Opini

Eks Napi Jadi Komisaris, Integritas Tak Lagi Penting?

Penulis: Chusnatul Jannah

MuslimahNews.com, OPINI — Tahun 2020, Menteri BUMN, Erick Thohir pernah berpesan kepada bos-bos perusahaan pelat merah agar bertingkah layaknya pengelola perusahaan, bukan pemilik perusahaan. Saat itu ia menegaskan, BUMN ditugaskan untuk mengelola aset negara, bukan sebagai pemilik asetnya. “Kita itu pengelola badan usaha milik negara, bukan badan usaha milik nenek lu,” ujar Erick.

Seiring berjalannya waktu, sepertinya ia melupakan pernyataan yang dia buat sendiri. Banyak kontroversi BUMN yang ia buat karena satu kursi yang cukup menggiurkan, yaitu jabatan komisaris. Bukan saja BUMN bertumpuk utang, mereka yang ditunjuk sebagai komisaris disangsikan kompetensi dan kualifikasinya.

Kontroversi Komisaris

Masalah BUMN rupanya bukan hanya perkara utang selangit, BUMN dijadikan wadah bagi-bagi kursi terutama kepada mereka yang sudah berdedikasi mendukung Jokowi hingga duduk di tampuk kekuasaan saat ini. Adapun persoalan integritas dan kapabilitas yang sering kali diributkan publik, tampaknya tak jadi soal bagi pemerintah.

Per Mei 2021, utang luar negeri BUMN mencapai 59,65 miliar dolar AS atau setara dengan Rp852,99 triliun (asumsi kurs Rp14.300/ US$). Melihat BUMN yang terseok-seok dalam utang yang banyak, disusul banyak perusahaan BUMN yang merugi karena babak belur dihajar pandemi, besar harapan rakyat agar BUMN bisa diselamatkan dan dikelola dengan baik. Sayangnya, harapan itu pupus setelah melihat orang yang duduk di kursi komisaris sangat tidak sesuai dengan kompetensi yang diharapakan.

Berikut deretan kontroversi komisaris perusahaan BUMN yang menuai kontroversi: (1) Mantan gitaris Slank, Abdi Negara Nurdin alias Abdee. Ia diangkat menjadi komisaris PT Telkom Indonesia. (2) Kemal Arsjad yang menjadi komisaris PT Askrindo dicecar publik karena perilakunya yang menghina gubernur DKI, Anies Baswedan. (3) Kristia Budiyarto, komisaris independen PT Pelni yang mengundang amarah publik lantaran membatalkan kajian online ramadhan yang diisi beberapa tokoh agama karena menuding kajian tersebut bermuatan radikal hingga berujung pada pemecatan pegawai Pelni. (4) Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia yang diketahui merangkap jabatan sebagai wakil komisaris utama di salah satu bank BUMN. Setelah viral dan geger, tak lama ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut.

Baca juga:  Sengkarut Problematik BUMN

(5) KH Said Aqil Siradj yang secara mengejutkan ditunjuk sebagai komisaris PT KAI. Publik pun mempertanyakan penunjukkannya karena dipandang belum memiliki rekam jejak maupun pengetahuan yang cukup untuk mengelola bidang transportasi perkeretaapian. (6) Yang terbaru, Eks narapidana kasus korupsi proyek pembangunan PLTU di Tarahan, Lampung, Izedrik Emir Moeis ditunjuk jadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda.

Masih ada pula sosok relawan Jokowi yang mendapat hadiah kursi komisaris. Seperti Ahok yang menjadi komisaris Pertamina, Yenny Wahid sebagai komisaris Garuda Indonesia, Dyah Kartika Rini sebagai komisaris PT Jasa Raharja, Fadjroel Rahman sebagai komisaris PT Waskita Karya, dan banyak lagi yang lainnya.

Semanis itukah  kursi komisaris? Hingga Menteri Erick membagikannya dengan mudah layaknya berbagi permen coklat. BUMN serasa hadir bukan untuk negeri tapi untuk relawan dan pendukung rezim sebagai momen membalas budi.

Eks Napi Dapat Kursi

Mantan sekretaris kementerian BUMN periode 2005-2010, Said Didu mengungkapkan kekecewaan dan kekesalannya dalam akun twitternya. “Tugas utama komisaris BUMN adalah memberikan pengawasan terhadap Direksi. Yang sangat rawan dalam pengelolaan BUMN adalah korupsi,” katanya. Dia juga mempertanyakan akal sehat Menteri BUMN saat mengangkat eks koruptor menjadi komisaris di anak perusahaan BUMN.

“Di mana akal sehat Pak Menteri BUMN simpan saat mengangkat mantan koruptor jadi komisaris BUMN? Ingat BUMN adalah milik negara!,” kata Said Didu.

Pakar Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai pengangkatan Izedrik Emir Moeis sebagai komisaris di BUMN tidak terlepas dari status dirinya yang merupakan bekas anggota DPR dan mantan bendahara umum PDIP. Menurutnya, ditunjuknya Emir sarat dengan politik.

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan pengangkatan eks napi korupsi merupakan pelanggaran prinsip dasar kepemerintahan yang kredibel. Dia menuturkan, seolah-olah RI kekurangan sosok yang lebih kredibel dan kompeten. (Detik, 5/8/2021)

Wajar saja jika publik merasa geram dan marah. Erick sendiri juga seperti menelan ludahnya sendiri. BUMN tidak semestinya dijadikan ajang berebut kursi kekuasaan. Namun, dengan tidak berakhlak pula keputusan yang salah ini masih mendapat pembelaan dari orang-orang pendukung pemerintah. Mereka mengatakan penunjukan eks koruptor sebagai komisaris tidak melanggar aturan. Mantan napi juga memiliki hak sama meski pernah melakukan kesalahan.

Baca juga:  BUMN “Zombie” Menghantui, Privatisasi Bukan solusi

Padahal, dalam Permen BUMN tahun 2012 pasal 4 disebutkan untuk menjadi dewan komisaris di antara syarat itu menjelaskan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan.

Meski Emir Moeis dianggap sudah melewati masa hukuman setelah lima tahun berlalu, apakah ada jaminan perilaku korupsi tidak akan kambuh lagi dalam diri mantan napi? Mengingat, BUMN sangat rawan korupsi. Yang mengelolanya mantan pelaku korupsi. Apa kata dunia?

Seolah di negeri ini tak ada lagi orang yang bersih, kompeten, dan berintegritas untuk jadi komisaris. Sampai sebegitunyakah mengangkat sosok yang cacat integritas memegang kursi ‘panas’ komisaris? Mengabaikan nilai-nilai moral dan kepribadian hanya untuk berbagi jabatan.

Bukan hanya mengelola BUMN dengan cara serampangan, tapi hal ini juga menjadi indikator kemunduran bagi pemberantasan korupsi. Susah payah memberantas, selepas bebas, malah mendapat jabatan berkelas.

Kelola BUMN dengan Benar

BUMN adalah aset strategis. Tak selayaknya ia dijadikan ajang berbagi kekuasaan. Jika BUMN dikelola dengan cara salah, pengurusan urusan rakyat bisa terlantar. Sebab, BUMN mengelola berbagai hajat hidup publik. Seperti sektor energi, listrik, migas, air, infrastruktur, dan sektor strategis lainnya.

BUMN ibarat sumber penghidupan bagi rakyat, maka pengelolaannya juga harus memberi kemaslahatan rakyat. Agar fungsi kemaslahatan ini berjalan, BUMN tidak bisa dikelola dengan cara pandang sistem kapitalisme. Jika BUMN dikelola dengan cara kapitalis, maka yang terjadi, BUMN hanya jadi santapan bisnis korporasi dan ajang bagi-bagi kursi.

Jika aset negara tidak dikelola dengan benar, maka pemilik aset, yaitu rakyat tidak akan bisa menikmati dan memanfaatkannya dengan baik. Bukan saja membutuhkan pengelolaan yang benar, BUMN juga memerlukan sistem kepemimpinan yang amanah dan berintegritas. Sistem itu hanya bisa dipenuhi tatkala BUMN dikelola sesuai syariat Islam.

Nabi Saw. bersabda, “Apabila amanah disia-siakan, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat”. Badui itu berkata, “Bagaimana menyia-nyiakan amanah?” Nabi Saw.bersabda, “Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat” (HR. Bukhari).

Baca juga:  BUMN “Zombie” Menghantui, Privatisasi Bukan solusi

Pemimpin Berintegritas

Integritas merupakan salah satu faktor kepemimpinan yang sangat penting. Menurut Sayyid Quthub, di dalam integritas mengandung makna kejujuran (al-shidq) dan konsistensi (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran. Kedua makna atau sifat ini, menurut Quthub, merupakan watak dasar dari kepribadian seorang Muslim.

Menurutnya, orang yang memiliki integritas adalah orang yang dimensi batinnya sama dengan dimensi lahirnya dan laku perbuatannya sama dengan omongannya. Singkatnya pemimpin berintegritas ialah orang yang amanah.

Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sesuatu yang mudah dibagi-bagikan kepada sebarang orang. Islam sangat cermat dalam menetapkan pemimpin yang akan menjadi teladan bagi masyarakat.

Pemimpin adalah khodimul ummah, yaitu pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya. Sosok pemimpin dan kepemimpinan yang patut diteladani tentu saja Rasulullah Saw. Integritas beliau sebagai pemimpin tidak perlu dipertanyakan lagi. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.al-Ahzab [33]: 21).

Dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah. (1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya; (2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan terbuka dengan kritik serta masukan; (3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya; (4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.

Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai amanah. Karenanya kepemimpinan bukanlah hak milik yang boleh  dinikmati dengan cara sesuka hati orang yang memegangnya. Oleh karena  itu, Islam memandang tugas kepemimpinan dalam dua tugas utama, yaitu menegakkan agama dan mengurus urusan dunia.

Ia haruslah orang yang paling takut kepada Allah, tidak menyalahi syariat-Nya, adil, amanah, serta mampu. Inilah karakter pemimpin berintegritas dalam Islam. Berintegritas dengan berpegang pada prinsip riayah suunil ummah (mengurusi urusan umat). [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *