[Tanya Jawab] Menelikung Makna Hadis atas Dasar Kemaslahatan

Bersama: Ustazah Kholisah Dzikri

MuslimahNews.Com, TANYA JAWAB

Sebatas mana kemubahan bekerja, ketika dijadikan alasan untuk lebih mendahulukan karir daripada mengkaji Islam atau mendakwahkannya?  

Jawaban:

Sebagaimana lazimnya, sistem kehidupan pasti akan memengaruhi seluruh tatanan kehidupan dan perilaku masyarakatnya. Mahalnya biaya hidup menuntut rakyat mencurahkan waktu dan tenaganya untuk sekadar menyambung hidup. Belum lagi, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Ditambah harus bersaing dengan kaum hawa untuk mendapatkannya. Faktanya, ada sebagian perempuan bekerja karena eksistensi diri dan mengembangkan karir, tetapi mayoritas perempuan bekerja karena tuntutan hidup yang semakin berat.

Jumlah perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki, dan upah yang rendah dengan dalih ketelatenan, dan minim tuntutan, menjadikan pekerja perempuan pun lebih diminati.

Begitu pula dalam keluarga, yang seharusnya perempuan tidak dituntut menafkahi keluarga terpaksa harus bekerja. Tidak terkecuali, perempuan yang belum berkeluarga juga dituntut menafkahi dirinya, karena ketidakmampuan orang tua menafkahinya.

Namun di sisi lain, pegiat gender yang dimanfaatkan para kapitalis terus menyuarakan keterlibatan perempuan dalam perekonomian. Perempuan berdaya dinilai sebagai kemajuan suatu peradaban.

Tidak bisa dinafikkan, kapitalisme juga telah mengubah standar hidup seseorang menjadi materialistik. Kebahagiaan diukur dengan capaian-capaian materi.

Perpaduan tiga hal tersebut, menjadikan sebagian perempuan tersibukkan waktunya dengan aktivitas bekerja, dan perhatian hidupnya teralihkan dari pelaksanaan berbagai kewajiban, termasuk kewajiban berdakwah.

Kesulitan ekonomi dan tuntutan perempuan bekerja tidak akan mengubah status dari mubah menjadi sunah, apalagi wajib. Secara syarak, perempuan tidak dilarang bekerja. Ia boleh bekerja terlebih kalau itu tuntutan yang memaksanya bekerja, tetapi ia tidak boleh melalaikan berbagai kewajibannya. Perempuan pekerja harus bisa mengatur waktu, tenaga, dan pikirannya agar semua berjalan dengan baik.

Ketika ia seorang istri dan ibu, maka harus dipastikan kewajiban sebagai istri, ibu, dan pengatur rumah tangga tidak terabaikan. Tentu ini tidak mudah, karenanya Islam tidak pernah mewajibkan perempuan bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya. Terlebih sebagai seorang muslimah yang juga dibebani kewajiban berdakwah, apalagi dakwah berjama’ah yang menuntut kerjasama setiap pihak yang tergabung di dalamnya, ia harus bisa memprioritaskan waktunya untuk menunaikan kewajiban dakwah.

Apabila masing-masing memprioritaskan aktivitas dakwah yang telah disepakati, maka semua akan berjalan dengan baik. Karena itu, mindset ini harus dibangun agar semua tim bisa optimal menjalankan kewajibannya. Hal terpenting, semua pengemban dakwah harus memprioritaskan hidupnya untuk berdakwah, mengubah kondisi yang tidak ideal menjadi ideal, sesuai tuntutan syariat Islam.

Dibutuhkan kesabaran dan istikamah dalam menjalankan kewajiban dakwah dalam situasi serba sulit ini. Kelalaian dalam menjalankan aktivitas dakwah, justru akan memperpanjang usia dominasi kapitalisme di negeri kita ini khususnya, dan dunia pada umumnya.

Apa itu mubadalah?

Jawaban:

Mubadalah adalah ketersalingan relasi antara laki-laki dan perempuan, agar keduanya mendapatkan kemaslahatan bersama. Paham mubadalah ini lahir dari cara pandang yang menuntut perempuan dan laki-laki sejajar. Ketika seorang laki-laki mendapatkan kebajikan dari suatu perbuatan, maka perempuan juga harus diberi kesempatan untuk mendapatkan kebajikan tersebut.

