan hanya sekadar politik di dalam negeri mereka, tetapi dalam konteks politik internasional.

Mereka pun harus benar-benar menyadari bahwa saat ini mereka sedang dikooptasi kekuatan besar yang menjadikan penguasa mereka sebagai perpanjangan tangan. Sehingga, eksistensi kepemimpinan sekuler inilah yang justru menjauhkan mereka dari Islam dan kemuliaan.

Semoga Allah Swt. tetap menjaga orang-orang yang terus berikhtiar membangun kesadaran umat, di tengah tantangan yang makin besar dan penyesatan yang makin masif. Semoga pula Allah Swt. segera memberi umat ini pertolongan, sehingga umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Asia Tengah, bisa dipersatukan kembali dalam satu kepemimpinan, Khilafah Islam. [MNews/Juan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *