Tes Covid Turun Harga atau Gratis?
Penulis: Ummu Naira Asfa
MuslimahNews.com, OPINI — Presiden Jokowi memerintahkan agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan di kisaran Rp450 ribu hingga Rp550 ribu. Selain itu, Jokowi memerintahkan agar hasil tes PCR dipercepat agar hasil tes PCR keluar dalam waktu maksimal 1×24 jam (news.detik.com, 1582021). Sejumlah rumah sakit dan klinik pun mulai melakukan penurunan harga tes PCR (nasional.tempo.co, 1882021).
Memang, mahalnya biaya tes PCR menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, salah satunya dari Indonesia Corruption Watch (ICW) karena harga tes PCR di Indonesia lebih mahal dibandingkan di India. Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp96.000 (jawapos.com, 1682021).
Tes PCR dan Sejenis Harusnya Gratis
Testing, tracing, dan treatment (3T) adalah upaya kita bersama untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 dan negara harus hadir terdepan dalam pelaksanaannya. Dalam konsep Islam, negara seharusnya memberikan pelayanan tes secara gratis kepada rakyat karena itu bagian dari kewajiban peri’ayahan (pengurusan) negara atas rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus, ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Muslim)
Islam juga memandang bahwa nyawa setiap rakyat itu sangat berharga dan dijaga keselamatannya oleh negara. Nabi saw. bersabda, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Turmudzi 1455 disahihkan al-Albani).
Dalam Islam, testing termasuk bagian dari upaya memisahkan antara orang sakit dan sehat. Ini merupakan satu rangkaian dari penanganan pandemi, maka semestinya bebas biaya. Bahkan ini harus dilakukan kepada semua orang dengan tempo singkat agar virus tidak menyebar luas. Haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan yang wajib diberikan negara.
Kapitalisme Tak Manusiawi Mengatasi Pandemi
Dalam persoalan tes PCR ini, negara juga mengevaluasi (mengaudit) lembaga-lembaga penyelenggara tes agar tetap memberi pemasukan bagi negara. Hal ini membuktikan negara selalu bertransaksi dan melakukan perhitungan secara ekonomi dengan rakyat, bukan melayani (ri’ayah) sepenuh hati. Inilah watak negara kapitalis yang selalu mengedepankan materi/kapital di atas segalanya, bahkan nyawa rakyat.
Sejak awal virus Corona mulai masuk ke Indonesia, seharusnya segera dilakukan pencegahan penularan dengan memisahkan yang sakit dari yang sehat melalui kebijakan karantina wilayah (lockdown). Kemudian melakukan tindakan 3T secara masif dan cepat. Namun saat itu, virus Corona malah dipakai sebagai bahan bercanda oleh oknum penguasa.
Faktor ekonomi juga lebih dipentingkan daripada nyawa rakyat (kesehatan). Sekarang kita bisa lihat berapa banyak korban wafat karena Covid-19 karena fasilitas kesehatan tak mampu menampung pasien Covid-19 yang membludak dan bergejala dalam waktu bersamaan.
Tentu hari ini kita bisa lihat bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan jika awal-awal masa pandemi kita segera melakukan tindakan antisipatif seperti disebutkan tadi.
Perhatian Negara Islam terhadap Kesehatan
Apotek, rumah sakit, dan sekolah kedokteran banyak ditemukan di peradaban muslim. Para pemimpin muslim berlomba-lomba membangun rumah sakit terbaik yang terbuka untuk semua orang, tanpa memandang agama, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan. Rumah sakit besar pertama dibangun di Kairo, Mesir, antara tahun 872—874 Masehi dan dinamai Ahmad bin Thulun, seorang penguasa muslim di Mesir.
Pasien dengan penyakit kusta dapat diobati di rumah sakit Al-Qayrawan di Tunisia pada abad ke-9. Rumah sakit Al-Nuri di Damaskus, Suriah, bahkan memiliki pengawas yang memastikan agar perawatan yang diberikan memenuhi standar tertinggi. Rumah sakit tersebut termasuk salah satu rumah sakit pendidikan pertama di dunia.
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw., disediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Nabi saw. pernah mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum untuk masyarakat dan melayani secara gratis.
Sistem Islam kafah memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok setiap warga negara yang harus dipenuhi. Negara akan mengalokasikan dana untuk pelayanan kesehatan yang maksimal kepada rakyat, mulai dari sarana, prasarana, tenaga medis yang ahli, laboratorium kesehatan, hingga penelitian-penelitian di bidang kesehatan. Dengan rakyat yang sehat, kemajuan dan pengembangan di bidang lain akan bisa berjalan lancar. Manusianya sehat, negaranya kuat. Wallahu a’lam bishshawwab. [MNews/Gz]