Konsep mubadalah dicetuskan kelompok moderat dengan menafsirkan ayat Al-Qur’an, dan memaknai hadis yang mereka nilai misoginis terhadap perempuan dengan tafsir dan makna baru, agar tidak ada diskriminasi di antara keduanya. Mereka berdalih bahwa banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan ketersalingan (mubadalah) misalnya QS Al-Ahzab: 35 berikut,

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Baca juga:  [Syarah Hadis] Kritik Hadis tentang Khalwat dengan Metode Mubadalah

Ayat tersebut dan masih banyak ayat dan hadis yang mereka klaim sebagai dalil mubadalah, sejatinya bahwa ayat-ayat tersebut ditujukan kepada laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Allah Swt. memberikan hak dan kewajiban yang sama dalam kedudukan ini.

Namun, ketika mereka sebagai laki-laki dengan kekhasannya, maka Allah Swt. memberikan kewajiban yang berbeda dengan perempuan, begitu pula sebaliknya. Perbedaan kewajiban bukan karena diskriminasi, tetapi itu adalah aturan yang paling adil sesuai fitrah masing-masing.

Hanya saja, pegiat mubadalah menggeneralisir bahwa semua syariat harus ada ketersalingan, hingga hukum yang dikhususkan untuk masing-masing pun harus ada ketersalingan, contohnya bekerja adalah kebajikan.

Pada saat laki-laki diperintahkan bekerja menafkahi keluarga, maka ia akan mendapatkan kebajikan, sementara perempuan juga berhak mendapatkan kebajikan, terlebih kondisi saat ini peluang bekerja bagi perempuan sangat besar. Perempuan pun banyak yang memiliki keterampilan dan kapasitas yang tidak kalah dengan laki-laki. Karena itu, perempuan juga wajib menafkahi keluarga.

Kewajiban perempuan di ranah domestik seperti memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, dan lainnya. adalah kebajikan, dan laki-laki pun berhak atas kebajikan tersebut, karenanya pengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan lainnya juga menjadi tangung jawab laki-laki, agar keduanya saling mendapatkan kemaslahatan dalam rumah tangga.

Paham mubadalah ini berbahaya, karena mengutak-atik tafsir ayat dan makna hadis, agar sesuai dengan paham kesetaraan gender dengan dalih kemaslahatan dari setiap syariat. Padahal setiap ada syariat, pasti ada maslahat. Namun, belum tentu kemaslatan dalam pandangan manusia, meski ada dalilnya. Karena penentu kemaslahatan tidak lain Allah Swt. semata.

Kemaslahatan tidak boleh ditentukan oleh akal manusia, tetapi ditentukan oleh Islam. Adakah contohnya?

Jawaban:

Kaidah ushul mengatakan, ‘Di mana pun ada syariat, di situ pasti ada maslahat’. Dari kaidah ini, bisa dipahami bahwa semua syariat Islam yang Allah Swt. tetapkan pasti ada kemaslahatannya, baik manusia bisa merasakan kemaslahatan syariat tersebut maupun tidak.

Maqâshid asy-syarî‘ah (mewujudkan kemaslahatan) merupakan hasil dari penerapan syariat Islam secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi).

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, menjelaskan ketika Asy-Syâri‘ yakni Allah Swt. menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah dari  penerapan syariah sebagai keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum yang bersifat khusus, yang hanya bisa diketahui melalui dalil dari topik yang bersangkutan.

Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS Al-Hajj: 28), tujuan pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS Al-Maidah: 91), tujuan salat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS Al-Ankabut: 45), dan seterusnya.

Kemaslahatan syariat Islam akan nyata dirasakan ketika seluruh syariat Islam diterapkan, karenanya kewajiban menegakkan syariat Islam kafah menjadi sangat urgen, agar umat muslim bisa merasakan manfaat dari penerapan syariat Islam.

Apa batasan-batasan perempuan bekerja karena menafkahi keluarga di zaman kapitalisme sekarang ini?

Jawaban:

Dalam era kapitalisme, perempuan terpaksa harus menanggung beban ekonomi keluarga yang seharusnya bukan tanggung jawabnya. Ketika perempuan bekerja, maka itu bukan bagian dari kewajiban menafkahi keluarga, tetapi dinilai sebagai sedekah sunah, karena telah bersedekah kepada keluarga. Namun, ia harus memperhatikan ketentuan syariat Islam, agar ketika bekerja keluar rumah tidak melanggar ketentuan syariat Islam lainnya, jangan sampai mengerjakan kemubahan dengan melanggar syariat yang ia wajib terikat dengannya.

Baca juga:  [Event Diskusi WAG] Moderasi Islam Masif, Dakwah Islam Jangan Pasif

Kemudian izin suami, bagi yang sudah berkeluarga mutlak baginya. Izin wali bagi yang belum berkeluarga juga harus ia dapatkan. Pekerjaan yang dikerjakan pun harus halal serta tidak mengeksploitasi keperempuannya, tetap menutup aurat dengan jilbab yang sempurna, tidak khalwat, dan tetap menghindari ikhtilat, semua kewajiban dia sebagai seorang muslimah, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tidak terlalaikan. Ketika ketentuan tersebut terpenuhi, maka boleh dia bekerja sebagai sebuah kemubahan.

Sekarang banyak ibu-ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, sedangkan tanggung jawab menjaga anak diberikan pada neneknya bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Pengasuhan anak (hadhanah) adalah kewajiban ibu yang tidak tergantikan oleh orang lain, kecuali sang ibu tidak memiliki kapasitas mengasuh anak seperti sakit yang berkepanjangan, sehingga tidak bisa mengasuh anak, gila sehingga membahayakan anaknya, fasik atau rusak agamanya sehingga membahayakan akidah anak.

Adapun ketika ibu bekerja hanya paruh waktu dan saat ia bekerja anak dititipkan ke ibunya (nenek), sementara neneknya memiliki kemampuan dan kapasitas mengasuh anak maka diperbolehkan. Meski demikian, tidak sepantasnya seorang anak membebani ibunya  untuk mengasuhkan cucunya. Karena masa tuanya seharusnya diisi dengan memperbanyak amal saleh dengan beribadah, tidak kembali berulang mengalami kerepotan sebagaimana masa mudanya dulu.

Bagaimana peran negara Islam dalam mengatur perempuan dalam bekerja? Apakah ada jenis pekerjaan tertentu yang dikhususkan bagi perempuan?

Jawaban:

Khilafah Islamiah akan mendudukkan hukum mubah pada perempuan untuk bekerja, artinya tidak melarang untuk bekerja, terlebih untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan kekhususan seperti menolong wanita lain melahirkan, menjadi pendidik (guru), dan pekerjaan lainnya. Namun, Khilafah tidak akan mengekspolitasi perempuan untuk bekerja. Lapangan pekerjaan akan banyak diperuntukkan bagi laki-laki agar mampu menafkahi istri dan anak-anaknya.

Khilafah akan memastikan perempuan bekerja, karena ilmu dan keterampilan yang dia miliki bukan dengan mengeksploitasi keperempuannya seperti menjadi pramugari, pramusaji, sales promotion girl (SPG), dan lainnya. Di tempat kerja pun akan dipastikan tidak terjadi khalwat, ikhtilat, perempuan tetap menutup auratnya dengan sempurna, tidak tabarruj, dan hukum-hukum lain, agar keberadaan perempuan di ruang publik tidak menjadi fitnah bagi laki-laki.

Apakah pemaknaan hadis atas mashlahat ini merupakan jalan tengah atas ketidakpahaman orang-orang atas syariat Islam yang sebenarnya sangat memuliakan perempuan?

Jawaban:

Mubadalah adalah paham yang diusung oleh kelompok moderat yang tidak menginginkan Islam kafah. Para pengusungnya bukan kalangan orang yang awam tentang agama, tetapi karena sekularisme telah merasuki benaknya, dan penyakit wahn (kecintaan thd dunia) telah mendominasinya, sehingga mereka mengutak-atik nash agar sesuai hawa nafsunya.

Masifnya pergerakan mereka dalam menjajakan ide mubadalah karena difasilitasi oleh rezim anti Islam kafah, bahkan oleh kekuatan global kapitalisme untuk merusak Islam dari dalam tubuhnya sendiri. Yang terpenting adalah menjauhkan umat dari syariat Islam yang sahih.

Bagaimana dengan cara berpikir bahwa jika ada kemaslahatan, maka disitu sudah ada syariat Islam? Padahal belum tentu semua maslahat yang dimaksud buah dari syariat Islam?

Jawaban:

Agen Islam moderat yang juga pengusung paham mubadalah menjadikan maslahat sebagai landasan dalam menentukan ada tidaknya syariat. Kaidah yang mereka gunakan adalah, “Aynama wujidat al-maslahah fa tsamma syar’ullah” (di mana ada maslahat, maka di sana ada hukum Allah). Menjadikan maslahat sebagai illat (sebab) hukum sama artinya menjadikan akal dan hawa nafsu manusia sebagai penentu halal-haram, baik-buruk, terpuji, dan tercela.

Saat ini, kemaslahatan menjadi sandaran yang digunakan untuk melegitimasi kebijakan sesuai kepentingan atau kemaslahatan pihak-pihak tertentu, dan yang lebih memprihatinkan lagi dibelokkan untuk mengemas ide-ide barat sekuler, agar nampak sesuai syariat. Contoh legalisasi investasi miras dan mengucapkan selamat hari raya agama lain. Jadi, konsep kemaslahatan telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal ke dalam hukum Islam.

Baca juga:  Menelikung Makna Hadis atas Dasar Kemaslahatan

Kemaslahatan merupakan hasil dari penerapan syariat Islam secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi).

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, menjelaskan, ketika Asy-Syâri‘ yakni Allah Swt. menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah dari penerapan syariah sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, kewajiban menegakkan syariat Islam kafah menjadi sangat urgen agar umat muslim bisa merasakan maslahat dari penerapan syariat Islam.

Kewajiban mencari nafkah bersama, seolah “diakui” oleh kaum perempuan saat ini sebagai bagian dari ibadah, karena membantu suami dalam hal penafkahan keluarga dan mereka tidak merasa dirugikan. Bagaimana pandangan ustazah terhadap hal ini?.

Jawaban:

Pandangan semacam itu sejatinya lahir dari konsep mubadalah, yang secara tidak sadar diadopsi oleh sebagian muslimah.

Memang benar, bahwa dalam rumah tangga suami dan istri harus tolong menolong dalam kebaikan. Jika istri memiliki rezeki, dan bersedekah kepada suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka itu baik. Namun, jika berpandangan istri bersama-sama suami mencari nafkah sebagai bentuk ibadah istri, pandangan ini yang salah.

Apabila mencari rezeki menjadi kewajiban istri, maka ketika dia tidak bekerja konsekuensinya berdosa, dan ini tentu sangat memberatkan. Karena dia harus menanggung sesuatu yang bukan kewajibannya.

Bisa dibayangkan, jika istri wajib bekerja sementara peran domestiknya sangat banyak, dan membutuhkan konsentrasi waktu, tenaga, dan pikiran, maka akan sangat memberatkan tugas perempuan.

Karena itulah, Islam tidak membebani istri untuk mencari nafkah, tetapi pilihan saja (mubah), dia bekerja dan mengembangkan hartanya, dan sunah baginya menyedekahkan hartanya kepada suaminya.

Bagaimana jika nanti Khilafah berdiri, apakah negara memberikan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian rakyatnya?

Jawaban:

Khilafah adalah negara yang mandiri dan sangat memperhatikan urusan rakyatnya. Terkait penyediaan lapangan pekerjaan, Khilafah tidak akan merekrut tenaga ahli maupun tenaga kerja secara umum dari luar negeri, kecuali dalam keadaan belum ada tenaga ahli dari dalam negeri. Khilafah akan merekrut pegawai negara sesuai keahlian yang dibutuhkan.

Profesionalitas kerja pun akan sangat diperhatikan. Negara akan memberikan gaji yang cukup, sesuai keahlian yang dimiliki, sehingga produktivitas  meningkat. Bagi laki-laki yang tidak memiliki keterampilan, negara akan memberikan pelatihan sekaligus modal usaha (jika tidak memiliki modal).

Di sektor pertanian, negara akan mengembangkan produktivitas lahan dengan membangun sarana yang dibutuhkan, seperti irigasi dan transportasi yang memudahkan untuk sampainya produk pertanian ke pasar. Khilafah akan mengembangkan bibit tanpa bergantung kepada perusahaan asing, demikian juga ketersediaan pupuk, dan sebagainya. Sehingga sektor pertanian bisa berkembang pesat.

Kemudian, negara akan mengembangkan sektor industri yang  menyerap banyak tenaga kerja dan tenaga ahli. Intinya, negara Khilafah akan sangat memperhatikan ketersediaan lapangan pekerjaan baik kepada tenaga ahli maupun tenaga kerja umum, agar tidak ada satu pun rakyatnya yang menganggur.

Dengan tersedianya lapangan pekerjaan, maka semua laki-laki yang wajib menafkahi istri dan anaknya, bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan yang cukup.

Di sisi lain, negara Khilafah juga akan memberikan layanan gratis terhadap kebutuhan komunal, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya, sehingga penghasilan yang diperoleh para suami akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, tanpa harus ditopang istrinya bekerja. Dengan demikian, kesejahteraan dalam negara Khilafah mudah diraih setiap rakyatnya. [Mnews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.