Fokus

Perlindungan Negara Mewujudkan Generasi Tangguh


Penulis: Arini Retnaningsih


MuslimahNews.com, FOKUS — Tahun ini, peringatan Hari Anak Nasional (HAN) masih harus dirayakan di tengah pandemi Covid-19. Anak menjadi salah satu korban pandemi yang mengalami banyak persoalan. Anak mengalami masalah pengasuhan bagi mereka yang orang tuanya positif Covid-19, kurangnya kesempatan bermain dan belajar, serta meningkatnya kasus kekerasan selama pandemi sebagai akibat kebijakan jaga jarak maupun belajar dan bekerja di rumah.

Berdasarkan tantangan tersebut, pemerintah mengambil tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” untuk HAN tahun 2021, dengan tagline #AnakPedulidiMasaPandemi.

Subtema HAN 2021 adalah (1) Anak Cerdas Terliterasi; 2. Anak Gembira dengan Asah, Asih, Asuh; 3. Anak Sehat dan Gembira; 4. Anak Cerdas, Kreatif, dan Informatif; 5. Anak Resiliensi Tangguh dengan Kasih Sayang.[1]

Sesuai dengan tema HAN tersebut, pembicaraan tentang perlindungan anak pada masa pandemi memang cukup intensif di media massa. Anak merupakan salah satu kelompok umur yang terdampak langsung pandemi, bahkan menghadapi berbagai permasalahan yang cukup kompleks.

Buruknya penanganan Covid-19 di Indonesia, menjadikannya sebagai negara dengan angka kematian anak akibat Covid-19 tertinggi di dunia. Data nasional menunjukkan, konfirmasi Covid-19 pada anak berusia 0—18 tahun mencapai 12,5%, sehingga kita memiliki tingkat kematian tertinggi di dunia.[2]

Kesulitan ekonomi keluarga telah memperburuk akses anak pada kebutuhan dasar di masa pandemi, termasuk asupan gizi yang kurang dan akses keluarga terhadap layanan kesehatan yang mengalami hambatan.

Selain itu, sekitar 646.000 sekolah ditutup selama pandemi dan berdampak pada lebih dari 60 juta anak yang harus belajar dari rumah. Yang menjadi masalah paling utama adalah meningkatnya risiko kekerasan pada anak dan dampak negatif internet.

Berbagai persoalan yang dihadapi anak pada masa pandemi ini tentu akan mengganggu target pembentukan generasi tangguh. Lantas, apakah perlindungan yang ditawarkan negara saat ini telah cukup untuk menjadi solusi?

Generasi Tangguh bukan Sekadar Cerdas, Sehat, dan Gembira

Memaknai generasi tangguh hanya sebatas cerdas, kreatif, informatif, sehat, dan gembira adalah pemaknaan yang dangkal. Pada faktanya kita bisa lihat, saat dihadapkan pada ujian pandemi yang telah berlangsung 1,5 tahun, banyak generasi muda kita yang tumbang.

Menurut survei yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terhadap lebih dari 3.200 anak SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu, sebanyak 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama masa “kenormalan baru”. Jumlah itu hanya dalam masa empat bulan pandemi. Setahun berlalu, angka depresi pada anak bisa jadi melonjak lebih tinggi.

Hal ini tampak dari adanya anak yang bunuh diri karena stres dengan pembelajaran daring di Gowa. Begitu juga ada yang sampai dirujuk ke RSJ karena depresi akibat pembelajaran daring. Atau kenaikan kasus penyalahgunaan narkoba pada anak-anak di Kediri.

Pandemi juga berefek pada meningkatnya kasus pergaulan bebas di kalangan remaja, prostitusi anak, serta kasus anak yang berhadapan dengan hukum.

Maka, generasi tangguh harus dimaknai lebih dari itu. Mereka adalah anak-anak yang sanggup bertahan di tengah hempasan badai ujian, kukuh dalam sikap, cemerlang dalam pemikiran, serta memiliki tujuan hidup yang tinggi sebagai umat terbaik.

Generasi ini adalah generasi ber-syakshiyah islamiah, yakni mereka yang menghiasi dirinya dengan kepribadian Islam, yaitu cara berpikir dan bertingkah laku yang didasarkan pada akidah Islam dan aturan yang terpancar darinya.

Ketahanan Keluarga, Cukupkah Melindungi Anak?

Banyak pihak yang memberikan masukan solusi terkait masalah anak di masa pandemi ini. Namun, dari sekian banyak solusi yang ditawarkan tersebut, pada umumnya menekankan pada pentingnya memperkuat ketahanan keluarga, mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam keluarga, dan menjadikan keluarga sebagai benteng pelindung bagi anak-anak.

Betul, keluarga adalah benteng pertahanan bagi anak-anak di dalamnya. Namun, perlu diingat bahwa keluarga adalah benteng yang rapuh. Ia rentan tersusupi perusakan dari televisi, internet, dan gadget. Ia juga rentan menjadi sumber perusakan anak.

Lihatlah faktanya, sebagian besar kekerasan terhadap anak justru dilakukan dalam keluarga. Hal ini karena keluarga menghadapi masalah besar yang tidak akan selesai dengan memperbaiki keluarga tersebut.

Pun halnya kondisi perekonomian kapitalistik pada masa pandemi, memaksa banyak orang tua bekerja keras untuk bertahan hidup. Berbagai pembatasan yang dilakukan pemerintah seperti PPKM Level 4 saat ini, telah mematikan sumber nafkah sebagian orang. Ironisnya, negara tidak memberikan santunan kecuali bansos sekadarnya yang hanya bisa digunakan bertahan hidup sehari dua hari.

Maka, tidak cukup ayah yang berjibaku dengan nafkah, para ibu juga sering kali tidak kalah bekerja keras untuk menambal kekurangan penghasilan. Mahalnya kebutuhan pokok, biaya kuota untuk pembelajaran daring anak, kesehatan, juga tuntutan materialisme, membuat banyak orang tua harus mengedepankan pekerjaan dan mengabaikan anak-anak. Padahal, anak-anak tidak ada yang mendampingi, akhirnya mereka justru bebas keluar rumah, bebas di dalam rumah, bebas menggunakan gadget dan internet tanpa pengawasan dan filter.

Kalaupun ayah dan ibu ada di rumah karena program WFH, mereka tetap sibuk dengan pekerjaannya, atau tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mendampingi pendidikan anak. Bahkan, tak sedikit orang tua yang merasa berat terbebani aktivitas mendampingi belajar anak, sehingga justru memunculkan tindak kekerasan dan depresi pada anak.

Dalam beberapa kasus, perlindungan keluarga tidak berjalan karena ayah atau ibu—atau keduanya—harus pergi selamanya akibat menjadi korban Covid-19, meninggalkan anak-anak yatim yang hanya bergantung pada belas kasihan kerabat atau tetangga.

Dengan demikian, keluarga saja tidak akan mampu memberikan perlindungan pada anak secara optimal. Untuk bisa menjadi benteng yang kukuh bagi anak, rumah membutuhkan kehadiran kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang mampu menjadi perisai yang melindungi anak-anak di mana pun ia, di rumah, sekolah, atau dalam lingkungan masyarakatnya. Kekuatan besar itu adalah negara.

Perlindungan Semu Negara Kapitalistik

Dalam sistem kapitalisme, fungsi perlindungan negara ini hampir tidak berjalan. Terkesan negara cuci tangan dari kewajibannya dengan menyerahkan masalah perlindungan anak pada keluarga, atau lembaga-lembaga sosial dan LSM.

Memang negara telah mengklaim melakukan berbagai upaya mengatasi persoalan anak di masa pandemi. Misalnya, menghadapi kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat di masa pandemi, Menteri PPPA menyatakan sudah menyalurkan Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik khusus kepada daerah untuk penanganan dan pendampingan korban serta kasus-kasus terkait perempuan dan anak. Namun, apa yang dilakukan Kemen PPPA ini bukanlah solusi, karena apa yang dilakukan ini adalah penanganan masalah yang sudah terjadi, dan bukan merupakan tindak pencegahan yang akan membuat persoalan tersebut tidak kembali terjadi.

Kemandulan perlindungan negara dalam sistem kapitalisme disebabkan negara hanya berfungsi sebagai regulator. Negara tidak memiliki hak mengolah sumber daya alam yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan, tetapi hak itu harus diserahkan pada individu yang memiliki modal dan negara mencukupkan diri dengan menarik pajak; Negara tidak berwenang mengekang kebebasan rakyat, sehingga pornografi, pornoaksi, perzinaan, pergaulan bebas, mendapat tempat yang lapang di tengah masyarakat; Negara tidak boleh melanggar hak asasi, sehingga tidak boleh menerapkan hukuman yang merenggut hak hidup, membredel media perusak moral, menghukum para pelaku hubungan sejenis, merajam para pelaku pemerkosaan anak dan seterusnya.

Alih-alih melindungi, negara dalam beberapa hal justru merusak anak. Misalnya, dengan memasukkan paham moderasi Islam dalam kurikulum yang menjauhkan anak dari akidah Islam, melegalkan kebebasan, dan mengimpor pemikiran-pemikiran asing yang merusak, seperti ide nasionalisme, materialisme, sekularisme, dan sebagainya.

Hanya dalam Islam Negara Menjadi Perisai bagi Anak

Islam memiliki paradigma berbeda dalam perlindungan anak. Melalui institusi negara, yakni Daulah Khilafah, Islam menerapkan seperangkat hukum yang menyelesaikan masalah mulai dari akar sampai ke cabang-cabangnya. Pertanggungjawaban penerapan sistem ini berada di pundak Khalifah beserta seluruh perangkatnya.

Pemimpin dalam Islam memiliki dua fungsi:

Pertama, fungsi pemeliharaan urusan rakyat, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw.:

*أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ*

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR al-Bukhârî, Muslim).

Kedua, fungsi junnah (perisai), sebagaimana pujian yang dituturkan yang mulia Rasulullah saw. terhadap sosok penguasa yang dibaiat kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan, dan darah kaum muslimin.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,

*إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه*

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR Muttafaqun ’alaih)

Dengan dua fungsi ini negara mengurus dan melindungi rakyat, tidak terkecuali anak-anak. Negara adalah benteng sesungguhnya yang akan melindungi anak-anak dari perusakan apa pun. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemis, meliputi berbagai aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung, antara lain melalui berbagai pengaturan berikut:

Pengaturan Sistem Ekonomi

Dalam masalah ekonomi di masa pandemi, Islam mewajibkan untuk memisahkan antara warga yang sakit dan yang sehat. Untuk yang sakit diterapkan sistem karantina kesehatan dengan jaminan penghidupan dari negara berupa santunan dan pemenuhan kebutuhan pokok dan obat-obatan. Bagi yang sehat, negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya.

Dana untuk pengelolaan ini berasal dari harta milik umum dan milik negara. Semua sumber daya alam strategis termasuk pertambangan, perairan, dan hutan adalah milik umum yang dikelola negara dan dikembalikan pada umat dalam bentuk santunan, jaminan kesehatan, keamanan, pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, sarana pendidikan termasuk penyediaan internet gratis untuk belajar daring secara merata di seluruh wilayah negara.

Dengan jaminan seperti ini, tekanan ekonomi yang membuat orang tua stres sehingga menjadi salah satu faktor pemicu kekerasan terhadap anak, dapat dihilangkan. Para ibu dan anak juga dipastikan mendapatkan nafkah tanpa perlu bekerja, dengan mewajibkan suami atau wali untuk memberikan nafkah pada mereka. Bila tidak ada suami atau wali, negara yang akan menanggung nafkah mereka sehingga tidak mengganggu konsentrasi para ibu menjaga, merawat, dan mendidik anak-anak.

Pengaturan Sistem Pendidikan

Negara berkewajiban membina warga negara melalui pendidikan dan berbagai ajang kajian agama, sehingga ketakwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Kurikulum pendidikan disusun dalam rangka membentuk kepribadian Islam yang utuh pada siswa, baik dari sisi akidah, tsaqafah, maupun penguasaan iptek.

Pengaturan Media Massa

Media massa bebas menyampaikan informasi, tetapi mereka terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Media yang memuat pornografi, kekerasan, ide LGBT, dan segala yang merusak akhlak dan agama, dilarang untuk terbit dan diberikan sanksi bagi pelaku pelanggaran ini.

Pengaturan Sistem Kontrol Sosial

Masyarakat yang bertakwa akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran dan menjaga pergaulan sosial sesuai syariat. Karena itu, suasana ketakwaan dibangun di tengah umat melalui berbagai kajian agama secara umum. Budaya amar makruf dan nahi mungkar dihidupkan, sehingga orang merasa sungkan untuk melakukan perbuatan maksiat.

Pengaturan Sistem Sanksi

Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para penganiaya anak. Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Pembunuh anak akan di-qishas, yakni balas bunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta atau 1.000 dinar yang bila dikonversi saat ini senilai kurang lebih 4 miliar Rupiah. Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa.

Dalam sebuah hadis (HR An-Nasa’i), Rasulullah memerinci diyat bagi setiap anggota badan yang rusak dan juga penganiayaan. Di antaranya satu mata 50 ekor unta, begitu juga bibir dan telinga. Bahkan, satu gigi pun dikenakan diyat 5 ekor unta atau sekitar 100 juta. Termasuk melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina. (Abdurrahman al-Maliki, 1990, hal 214—238).

Berbagai pengaturan yang diterapkan negara akan membangun perlindungan yang utuh untuk anak-anak. Orang tua, keluarga, masyarakat dibangun sebagai benteng-benteng perlindungan anak secara berlapis, dengan benteng terluarnya adalah negara.

Dengan mekanisme ini, ide-ide liberalisme, kapitalisme, dan ide perusak lainnya, tidak akan mampu menyentuh anak-anak. Mereka tumbuh dan berkembang sebagai pribadi muslim yang tangguh, mutiara-mutiara di tengah umat, pejuang dan pembangun, dalam lindungan negara.

Negara yang mampu melakukan fungsi besar itu, mau tidak mau adalah negara yang kuat, memiliki ideologi yang dipegang erat, ideologi yang terpancar dari suatu akidah yang tidak lagi goyah. Negara itu adalah negara Islam, Khilafah Islamiah. [MNews/Tim WAG-Gz]


Referensi:

[1] tirto.id/tema-hari-anak-nasional-2021-23-juli-cara-merayakan-saat-pandemi-ghNd

[2] kompas.com/sains/read/2021/06/23/152400223/idai-kematian-anak-akibat-covid-19-di-indonesia-tertinggi-di-dunia?page=all)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *