Benarkah Memperkuat Partisipasi Ekonomi Perempuan Berarti Memperkuat Ekonomi dan Ketahanan Keluarga?

Penulis: Rahmah

MuslimahNews.com, FOKUS — Konferensi Perempuan Internasional akan digelar di Bali tahun depan, dan Indonesia akan menjadi tuan rumahnya. Rencananya, konferensi ini akan dihadiri oleh 20 menteri dan menghadirkan 53 narasumber.

Konferensi ini mempunyai target untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja. Di Indonesia sendiri terdapat 65,4 juta UMKM dan lebih dari setengahnya dimiliki oleh perempuan. Hal ini dipandang sebagai potensi besar perempuan sebagai penggerak pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) ini dinilai sebagai ujung tombak keberhasilan isu-isu pemberdayaan perempuan, yaitu perempuan penyintas/korban kekerasan, perempuan penyintas bencana, dan perempuan sebagai kepala keluarga.[i]

Sebagai tuan rumah, Indonesia akan mendorong peran G20 untuk meningkatkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dunia. Menurut Menteri PPPA, G20 harus melakukan intervensi progresif untuk menurunkan kesenjangan partisipasi perempuan di dunia kerja. Karenanya, UMKM yang pemiliknya perempuan harus mendapat tambahan dukungan.[ii]

Untuk mencapai target peningkatan partisipasi perempuan di dunia kerja, perempuan harus mendapatkan posisi strategis, yaitu sebagai pimpinan di sektor swasta, dalam bisnis-bisnis dan di perusahaan-perusahaan.

Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat PPPA mengatakan bahwa sebagai salah satu upaya mempersiapkan penyelenggaraan G20 Empower, Kemen PPPA akan meningkatkan partisipasi aktif seluruh pihak, melalui pelibatan para pemimpin (top leaders) perempuan Indonesia dari perusahaan besar untuk bergabung sebagai advocates perwakilan Indonesia pada Aliansi G20 Empower.[iii]

Perkuat Partisipasi Ekonomi Perempuan, Benarkah Perkuat Ketahanan Keluarga

Kemiskinan telah menjadi problem yang dihadapi perempuan di sepanjang sejarah kapitalisme. Kondisi ini makin parah ketika terjadi pandemi Covid-19. Banyak perempuan kehilangan nafkah karena suaminya di-PHK, usahanya gulung tikar, atau meninggal menjadi korban pandemi. Akhirnya, sebagian para istri ikut terjun mencari nafkah untuk mempertahankan ekonomi keluarga.

Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu diukur dengan materi, siapa pun dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang harus bisa mendatangkan manfaat secara materi. Demikian pula perempuan, ia dipandang sebagai bagian dari sumber daya, apalagi perempuan memiliki bargaining position yang lebih rendah dari laki-laki. Mereka umumnya masuk dunia kerja karena kebutuhan, sehingga mereka cenderung lebih menerima apa pun yang ditetapkan perusahaan tanpa perlawanan.

Baca juga:  Editorial: Sampai Kapan Perempuan Ditumbalkan?

Munculnya arus kesetaraan gender yang memperjuangkan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki dan membuat perempuan memiliki partisipasi ekonomi yang diperhitungkan, dianggap merupakan jawaban dari persoalan kemiskinan perempuan. Maka, upaya pemberdayaan perempuan diarahkan untuk membuat mereka bisa bekerja, memiliki usaha, dan menghasilkan uang. Namun, apakah upaya ini mampu menyelesaikan persoalan perempuan?

Pada saat nafkah keluarga dijadikan tanggung jawab dan kewajiban bersama suami istri, beban yang ditanggung istri ini setidaknya akan berpengaruh terhadap perannya sebagai pendidik anak-anaknya dan pengatur rumah. Terlebih mereka yang bekerja seharian, dari pagi sampai sore, tidak jarang mereka sampai di rumah malam hari atau harus tugas keluar kota berhari-hari. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan untuk mengasuh dan merawat anak-anak dengan baik. Tentu saja hal ini akan berdampak pada ketahanan keluarga.

Di samping itu, tidak jarang istri yang bekerja dan gajinya lebih tinggi dari gaji suami, menjadikan suami kurang percaya diri memimpin keluarga. Banyak istri yang gajinya lebih tinggi merasa lebih berhak mengatur keluarganya dan merasa berat diatur dan menaati suaminya. Jika kondisi ini berlangsung lama, akan makin keruh, sehingga menyebabkan rumah tangga tidak harmonis dan tidak sedikit yang berujung pada perceraian.

Hal ini diperparah dengan pengangguran laki-laki yang makin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada masa pandemi jumlah pengangguran naik 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang hingga kuartal III-2020. Menurut jenis kelamin, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) laki-laki sebesar 7,46% lebih tinggi dari TPT perempuan (6,46%). Terlebih perempuan makin banyak yang bekerja saat pandemi Covid-19.[iv]

Jika ditargetkan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan setara, padahal lapangan kerja makin sempit, pengangguran laki-laki akan makin meningkat. Hal ini bisa berakibat adanya sebagian keluarga yang suami istri keduanya bekerja, dan ada sebagian keluarga yang suaminya pengangguran dan istri bekerja.

Kalau dikaji lebih dalam, keluarga-keluarga yang suaminya pengangguran, baik istrinya bekerja atau tidak, mengalami problem keluarga yang tidak jarang berujung pada perceraian. Data jumlah perceraian di Indonesia makin meningkat, rata-rata mencapai seperempat dari dua juta dari jumlah pernikahan dalam setahun. Kemenag sebut angka perceraian mencapai 306.688 per Agustus 2020.[v]

Baca juga:  BLT UMKM Bocor, Negeriku Laksana Perahu Retak

Angka gugat cerai juga mendominasi perceraian, dan penyebab utamanya adalah ekonomi. Di Bandarlampung, misalnya, angka perceraian meningkat 25% pada 2021 dibanding 2020. Pada 2020 di periode Januari—Juni, jumlah kasus perceraian yang ditangani mencapai 699 perkara, dengan perincian gugat cerai oleh istri sebanyak 545 perkara dan talak oleh suami sebanyak 154 perkara. Mayoritas penyebab perceraian adalah faktor ekonomi.[vi]

Dalam kapitalisme, dampak buruk keluarnya perempuan untuk bekerja, tidak diperhitungkan sama sekali karena sifatnya yang nonmateri. Sehingga bukannya menghentikan partisipasi perempuan, mereka justru berusaha membuka peluang besar bagi perempuan untuk menjadi pion ekonomi.

Inilah solusi yang tidak memecahkan masalah, tetapi justru melahirkan permasalahan cabang yang lebih besar. Selayaknya pemikiran kapitalistik ini kita tinggalkan dan kembali kepada solusi yang berasal dari Sang Pencipta manusia, yakni solusi Islam.

Islam Menetapkan Jaminan Nafkah Bagi Perempuan

Dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami sebagai pemimpin rumah tangga yang wajib memimpin, melindungi, dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya. Sedangkan peran istri sebagai ibu dan pengurus rumah, bertanggung jawab mengatur rumahnya di bawah kepemimpinan suami. (Nizham Ijtima’i fi al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani).

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa’: 34,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Dari ayat ini jelas bahwa Allah menetapkan peran suami sebagai pemimpin rumah tangga, bukan karena semata وَبِمَا أَنْفَقُوا ‘mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka’, sehingga saat istri bekerja dan gajinya lebih besar, menjadikan istri sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Selain itu, penetapan ‘illat suatu hukum tidak ditetapkan secara aqli, akan tetapi ditetapkan secara syar’i. (Ushul Fikih, Syekh Atha’ Abu Rusthah).

Artinya harus ada dalil-dalil syar’i yang mendasarinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

Baca juga:  Ibu, Istri, dan Manajer Rumah Tangga: Harga untuk "Perbudakan Mengandung Anak!"

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهَا. (متفق عليه)

“…Dan wanita adalah penanggung jawab dalam rumah suaminya dan anak-anaknya.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Bukhari, Hadis no. 4797)

Dalam nas ini tidak terdapat kata وَبِمَا أَنْفَقُو, tetapi nas tersebut menunjukkan bahwa peran suami adalah sebagai pemimpin rumah tangga dan istri sebagai pengurus rumah di bawah kepemimpinan suami. Peran laki-laki yang bertanggung jawab atas nafkah inilah yang akan menyelesaikan masalah serta memuliakan wanita.

Dalam Islam, perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk mencari nafkah, bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian, dan yang terakhir bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya.

Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), baik di sektor yang membutuhkan intelektualitas dan profesionalisme, hingga yang hanya membutuhkan tenaganya saja. (Abdurrahman al-Baghdadi, 1997, Emansipasi, Adakah dalam Islam?, Gema Insani Press, Jakarta).

Hasil kerja perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, bukan milik keluarga, dan hanyalah sunah untuk disedekahkan ke keluarga. Akan tetapi, Islam memberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak, serta mengatur rumah suaminya pada seorang ibu. Dari sini terlihat bagaimana indahnya hukum Islam. Inilah hukum yang akan memperkuat ekonomi dan ketahanan keluarga.

Dengan demikian, untuk memuliakan perempuan dan melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan, bukanlah dengan menjadikan perempuan sebagai kepala keluarga, menjadikan partisipasi perempuan yang kuat dalam sektor ekonomi, dan menjadikannya sebagai top leader dalam bisnis-bisnis dan perusahaan. Akan tetapi, dengan mengembalikan perempuan kepada fungsi utamanya sebagai ibu pendidik generasi dan pengurus rumah.

Sudah seharusnya negara mendidik dan membekali perempuan agar kompeten dalam melaksanakan kewajibannya. Negara juga harus menjamin para perempuan memperoleh haknya dan menikmati kesejahteraan, termasuk hak untuk dinafkahi secara layak. Bukan malah diberi tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan wajib nafkah.

Tentu saja, hukum Islam yang berkaitan dengan keluarga ini tidak akan membawa maslahat kecuali seluruh hukum Islam diterapkan secara sempurna (kafah). [MNews/Gz]

Referensi:

[ii] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210827155133-111-686398/indonesia-dorong-peran-g20-untuk-pemberdayaan-perempuan

[iii] www.kemenpppa.go.id

[iv] https://economy.okezone.com/read/2020/11/05/320/2304716/jumlah-pengangguran-laki-laki-meningkat-2-13

[v] https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenag-sebut-angka-perceraian-mencapai-306688-per-agustus-2020.html

[vi] https://regional.kompas.com/read/2021/06/25/121111478/banyak-istri-gugat-cerai-suami-sejak-awal-2021-ini-pemicunya?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.