Nasib Pilu Anak Yatim Piatu, ke Mana Mereka Harus Mengadu?
Penulis : Asy Syifa Ummu Sidiq
MuslimahNews.com, OPINI — Pandemi menyisakan lara tak terkira. Memisahkan suami dengan istri, pun orang tua dengan anaknya. Apalagi dengan meningkatnya kasus harian, banyak anak-anak menjadi korban. Mereka menjadi yatim piatu dalam sesaat.
Di Jawa Timur, menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan, Andriyanto, ada 5.000 lebih anak yang ditinggalkan orang tuanya. (kompas.com, 4/8/2021)
Dalam laporan bertajuk “Children: the Hidden Pandemic 2021” yang dikeluarkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), Bank Dunia, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan sejumlah universitas ternama dunia, menyatakan di Indonesia setidaknya minimal ada 26.700 anak menjadi yatim piatu karena pandemi. (republika.id, 5/8/2021)
Ketika mereka harus kehilangan panutan di usia belia, menjadi sebuah PR besar bagi yang masih hidup untuk menggantikan tanggung jawab orang tuanya. Pertanyaannya, siapakah yang berkewajiban menanggung mereka?
Negara Memiliki Tanggung Jawab
Anak yatim piatu adalah bagian dari masyarakat. Mereka adalah balita dan anak-anak yang masih belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Selain itu, mereka juga masih dalam tanggungan orang tuanya. Namun, takdir memutuskan keduanya atau salah satu meninggal. Jadi, menjadi kewajiban orang-orang di sekelilingnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Negara sebagai penanggung jawab tertinggi seyogianya memiliki kewajiban besar atas anak yatim piatu. Selain mereka termasuk bagian rakyat, anak yatim juga masuk dalam delapan orang-orang yang berhak menerima zakat. Para pemegang kebijakan haruslah memastikan seluruh kebutuhan mereka tercapai.
Di antaranya, jika salah satu dari kedua orang tua meninggal, hak mengasuh anak jatuh pada orang tuanya yang masih hidup. Apabila orang tuanya tak mampu, seyogianya keluarga besarlah yang menolongnya. Namun, jika keduanya sudah meninggal, maka kewajiban memenuhi kebutuhan dan mendidiknya adalah tanggung jawab keluarga besar.
Bagaimana jika keluarganya tidak mampu? Setelah keluarga, ada kewajiban masyarakat di sekitar untuk membantu. Hanya saja bisa jadi hal ini tak selamanya bisa melakukan. Oleh karena itu kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan dan keamanan.
Belum Maksimalnya Usaha
Sayangnya, di kondisi seperti saat ini tak semua anak yatim piatu terpenuhi kebutuhannya. Jangankan memenuhi kebutuhan, mengumpulkan data saja belum lengkap. Seperti yang diberitakan cnnindonesia.com (5/8/21), Puan Maharani mengkritik pemerintah karena belum memiliki data khusus terkait anak yatim piatu akibat pandemi. Padahal, kehadiran negara sejak awal sangat diperlukan untuk memastikan semua anak yatim piatu terurus hingga besar nanti.
Kemajuan teknologi ternyata tak membantu negeri ini bekerja cepat tangani efek pandemi, terutama keberadaan anak yatim akibat ditinggal orang tuanya. Salah satu cerita di kota Solo, ternyata laporan tentang data anak yatim belum maksimal. Hanya beberapa kelurahan yang sudah update, lainnya masih perlu di upgrade. (kumparan.com, 29/7/21)
Terlebih, masalah pandemi ini sudah satu setengah tahun terjadi. Sebagai bentuk kesigapan, harusnya pemerintah mengantisipasi terlebih dahulu. Bukan malah gelagapan saat korban semakin banyak berjatuhan. Kurang tepatnya penanganan ini memperlihatkan ketaksiapan birokrat dalam menghadapi pandemi. Miris bukan? Saat rakyat dibutuhkan, dengan rendah hati turun ke jalan. Tapi begitu rakyat membutuhkan, telat mengulurkan tangan.
Khilafah Selalu Siap Siaga
Sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yang pernah diterapkan selama 13 abad. Dalam catatan sejarah Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai kesulitan mencari orang yang kesusahan dalam hidup. Tidak satu pun warganya yang mau menerima bantuan. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, Beliau berkeliling setiap hari mencari rakyatnya yang kesukaran. Hingga bertemu anak yang ayahnya syahid di medan perang dan saat ini dalam pengasuhan ibunya. Melihat kondisi keluarganya yang kekurangan, khalifah menanggung keluarga itu agar diurus oleh Baitulmal.
Apa pun yang dilakukan para khalifah di masa kekhalifahan merupakan bentuk dari ketaatan syariat. Atas dasar keimanan, mereka memenuhi tanggung jawabnya. Karena para pemimpin itu yakin bahwa apa yang dilakukan selama menjabat akan dimintai pertanggungjawaban. Inilah bentuk ketaatan hakiki seorang pemimpin. Mereka takut hanya di hadapan Allah Swt. Serta berusaha semaksimal mungkin menjalankan amanahnya.
Bagaimana dengan saat ini? Carut marut kondisi memperlihatkan salahnya mengambil kebijakan. Jangankan mempertahankan SDA agar tidak dijarah, menyantuni dan mengurus anak yatim korban pandemi saja belum mampu menyelesaikan. Kalau demikian masihkah kita berharap pada tata aturan sekarang yang jelas-jelas tidak mengurus rakyat? [MNews]