Opini

Wisata Vaksin ala Crazy Rich, Ironi Hidup dalam Sistem Kapitalistik


Penulis: Juanmartin, S.Si., M.Kes.


MuslimahNews.com, OPINI — Di tengah lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, ternyata banyak warga negara Indonesia (WNI) memutuskan melakukan perjalanan ke Amerika Serikat. Bukan sekadar berlibur, animo masyarakat kelas atas melakukan perjalanan ke AS ini sekaligus untuk mendapatkan vaksinasi untuk jenis vaksin yang berlaku di negeri Paman Sam tersebut.

Terang saja, wisata vaksin ini memanjakan mereka yang bingung duitnya mau diapain. Jiwa kapitalistis pun bertemu dengan pebisnis yang paham betul dengan teori ekonomi kapitalisme yang meyakini bahwa sifat serakah manusia merupakan hal yang “positif”.

Sifat yang ada pada manusia ini dipandang memiliki kemampuan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme membentuk masyarakat ekonomi kapitalistik yang meyakini bahwa kebutuhan manusia bersifat tidak terbatas, tak akan ada habisnya.

Konsekuensinya, harus ada upaya yang dilakukan untuk menyediakan barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas itu.

Berangkat dari pemahaman inilah, bisnis-bisnis yang memanjakan keserakahan manusia tumbuh subur di alam kapitalistik seperti saat ini.

Seperti diketahui, negara pimpinan Presiden Joe Biden ini memberikan akses suntikan merek vaksin Pfizer, Moderna, juga Johnson and Johnson kepada warga asing yang sedang berkunjung ke sana yang menggunakan visa turis.

Peluang ini pun tak disia-siakan oleh para pelaku usaha biro perjalanan di Indonesia. Sejumlah agen biro perjalanan pun memanfaatkan momen ini untuk memberikan paket tur vaksin ke Amerika yang direspons baik oleh kalangan atas di Indonesia.

Di Indonesia, biro perjalanan mengatakan bahwa antusiasme WNI untuk pergi ke AS cukup tinggi. Antusiasme ini nyatanya sudah dimulai pada Mei lalu. Rata-rata tur akan dilakukan Juni hingga November.

Dari ATS sendiri, paket perjalanan vaksinasi ke AS dimulai dengan banderol Rp14 juta. Fasilitas ini mendapatkan penginapan selama tiga malam di Los Angeles, tes PCR di Los Angeles, dan tiket pesawat pulang pergi kelas ekonomi. Namun, ini hanya untuk penerima vaksin Johnson & Johnson. (CNBC Indonesia)

Sementara itu, ATS juga menawarkan paket yang lebih lama, yakni selama 27 hari untuk penerima vaksin Pfizer. Paket ini dibanderol dengan harga Rp28 juta. Dengan harga ini, peserta tur dapat memperoleh fasilitas penginapan selama 24 malam di Los Angeles, tiket pesawat pulang pergi kelas ekonomi, dan tes PCR sebanyak satu kali. Paket mencakup penerbangan dan hotel, dengan harga mulai dari US$2.040, tidak termasuk biaya tes Covid-19.

Crazy Rich, Demi Memuaskan Keserakahan

Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit seperti saat ini, tentu kurang bijak jika segelintir orang dari kelas atas ini mempertontonkan kekayaan secara vulgar. Terlebih jika dikaji secara mendasar, manusia kapitalistik seperti para crazy rich ini lahir dari sistem kapitalisme yang mengagungkan keberadaan para pemilik modal.

Adalah Adam Smith, ekonom kapitalisme yang memiliki pandangan bahwa dorongan keserakahan yang ada pada diri manusia merupakan hal positif dan harus diberi kebebasan. Menurutnya, hal ini akan meningkatkan produksi yang hasil akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan meningkatnya perekonomian nasional, kesejahteraan masyarakat di suatu negara akan ikut meningkat. Benarkah demikian?

Faktanya, dalam sistem kapitalisme, kesejahteraan itu tidaklah merata. Yang miskin tetap saja berkutat dengan kemiskinan mereka, sedang yang kaya tetap leluasa mengakses apa pun yang ingin mereka konsumsi, termasuk akses vaksin hingga ke luar negeri.

Vaksin berbiaya mahal mudah saja diakses oleh para crazy rich, namun kalangan misqueen, mereka harus antre, itu pun dipenuhi kekhawatiran akan vaksinasi berbayar. Bagi mereka, mendapatkan pelayanan vaksinasi di fasilitas kesehatan terdekat saja sudah lebih dari cukup.

Artinya, dari fenomena crazy rich kita dapat menyaksikan bahwa teori Adam Smith bukannya mendorong kesejahteraan ekonomi secara merata, justru sebaliknya, fenomena ini memperlihatkan kepada kita siapa saja yang sejahtera dan siapa yang melarat.

Takwa Kolektif di Tengah Pandemi

Pandemi yang terjadi hari ini seharusnya memupuk empati sekaligus takwa kolektif. Nyaris setiap detik kita mendapatkan berita duka berpulangnya keluarga, sahabat, teman seperjuangan termasuk kepergian para ulama.

Kematian adalah sebaik-baik nasihat bagi siapa pun yang masih diberikan nikmat kehidupan oleh Allah Swt.. Di sisi lain, kondisi ini seharusnya membentuk diri kita untuk menjadi hamba yang taat kepada Allah. Sebab sabar dan tawakal adalah modal besar seorang hamba menghadapi ujian.

Saling mengingatkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pemilik Kehidupan adalah perkara penting saat ini. Pandemi adalah momentum bagi kita untuk menambah ketakwaan, bukan menstimulus naluri serakah manusia.

Keserakahan manusia bukan jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebab, sifat tersebut hanya memberikan peluang pada kalangan atas, tetapi tidak untuk masyarakat miskin.

Sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi saat ini, tidak memfokuskan pada meratanya distribusi alat pemenuhan kebutuhan di tengah-tengah masyarakat. Sistem ini hanya fokus pada produksi barang dan jasa, tapi abai dalam memastikan akses merata di tengah-tengah masyarakat.

Sistem ini juga tidak peduli dengan kualitas pelayanan yang diberikan negara kepada rakyatnya. Dalam kehidupan kapitalistik, mereka yang berduitlah yang berhak mengakses pelayanan berkualitas, bahkan harus ke luar negeri sekalipun.

Bukannya menciptakan atmosfer hidup yang diliputi keimanan dan semangat saling mengingatkan di tengah pandemi, sistem kapitalisme justru menciptakan jurang kesenjangan yang makin dalam antara golongan atas dan golongan bawah.

Mewujudkan Vaksinasi Berkualitas dan Merata

Pelayanan kesehatan—termasuk di dalamnya vaksinasi yang aman dan berkualitas—selayaknya dapat diakses oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Demikian juga dari segi biaya, sedapat mungkin diberikan secara gratis bagi seluruh masyarakat, miskin ataupun kaya.

Inilah yang dilakukan dalam sistem pemerintahan Islam. Kebijakan ini tegak atas paradigma riayah (pengurusan) urusan rakyat secara menyeluruh mencakup seluruh warga negara juga berkualitas. Negara wajib menyelenggarakan vaksinasi secara merata.

Fenomena crazy rich yang berburu vaksin hingga ke negeri Paman Sam juga memberikan fakta lain, yakni adanya ketakpercayaan atas penyelenggaraan vaksinasi yang dilaksanakan negaranya sendiri, entah dari sisi kualitas maupun kenyamanan. Hal ini seharusnya menjadi catatan tersendiri untuk mengevaluasi proses vaksinasi saat ini.

Pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas ini bukanlah wacana baru dalam sistem Islam. Dalam Islam, pemerintah menyadari betul peran strategisnya dalam menentukan sehat dan sakitnya masyarakat.

Khilafah memaksimalkan aspek kuratif rehabilitatif seraya mengutamakan pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Pelayanan kesehatan ini diberikan secara gratis kepada rakyat dan tanpa diskriminasi, baik kaya atau miskin, apa pun suku dan warna kulitnya, dan sebagainya.

Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitulmal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.

Kapasitas pemerintah sebagai pelayan rakyat (raa’in) menuntutnya untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat berikut kebutuhan pengobatan bagi yang sakit.

Karenanya, Khilafah wajib membangun berbagai sarana dan prasarana seperti rumah sakit, klinik, laboratorium medis, menyediakan SDM andal melalui sekolah kedokteran, apoteker, perawat, dll., termasuk mendirikan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan.

Visi negara Khilafah yang mandiri dan terdepan ini memungkinkan negara untuk tidak tergantung pada negara lain. Sementara di dalam negeri, kebutuhan rakyat negara Khilafah pun dapat terpenuhi, termasuk kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Wallaahu a’lam. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *