[News] Demokrasi “Semau Gue”, Mesti Dihentikan dengan Syariat
MuslimahNews.Com, NASIONAL—Cendekiawan muslim, Ustaz Ismail Yusanto, menyatakan terkait bertambahnya kekayaan pejabat bahkan ada yang mencapai 6 miliar per bulan, bahwa patut untuk mempertanyakan pekerjaan apa yang bisa mencapai jumlah seperti itu. Padahal menurutnya, kalau dari gaji saja, tidak mungkin bisa. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam diskusi virtual “Pejabat Makin Kaya: Demokrasi Semau Gue” pada Ahad (12/9/2021).
Ustaz Ismail menyebutkan, salah satu cara terpenting untuk memberantas korupsi adalah dengan pembuktian terbalik. “Bukan si penuntut yang harus membuktikan seseorang korupsi, tetapi orang yang dituntut itulah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi,” jelasnya.
Menurutnya, cara ini sangat efektif dan pernah diterapkan Khalifah Umar bin Khaththab. Sebelum dan sesudah menjabat, seseorang dihitung harta kekayaannya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan menjelaskan asal kenaikan tersebut.
“Tentu tidak selalu selisih kekayaan itu berasal dari korupsi, sehingga tidak sulit bagi orang yang jujur untuk menjelaskannya. Inilah yang disebut pembuktian terbalik,” urainya.
Ustaz Ismail mencontohkan pada masa Khalifah Umar yang melakukannya secara konsisten. Jika ada kenaikan kekayaan yang mencolok dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, kenaikan tersebut akan diambil untuk negara. Khalifah Umar juga mengutus sahabat Muhammad bin Maslamah untuk mengambil harta Abu Hurairah di Bahrain, kemudian Amr bin Ash di Mesir, Sa’ad bin Abi Waqash di Kufah.
“Namun sayangnya, cara pembuktian terbalik ini sudah dihapus dari UU Tipikor oleh yang memiliki kewenangan, yaitu wakil rakyat. Jadi, kalau disebut ada tendensi mengutak-atik peraturan, sudah dilakukan sejak beberapa waktu yang lalu,” ujarnya.
Demokrasi “Semau Gue” Akibat Kedaulatan Ada di Tangan Rakyat
Ustaz Ismail memaparkan, peraturan-peraturan yang dianggap membahayakan akan disingkirkan karena bisa jadi menjerat anggota DPR itu sendiri ketika ada kenaikan kekayaan.
“Ada kecenderungan menghapus ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyulitkan, lalu dibuat agar memudahkan dan menguntungkan. Segala alasan bisa dilakukan. Contoh, rangkap jabatan rektor sekaligus komisaris, dan Perppu Ormas yang membubarkan HT1,” ujarnya.
Di sinilah, ulasnya, demokrasi “semau gue” tampak. Menurutnya, memang benar bahwa wakil rakyat memiliki kewenangan, tetapi kewenangannya digunakan semau-maunya. Ustaz Ismail menyebut ini terjadi karena ada kelemahan utama dari doktrin demokrasi, yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat.
“Makna kedaulatan adalah memiliki hak untuk menerbitkan hukum, mengatur perbuatan dan benda. Demokrasi pun menyatakan hak itu ada pada rakyat melalui wakil-wakilnya. Maka, asumsi wakil rakyat akan membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan rakyat dan berpihak kepada rakyat, tidak sepenuhnya begitu, karena ia adalah manusia biasa yang mudah dipengaruhi,” jelasnya.
Hari ini, lanjutnya, dalam money diplomacy terjadi stick and carrot (ancaman dan iming-iming). Ketika dua hal ini tidak bisa ditahan oleh wakil rakyat, terjadilah pengkhianatan, meskipun yang dikatakan adalah terjadi perkembangan dan dinamika. Akhirnya, membuat peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya merugikan rakyat, contohnya UU Minerba. Sehingga, Ustaz Ismail menilai bahwa demokrasi “semau gue” ini terjadi karena mendasarkannya pada rakyat melalui wakil-wakilnya.
“Ketika wakil rakyat memiliki kepentingan pribadi ataupun pihak lain dan mendapat tekanan melalui stick and carrot, dia akan tunduk pada kepentingan orang lain, baik dari elite partai, oligarki pemilik modal, maupun keduanya,” tukasnya.
Kedaulatan Mestinya di Tangan Syarak
Ustaz Ismail menegaskan, ketika berbicara kedaulatan, sudah seharusnya kedaulatan itu ada di tangan syarak. Hak menentukan hukum dan aturan terhadap manusia dan benda adalah haknya Allah. Dengan begitu tidak ada manusia yang bisa mengubah itu. Contohnya, menurut syariat, ladang batu bara adalah milik rakyat, maka tidak bisa diubah menjadi milik pribadi atau perusahaan. Sebaliknya, dengan kedaulatan di tangan rakyat, ini bisa diubah.
“Sehingga, ketika ada seruan selamatkan Indonesia dengan syariat, ini adalah upaya untuk menyelamatkan di titik paling rawan kedaulatan tersebut. Hanya saja belum tuntas masyarakat memahami, sudah disapu oleh kalangan elite dan oligarki dalam payung radikalisme. Oligarki berusaha mencari cara untuk melanggengkan kekuasaannya,” terangnya.
Ustaz Ismail pun menegaskan, ketundukan kepada syariat itu adalah bukti ketaatan kepada Allah, dan sesuatu yang berasal dari Allah pasti baik, bahkan bisa diuji secara ilmiah, baik melalui telaahan mendalam, diskusi, riset, dan sejenisnya mengenai keunggulan syariat dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
“Namun saat ini, kesempatan untuk menguji ditutup atas nama war on terrorism. Akhirnya kita kehilangan kesempatan penting untuk mengetahui gagasan-gagasan syariat untuk menghadapi persoalan yang dihadapi bangsa ini. Akibatnya, terjadilah kemunduran,” terangnya.
Ia berujar, ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di berbagai negeri-negeri muslim lainnya yang mana gagasan-gagasan syariat Islam khususnya terkait politik dan ekonomi, dieliminasi sedemikian rupa.
“Maka, tugas kita adalah menghentikan tatanan kapitalistik, liberal, dan “semau gue” ini. Kemudian membangun kesadaran baru tentang satu-satunya alternatif, yaitu Islam,” pungkasnya. [MNews/Ruh]