Fokus

Menelikung Piagam Madinah sebagai Dalil Moderasi Beragama

Penulis: Arini Retnaningsih

MuslimahNews.com, FOKUS — Piagam Madinah dianggap sebagai bentuk perundang-undangan tertulis pertama kali dalam sejarah. Keberadaan Piagam Madinah sebagai suatu konstitusi, menegaskan bahwa institusi yang dibentuk Rasulullah saw. di Madinah bukanlah sekadar masyarakat, melainkan sebuah negara.

Sampai pada kesimpulan ini, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara para ahli sejarah dan pemikir muslim. Namun, banyak di antara mereka yang kemudian menjadikan Piagam Madinah ini sebagai dalil bagi ide-ide yang dikandung Islam moderat; seperti persamaan, negara madani, demokrasi, negara kesepakatan, dan sejenisnya.

Ini bisa kita lihat dari beberapa tulisan dan pernyataan para tokoh dan pemikir Islam moderat. Di antaranya apa yang pernah dimuat di laman NU online sebagai berikut:

“Piagam Madinah merupakan supremasi perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Nabi saw. mendirikan Darul Mitsaq, negara kesepakatan antarkelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda.”[1]

Mantan Menag Fachrul Razy juga mengeluarkan pernyataan tentang Piagam Madinah bahwa Rasul bersama masyarakat Madinah yang majemuk membangun kesepakatan berupa Piagam Madinah, lalu mewujudkannya dalam kehidupan yang toleran dan berkeadilan.[2]

Pendapat serupa dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. “Piagam Madinah seperti yang saya jelaskan, sesungguhnya memiliki kesamaan dengan Pancasila sebagai kesepakatan luhur bangsa kita. Pancasila di dalamnya mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial yang harus kita jadikan sebagai ruh dan spirit bagi jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Airlangga.[3]

Hal inilah yang perlu untuk ditelaah lebih dalam, apakah layak Piagam Madinah menjadi dalil pembenaran bagi pemikiran-pemikiran Islam moderat tersebut?

Isi Piagam Madinah

Piagam Madinah mencerminkan penguasaan ketatanegaraan pada diri Nabi Muhammad saw.. Beliau memahami bahwa dengan kondisi masyarakat Madinah yang plural, kemungkinan terjadinya konflik-konflik di antara mereka sangat terbuka lebar.

Sebagai gambaran, pada waktu itu, Madinah dihuni oleh tiga kelompok besar. Pertama, kelompok muslim dari kalangan Muhajirin dan Anshar, mereka adalah mayoritas penduduk Madinah. Kedua, kelompok musyrik yang terdiri dari Bani Aus dan Khazraj yang belum memeluk Islam, dan jumlah mereka sedikit di antara kaumnya. Ketiga, kelompok Yahudi yang terbagi dalam empat golongan. Satu bermukim di dalam kota Madinah dan tiga golongan lainnya di luar kota Madinah. Yahudi yang tinggal di dalam kota adalah Bani Qainuqa’, sedangkan yang tinggal di luar kota adalah Bani Nadhir, Yahudi Khaibar, dan Bani Quraizhah.

Baca juga:  [News] Negara Kesepakatan dan Realitas Kehidupan Rasulullah

Untuk mengantisipasi potensi konflik antarmasyarakat yang berbeda dan menyatukan masyarakat dalam satu institusi negara, Rasulullah saw. pun menyusun Piagam Madinah.

Teks lengkap Piagam Madinah bisa dibaca dalam kitab Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal. Secara umum, Piagam Madinah mengatur hubungan antara kaum muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar yaitu persamaan hak dan kewajiban mereka. Begitu juga hubungan antara kaum muslimin dan Yahudi, yang mencakup bentuk kerja sama mereka dalam menghadapi persoalan negara dan masyarakat, serta jaminan kebebasan bagi kedua pihak untuk menjalankan agamanya masing-masing.

Beberapa poin perjanjian yang mencerminkan hal di atas di antaranya sebagai berikut:

  1. Kaum mukminin yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang bergabung dan berjuang bersama mereka, adalah satu umat.
  2. Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kaum mukminin berhak mendapatkan pertolongan dan santunan selama kaum Yahudi ini tidak menzalimi kaum muslimin dan tidak bergabung dengan musuh dalam memerangi kaum muslimin.
  3. Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
  4. Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Kaum Yahudi berhak atas agama, budak-budak dan jiwa-jiwa mereka. Ketentuan ini juga berlaku bagi kaum Yahudi yang lain yang berasal dari Bani Najjâr, Bani Hârits, Bani Sâ’idah, Bani Jusyam, Bani al-Aus, dan Bani Tsa’labah. Kerabat Yahudi (di luar Kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
  5. Kaum muslimin dan Yahudi harus saling membantu dalam menghadapi orang yang memusuhi pendukung piagam ini, saling memberi nasihat serta membela pihak yang terzalimi.

Bila kita perhatikan isi perjanjian tersebut memang tampak jelas bagaimana kedudukan kaum Yahudi sebagai warga negara diakui dan disamakan hak dan kewajibannya dengan kaum muslimin. Inilah yang kemudian menjadi dasar justifikasi bagi sebagian pemikir muslim untuk mengatakan bahwa Piagam Madinah adalah simbol negara madani, negara kesepakatan, dan menjamin persamaan.

Ini adalah kesimpulan yang gegabah dan pemikiran yang dangkal karena tidak membaca realitas dari Piagam Madinah secara detail dengan kacamata yang benar.

Piagam Madinah Bukan Kesepakatan

Mencermati sejarah dan teks dari Piagam Madinah, kita dapati fakta yang bertentangan dengan klaim bahwa Piagam Madinah adalah suatu kesepakatan. Yang benar, Piagam Madinah adalah perjanjian yang Rasulullah saw. buat untuk orang-orang beriman dan orang-orang Yahudi.

Baca juga:  Madinah di Zaman Nabi Muhammad, Miniatur Indonesia?

Kita bisa lihat fakta bahwa teks perjanjian itu diawali dengan sabda Rasul:

“Bismillaahir-rahmaanirrahiim. Ini adalah perjanjian dari Muhammad Nabi saw. antara kaum mukmin yang muslim dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang mengikuti mereka… dan seterusnya.”

Kita sama-sama mengetahui bahwa orang Yahudi menolak kenabian Muhammad saw., sehingga jika ini adalah kesepakatan yang dibuat bersama, tentu kata Nabi saw. tidak akan dicantumkan; sebagaimana dalam Perjanjian Hudaibiyah, ketika Suhail yang menjadi wakil Quraisy menolak pencantuman kata nabi, sehingga hanya ditulis Muhammad saja.

Piagam Madinah itu menyebutkan apa yang harus dilakukan di antara sesama kaum mukmin. Hubungan kaum Yahudi dengan kaum mukmin diletakkan di bagian tengah teks perjanjian.

Yang dimaksud dengan kaum Yahudi di sini bukanlah kabilah-kabilah Yahudi yang hidup bertetangga, tetapi mencakup setiap orang yang ingin menjadi warga negara Daulah Islam. Mereka berhak memperoleh perlindungan dan hak yang sama dalam muamalah bersama-sama kaum muslim.

Kabilah-kabilah Yahudi sendiri—yang tercakup dalam perjanjian—disebutkan nama-nama kabilah mereka di bagian akhir dari perjanjian tersebut, yaitu setelah tuntasnya pengaturan interaksi antarkaum mukmin.

Perjanjian itu menyebutkan Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan seterusnya. Perjanjian tersebut juga mengatur hubungan mereka dengan Daulah Islam disertai syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini juga membuktikan bahwa Yahudi tidak bebas berhukum dengan hukum mereka sendiri saat berinteraksi sebagai warga negara.

Betul, mereka dijamin dalam menjalankan agama mereka, tetapi dalam urusan masyarakat sebagai warga negara, mereka wajib tunduk kepada hukum Islam. Bukan demokrasi, bukan pula hukum kesepakatan.

Dalam teks perjanjian ditunjukkan dengan jelas hubungan antara kaum Yahudi dengan kaum muslim atas dasar berhukum kepada Islam. Juga berlandaskan ketundukan kaum Yahudi pada kekuasaan Islam, serta ketundukan mereka untuk bekerja sama demi kemaslahatan Daulah Islam.

Dalam teks perjanjian tersebut ada beberapa poin yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya, bahwa:

  1. Tidak seorang pun dari orang Yahudi yang boleh keluar (Madinah) kecuali dengan izin Muhammad saw..
  2. Kota Yatsrib harus dihormati oleh pihak yang menerima perjanjian.
  3. Kejadian dan perselisihan yang timbul di antara pihak-pihak (yang menyetujui) perjanjian ini, yang dikhawatirkan kerusakannya, maka dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah saw..
  4. Tidak boleh menjalin kerja sama dengan kafir Quraisy dan tidak boleh memberi pertolongan kepada mereka.[4]
Baca juga:  Meluruskan Hakikat Piagam Madinah

Demikianlah perjanjian Rasul saw. yang mengatur semua kabilah Yahudi yang bertetangga dengan Madinah. Mereka disyaratkan tidak boleh keluar dari Madinah kecuali dengan izin Rasul saw. atau izin negara. Mereka diharamkan merusak kehormatan Kota Madinah, baik memerangi atau memberi bantuan kepada siapa pun yang memerangi Islam.

Mereka juga diharamkan menjalin hubungan dengan kafir Quraisy dan tidak pula dibolehkan siapa pun dari mereka yang menolong Quraisy. Pelanggaran apa pun yang mereka lakukan terhadap perjanjian tersebut, maka Rasulullah saw. yang akan menyelesaikannya. Artinya, diselesaikan dengan hukum Islam, bukan dengan kesepakatan.

Banyak kabilah Yahudi yang sepakat dengan isi perjanjian ini, yaitu Yahudi Bani ‘Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa’adah, Bani Jasyim, Bani Aus, dan Yahudi Bani Tsa’labah. Namun, ada juga kabilah-kabilah Yahudi yang tidak ikut menandatangani teks perjanjian ini, yaitu Yahudi Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’. Tetapi, tidak lama kemudian mereka turut menandatangani perjanjian tersebut. Mereka juga tunduk pada syarat-syarat yang sama sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian di atas.

Fakta-fakta penyusunan Piagam Madinah di atas justru menguatkan kesimpulan bahwa yang dibentuk Rasulullah saw. ketika masuk ke Madinah bukan negara kesepakatan, bukan penerimaan atas kebenaran agama Yahudi, bukan pula negara kompromi dan permusyawarahan.

Negara yang dibentuk Rasul saw. adalah negara berdasarkan syariat Islam, negara yang dihukumi dengan aturan-aturan Islam yang memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga negara, menjamin hak pemeluk agama lain untuk menjalankan agamanya, serta mengayomi dan melindungi semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.

Dengan demikian, menjadikan Piagam Madinah sebagai dalil bagi ide-ide Islam moderat adalah salah besar. Ini merupakan penelikungan terhadap dalil, suatu hal yang sudah biasa dilakukan kelompok yang mengklaim Islam moderat untuk memberikan legalitas atas pendapat-pendapatnya. [MNews/Gz]

Referensi:

[1] https://www.nu.or.id/post/read/107126/pancasila-piagam-madinahnya-indonesia

[2] https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/416211/menjaga-relasi-agama-negara-dengan-kesepakatan-toleransi-dan-penegakan-keadilan

[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210814220245-32-680442/airlangga-piagam-madinah-punya-kesamaan-dengan-pancasila

[4] An Nabhani, T. 2002. Daulah Islam. HTI Press, Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *