Fokus

Bergabung Bersama Koalisi, Langgengkan Kursi, Mandulkan Fungsi Aspirasi

Penulis: Retno Sukmaningrum

MuslimahNews.com, FOKUS — Adagium “tiada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”, sepertinya benar adanya. Hal ini tampak dengan bergabungnya PAN dengan partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi. Ketika dimotori Amien Rais, PAN terang-terangan berseberangan dengan pemerintahan Jokowi, kemudian abu-abu dan malu-malu ketika kepemimpinan berganti.

Kini, Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN (31/8/2021), memutuskan PAN resmi bergabung menjadi koalisi partai politik pendukung pemerintah. Tak heran jika tampak kehadiran para petinggi PAN dalam pertemuan Jokowi dengan parpol koalisi pendukung pemerintah lainnya, yaitu Nasdem, PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP; dan beberapa parpol koalisi yang tidak lolos ke Senayan seperti PSI, Hanura, Perindo, PKPI, serta PBB.[1]

Pihak koalisi menepis anggapan berbagai kalangan bahwa pertemuan tersebut membicarakan topik reshuffle kabinet dan pembahasan pelebaran koalisi. Mereka menyatakan agenda pertemuan adalah membahas berbagai persoalan bangsa yang dihadapi saat ini, di antaranya perkembangan penanganan Covid-19, persoalan makro ekonomi, ketatanegaraan, juga ibu kota negara baru.[2]

Penjelasan tersebut dianggap terlalu naif dan menguatkan adanya hidden agenda terkait reshuffle Kabinet Indonesia Maju dengan bergabungnya PAN dalam partai koalisi. Diperkirakan PAN akan mendapatkan 1—2 kursi di pemerintahan. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago.

Lebih jauh lagi, kalangan politikus juga mengendus adanya upaya memuluskan amendemen UUD 1945 di balik menggemuknya koalisi partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-MA.

Lantas, bagaimana sejatinya dampak koalisi terhadap penyelenggaraan negara maupun partai politik itu sendiri?

Koalisi Langgengkan Kekuasaan?

Koalisi menjadi suatu keniscayaan di tengah sistem presidensial multipartai, terutama ketika partai politik pengusung presiden terpilih memiliki kursi minoritas di DPR. Untuk itu, dalam sistem presidensial, multipartai koalisi menjadi salah satu solusi utama agar presiden terpilih memperoleh dukungan mayoritas di DPR. [4] Koalisi pun dibentuk pada awal pemerintahan.

Namun, yang terjadi saat ini adalah penambahan koalisi di periode kedua pemerintahan. Menjadi menarik karena penambahan koalisi terjadi bertepatan dengan wacana amandemen UUD 45. Wajar jika muncul dugaan penambahan koalisi saat ini dengan upaya memuluskan amandemen tersebut. Sebab, hal tersebut makin memudahkan dilakukan amandemen UUD 1945.

Baca juga:  Meluruskan Ambiguitas Fungsi Ormas

Untuk mengubah pasal-pasal di UUD, sidang MPR harus digelar dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR atau sebanyak 474 orang. Masuknya PAN dalam koalisi membuat pemerintah menguasai 82% kursi DPR RI atau setara 471 kursi. Jadi, untuk dapat memenuhi kuorum, tinggal butuh tambahan tiga kursi DPD lagi.[5] Jika kehadiran koalisi berhasil memenuhi kuorum, amandemen UUD pun dapat dengan leluasa dilakukan.

Demikian pula perpanjangan masa jabatan presiden dan presiden boleh menjabat tiga periode.[6] Meskipun kemudian muncul pernyataan bahwa Presiden menolak amandemen UUD 1945 dan tidak mau disalahkan seolah-olah ingin menjabat selama tiga periode,[7] tetapi peluang tersebut sudah tersedia dengan adanya penambahan partai koalisi. Artinya, tetap terbuka peluang memanfaatkan amandemen UUD untuk kepentingan sendiri, dan ini adalah pengkhianatan atas mandat rakyat.

Koalisi Mandulkan Fungsi Aspirasi

Terbentuknya koalisi partai politik sesungguhnya menggambarkan lemahnya ideologi partai. Setiap partai tentu memiliki ideologi partai. Profesor Dr. Miriam Budiardjo mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Oleh karena itu, setiap partai tentu memiliki asas dan tujuan yang ingin diraih. Namun, saat parpol berbondong-bondong menjadi koalisi, fungsi kontrol tentunya akan melemah atau bahkan tak berdaya. Partai menjadi pragmatis dan melupakan ideologi yang menjadi asas partai.

Pragmatisme membuat sikap politik bisa berubah setiap saat seiring perubahan tempat dan waktu, demi mendapatkan posisi. Idealisme partai menjadi luntur karena rayuan jabatan dan kedudukan. Apalagi dalam sistem demokrasi, partai juga memiliki fungsi legislasi, yaitu membuat aturan. Fungsi inilah yang dapat disalahgunakan ketika terjadi koalisi. Jumah besar dimanfaatkan untuk menguasai suara mayoritas demi legalisasi suatu undang-undang untuk melanggengkan kekuasaan, sebagaimana terjadi saat ini.

Baca juga:  Menjajaki Peluang Kesatuan Politik Umat

Lemahnya kaderisasi juga menjadi salah satu pendorong dilakukannya koalisi. Ketika satu partai tidak mempunyai kader yang layak diusung dalam pilkada atau pilpres, partai akan berkoalisi dengan partai lain yang mengusung kadernya. Maka, dibentuklah koalisi disertai janji bagi-bagi kekuasaan jika calon yang diusung sampai ke tampuk kekuasaan. Tak jarang pula dijumpai, sama-sama tak punya kader yang layak diusung, kemudian mengambil tokoh di luar partai untuk diusung partai yang berkoalisi.

Makin nyata bahwa ideologi partai hanyalah kekuasaan. Syahwat kekuasaan yang menjadi pemersatu koalisi sangat rawan konflik dalam tubuh koalisi partai karena kepentingan partai yang berbeda. Konflik yang ada bukan hanya berpengaruh di ranah legislatif, tetapi juga di ranah eksekutif. Hal inilah yang mengantarkan pemerintahan tidak efektif dan tidak stabil. Bongkar pasang menteri selalu akan selalu terjadi.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintahan, berpotensi mengakibatkan mandulnya peran partai sebagai aspirator suara pada penguasa. Inilah dampak yang sangat berpengaruh terhadap fungsi utama partai.

Peneliti politik LIPI, Siti Zuhro menyatakan, gemuknya koalisi parpol berpotensi negara akan dikuasai elite semata. Jika Indonesia menganut sistem presidensial, idealnya mengedepankan asas pengawasan dan keseimbangan atau check and balances. Namun, dengan gemuknya koalisi, eksekutif bakal mendapat dukungan mayoritas di legislatif.

Walhasil, jadilah pertimbangannya lebih melihat “pertemanan besar”. Lahirlah politik harmoni dan dampak harmoni membahagiakan para elite saja, sedangkan rakyat tetaplah merana. [8] Ini adalah bahaya besar yang tidak disadari ketika partai hanya berkhidmat pada kekuasaan semata.

Partai Politik Berdaya Hanya dalam Sistem Islam

Dalam kitab Takattul Hizby karangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, telah dipaparkan salah satu syarat tercapainya keberhasilan partai mewujudkan cita-citanya adalah adanya kejelasan dan kesahihan ideologi (ideologi Islam, pen.) yang diemban oleh partai dan dijadikan sebagai asas dalam seluruh perjuangannya. Apalagi, keberadaan partai politik di tengah umat merupakan kewajiban sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran: 104,

Baca juga:  Koalisi Partai Islam, Mungkinkah Terwujud dalam Sistem Demokrasi?

وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ‌ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Keberadaan partai politik adalah sebagai kiyan fikriy (institusi pemikiran) yang akan melakukan edukasi politik kepada umat, menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah, dan melakukan fungsi agregasi. Peran penting partai politik dalam keberlangsungan pemerintahan adalah fungsi aspirasi yang dapat menjadi mandul jika terjebak dalam koalisi demi kekuasaan. Fungsi ini juga akan mengawal pelaksanaan pemerintahan berada dalam koridor hukum Allah Swt..

Dalam Islam, partai tidak memiliki fungsi legislasi sebagaimana dalam sistem demokrasi, karena semua aturan bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunah, bukan pada suara mayoritas anggota partai koalisi.

Keberadaan partai dalam sistem Islam—multipartai sekalipun—semua terikat dengan aturan Allah, dan bersama menjaga penerapan syariat Allah secara kafah. Sebab, sesungguhnya kedaulatan hanyalah di tangan syarak, sehingga tidak ada tempat bagi manusia untuk membuat aturan berdasarkan akal manusia.

Dengan demikian, koalisi yang terbentuk pun semata demi menjaga tegaknya aturan Allah dan terpenuhinya hak rakyat, sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah Swt..

Dan yang tidak boleh dilupakan, ketakwaan individu anggota partai akan menjaganya untuk selalu terikat dengan hukum Allah, karena menyadari adanya pertanggungjawaban di hadapan Allah. Inilah yang tidak ada dalam demokrasi, karena demokrasi dibangun atas asas sekularisme, yang menafikan aturan Allah dan menghalalkan segala macam cara demi meraih tujuan.

Partai politik dalam sistem Islam akan menjalankan fungsinya dengan optimal, menjaga tegaknya hukum Allah secara kafah, menjadi alat penyampai aspirasi umat, juga membangun kesadaran politik umat. Partai ini hanya akan terwujud dalam sistem Islam, di bawah naungan Khilafah Islamiah, semata untuk kebaikan umat. Wallahu a’lamu bishshawwab. [MNews/Gz]

Referensi:

[1] https://nasional.tempo.co/read/1498603/jokowi-gelar-pertemuan-dengan-ketum-dan-sekjen-partai-koalisi-hari-ini

[2] https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/koalisi-pendukung-pemerintah-makin-gemuk-amandemen-uud-kian-mudah/1

[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180112074608-32-268304/koalisi-cair-lemah-ideologi-dan-buruknya-kaderisasi-parpol

[4] https://rumahpemilu.org/mengenal-koalisi-partai-politik/

[5] https://www.merdeka.com/politik/demokrat-cukup-3-kursi-dpd-koalisi-pemerintah-bisa-ubah-konstitusi.html

[6] https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/koalisi-pendukung-pemerintah-makin-gemuk-amandemen-uud-kian-mudah/1

[7] https://www.tribunnews.com/nasional/2021/09/03/jokowi-tegas-menolak-amandemen-uud-1945-dan-jabatan-presiden-3-periode-sebut-tak-mau-disalahkan

[8] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191014140041-32-439344/koalisi-gemuk-tantangan-besar-jokowi-dan-potensi-oligarki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *