Tsaqafah

Kesalahan Yahudi dan Nasrani

Penulis: Ustaz Hafidz Abdurrahman

MuslimahNews.com, TSAQAFAH — Al-Qur’an telah menjelaskan kesalahan Yahudi dan Nasrani dalam beberapa ayat. Muatan ayat tersebut bisa dianalisis dengan kedua standar di atas supaya dapat diketahui kebenaran dan kesalahannya secara logis dan argumentatif. Firman Allah menyatakan,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ الِ وَأَحِبّاؤُهُ قُلْ

“Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan, ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.” (QS Al-Mâidah:18)

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ الِ وَقَالَتِ النّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ الِ

“Dan orang-orang Yahudi mengatakan, ‘Uzayr adalah putra Allah.’ Dan orang-orang Nasrani juga mengatakan, ‘Al-Masih adalah putra Allah.’” (QS At-Tawbah: 30)

Kedua ayat di atas, menurut Ibn al-Jawzi, menjelaskan pandangan akidah Yahudi dan Nasrani. Dari kedua ayat di atas,  dapat disimpulkan bahwa Yahudi dan Nasrani sama-sama mengakui Tuhan mempunyai anak.

Tentu saja konsepsi akidah seperti ini adalah salah, jika dianalisis berdasarkan kedua standar di atas.

Pertama, dilihat dari segi asasnya, dapat dipahami bahwa manusia yang mempunyai fitrah beragama (mutadayyin) karena naluri beragamanya, pasti membutuhkan sesuatu untuk disucikan, dikultuskan, dan diagungkan. Zat yang mahdûd (mempunyai keterbatasan) dan muhtâj (mempunyai kebutuhan) memang bisa dikultuskan dan diagung-agungkan oleh manusia. Namun, ini bertentangan dengan fitrahnya yang memerlukan Zat Yang Maha. Zat yang tidak memerlukan kepada yang lain, dan tidak mempunyai keterbatasan.

Baca juga:  [Haditsu al-Shiyam] Tauhidullah (Bagian 2/2)

Ketika Tuhan digambarkan mempunyai anak, artinya Tuhan memerlukan manusia dan mempunyai keterbatasan, seperti halnya manusia biasa. Maka, ketika Tuhan seperti ini digunakan untuk memenuhi fitrah manusia, manusia tidak akan pernah puas. Sebab, dorongan naluri beragamanya mendorong taqdîs (pensucian). Untuk itu, dia memerlukan zat yang disucikan, yaitu zat yang suci atau bersih dari berbagai kekurangan, kelemahan, dan tuduhan yang bertentangan dengan sifat kesucian tersebut.

Di samping itu, ketika Tuhan mempunyai anak, berarti sama dengan makhluk yang mahdûd dan muhtâj. Dengan begitu Dia tidak azali. Karena masih memerlukan kepada yang lain. Juga berarti bahwa Dia adalah hadîts (baru). Karena baru, berarti Dia juga makhluk, sama dengan yang lain. Tentu saja ini adalah mustahil terjadi pada Tuhan. Karena itu, ini dibantah oleh Allah Swt.,

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ. ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ.

“Katakanlah (Muhammad), ‘Dia adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Allah tidak bergantung (memerlukan) pada yang lain. Dia tidak mempunyai anak dan tidak akan diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.’“ (QS Al-Ikhlâs: 1—4)

Kedua, dilihat dari segi keserasiannya dengan fitrah manusia, dapat dipahami bahwa akidah tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Karena agama Yahudi dan Nasrani tidak mempunyai ajaran yang lengkap mengenai kehidupan manusia. Ini artinya, bahwa dalam masalah kehidupan, manusia diberi kebebasan untuk mengambil akidah yang berbeda dengan spiritualitasnya.

Baca juga:  [Fikrul Islam] Iman Kepada Allah

Akibat ketidaklengkapannya, penganut kedua agama tersebut akan mengombinasikan akidah ruhiyah Yahudi atau Nasrani dengan akidah siyasiyyah Kapitalisme atau Sosialisme. Ini akan menimbulkan konflik batin, dan hilangnya ketenteraman hati sebagaimana yang dicari oleh penganut agama.

Di samping itu, penyerahan urusan kehidupan kepada manusia jelas bertentangan dengan fitrahnya. Karena dengan begitu, taqdîs pemeluk agama tersebut kepada al-Khâliq telah hilang, digantikan dengan taqdîs kepada zat yang serba lemah, yaitu manusia. Akibat keberpalingannya dari al-Khâliq kepada makhluk.

Dengan demikian, dari segi akidah, Yahudi maupun Nasrani, sama-sama bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dapat memuaskan akal mereka. Karena itu, kedua akidah tersebut adalah akidah yang salah. Jika akidah yang melahirkan sistem tersebut salah, tentu sistem yang lahir darinya juga salah. [MNews/Rgl]

Sumber: Islam Politik & Spiritual, Hafidz Abdurrahman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *