Ekonomi Memburuk di Masa Pandemi, Skenario Sistemis Harus Dilakukan
Penulis: Juanmartin, S.Si., M.Kes.
MuslimahNews.com, OPINI — Pandemi telah membuat sistem ekonomi global kocar-kacir. Negara-negara besar bahkan kelimpungan meski telah menyiapkan skenario pemulihan ekonomi di tengah wabah.
Indonesia pun demikian. Sayangnya, masalah hari ini tak lepas dari sistem ekonomi yang diterapkan termasuk sistem politik pemerintahan yang jauh dari aktivitas pengurusan urusan rakyat.
Di bawah pengelolaan negara yang minus visi politik, harmonisasi pengurusan sektor kesehatan dan ekonomi seolah tumpang tindih. Hal ini terlihat jelas dari kebijakan pemerintah yang kerap bertolak belakang antara masalah ekonomi dan upaya pemadaman wabah.
Jika pada kuartal I dan II pemerintah Indonesia optimis adanya perbaikan ekonomi, sepertinya kuartal III-2021 akan beda cerita. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Aktivitas Masyarakat (PPKM) disebut akan membuat ekonomi “pincang”, bahkan “mati suri”.
PPKM Darurat mengamanatkan pekerja di sektor nonesensial dan nonkritikal 100% bekerja dari rumah (work from home). Pusat perbelanjaan wajib tutup, dan restoran/warung makan tidak boleh melayani pengunjung yang makan dan minum di tempat.
Tidak hanya itu, kegiatan belajar mengajar juga harus dilakukan jarak jauh. Tempat wisata tutup, sementara ada wacana pemerintah akan mengatur sistem kerja di pabrik menjadi sehari kerja-sehari libur. Artinya, produksi belum bisa dipacu sesuai kapasitasnya. (cnnindonesia)
Berbagai rambu ini bertujuan mulia yakni mengurangi interaksi dan kontak antarmanusia, sehingga menurunkan risiko terpapar virus Corona. Apalagi kasus positif Covid di Indonesia bukannya terkendali, tetapi makin menjadi-jadi.
Mewujudkan Kemaslahatan Hidup di Tengah Wabah dengan Sistem Kapitalisme, Mungkinkah?
Ini adalah pertanyaan substansial, mengingat sistem yang diadopsi Indonesia hari ini adalah sistem kapitalisme. Dari sistem ini, lahir berbagai kebijakan. Dari sistem ini pula, lahir politikus minus negarawan yang gagap mengurusi rakyatnya di tengah pandemi.
Sektor ekonomi dan sektor kesehatan saling terkait dalam mewujudkan kemaslahatan rakyat. Tata kelola kesehatan antikolaps akan berdampak pada sehatnya sektor ekonomi. Demikian pula sebaliknya, pengelolaan ekonomi yang tidak kapitalistik akan berdampak pada pulihnya sistem kesehatan saat ini.
Mari kita gambarkan hal ini secara sistemis. Sistem pemerintahan kita saat ini menganut sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menggambarkan hubungan antara rakyat dan negara seperti penjual dan pembeli.
Hubungan ini memberikan kedudukan kepada rakyat sebagai konsumen, sedangkan pemerintah laksana pebisnis. Hubungan ini menghasilkan berbagai kebijakan setengah hati dalam mengurusi urusan rakyat.
Lihatlah kebijakan pemadaman wabah yang setengah hati. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat tidak dibarengi dengan upaya serius pemerintah untuk memenuhi hajat hidup rakyatnya.
Jika kita mundur ke belakang, kebijakan pemberlakuan PPKM darurat ini pun merupakan konsekuensi yang harus diterima akibat kebijakan pemerintah yang menabrak rambu-rambu pemutusan penularan wabah.
Alih-alih menutup pintu masuk ke wilayah Indonesia, pemerintah justru membuka akses masuk. Alhasil, ledakan kasus tak dapat dihindari. Kebijakan PPKM Darurat akhirnya membuat resah satu negara.
Kondisi hari inilah yang diprediksi para ahli. Wajar saja jika mereka sampai berteriak lantang mengingatkan pemerintah. Bahkan jauh sebelumnya, para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah memperingatkan pemerintah.
Dalam kondisi ideal skenario penanganan wabah, ahli kesehatan, ahli ekonomi, ahli matematika, statistik telah memberikan prediksi kapan pandemi berakhir. Itu jika seluruh skenario penanganan wabah dijalankan dengan baik.
Sayangnya, prediksi para ahli meleset. Deviasinya sangat besar meski telah menggunakan berbagai model perhitungan yang canggih. Kenapa prediksi-prediksi itu mental? Karena skenario penanganan wabah tidak berjalan secara ideal.
Perilaku masyarakat yang tidak taat prokes adalah buah dari kacaunya komunikasi risiko yang dibangun pemerintah. Cakupan testing, tracing, dan treatment harian juga belum masif karena keterbatasan sarana prasarana yang mendukung. Ini adalah konsekuensi dari kondisi ekonomi yang rapuh.
Belum lagi tsunami informasi hoaks yang terus berkicau berkelindan dengan upaya penanganan wabah, turut melengkapi kekacauan ini. Tenaga kesehatan resah. Rumah sakit over kapasitas. Rem PPKM Darurat ditarik, ekonomi megap-megap.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Mari kita mencari komparasi yang bersifat sistemis. Bagaimanakah sistem Islam menangani masalah wabah tanpa menyisakan problem ekonomi yang berkepanjangan?
Konsep Islam Memulihkan Keterpurukan Ekonomi Akibat Pandemi
Kondisi pandemi yang terjadi hari ini dipandang sebagai penyebab terguncangnya ekonomi. Sedangkan Islam, memandang bahwa mewujudkan kemaslahatan masyarakat tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi, tapi berbarengan dengan skenario penanganan wabah.
Itulah mengapa Islam memandang bahwa penting bagi negara untuk berupaya semaksimal mungkin untuk memisahkan orang sehat dengan orang sakit.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan memasifkan cakupan 3T di tengah-tengah masyarakat. Dalam sistem Kekhilafahan sebelumnya, tentu saja skenario yang diterapkan adalah karantina wilayah.
Dengan karantina wilayah yang sederhana saja, bisa dilakukan pemisahan antara orang sehat dengan orang yang sakit. Bagi yang sehat tetap melaksanakan aktivitas, sedangkan yang sakit harus menjalani isolasi.
Saat ini, pemisahan yang sehat dan yang sakit dilakukan dengan mengadakan sarana prasarana yang mendukung 3T, maka negara wajib mengadakannya ditopang dana yang bersumber dari Baitulmal.
Masa pandemi tentu bukanlah kondisi yang ideal. Untuk itulah pandemi harus segera dipadamkan dengan sejumlah skenario. Skenario penanganan wabah akan dikembalikan kepada para ahli.
Negara akan menjalankan skenarionya sesuai arahan para ahli. Ini sebagaimana arahan Rasulullah saw. bahwa dalam perkara-perkara yang bersifat saintis haruslah dikembalikan pada ahlinya.
Terkait pemenuhan kebutuhan mendasar, negara harus hadir dalam memenuhi tuntatan hajat hidup rakyatnya dengan menggunakan dana dari Baitulmal. Jika kas Baitulmal kosong, negara dibolehkan untuk memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah).
Pada saat ini kita bisa melihat, banyak kalangan menengah ke atas yang turun secara langsung memberikan bantuan pada rakyat kecil. Jika ini diorganisir oleh negara, bukan tak mungkin ekonomi rakyat bisa pulih. Tentu dengan catatan, negara tetap tak boleh lepas tangan memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Skema penyelamatan ekonomi juga bisa saja melalui mekanisme utang. Namun, harus dipahami bahwa utang tersebut harus sesuai syariat. Negara Khilafah tidak boleh tunduk pada syarat-syarat yang didiktekan negara kreditur. Apalagi jika negara kreditur menjadikan utang sebagai alat penjajahan.
Negara Khilafah juga tidak dibolehkan untuk membuka celah masuknya investasi di sektor yang terkategori kepemilikan umum. Kepemilikan umum sepenuhnya diatur oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi.
Sebaliknya, negara Khilafah akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Serta pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, dan tambang.
Membuka tempat-tempat wisata bukanlah skenario yang tepat untuk memulihkan ekonomi. Sebab, pembukaan tempat wisata membawa pada konsekuensi terjadinya mobilisasi manusia dalam jumlah yang besar. Tentu saja ini tak sesuai dengan skenario penanganan wabah.
Pandangan bahwa ekonomi dan kesehatan sama-sama berkaitan dalam mewujudkan kemaslahatan rakyat, jelas terlihat dalam sistem pemerintahan Islam.
Hal ini didukung dengan sistem pemerintahan yang memiliki visi politik, mewujudkan seluruh kemaslahatan rakyat. Para politikus yang lahir dari sistem Islam pun sangat paham akan posisi mereka sebagai raa’in (pengurus) rakyatnya.
Dengan memahami posisi mereka, lahir para politisi bermental negarawan yang memahami keresahan rakyat dan mampu menghadirkan solusi yang tidak hanya mampu memadamkan wabah, tetapi juga ampuh memadamkan keresahan rakyatnya. Wallaahu a’lam. [MNews/Gz]