Keluarga

Yang Kadang Terlupakan, Adab Orang Tua terhadap Anak


Penulis: Najmah Saiidah


MuslimahNews.com, KELUARGA — Anak-anak yang saleh dan salihah tidak akan lahir begitu saja, perlu proses pendidikan dan pembinaan yang baik. Di sinilah peran penting ayah dan ibu untuk bekerja sama, baik dalam mendidik secara langsung, memberi contoh nyata, maupun memfasilitasi agar anak mendapatkan pendidikan tepat.

Anak yang dididik dengan ajaran Islam akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang memiliki keimanan kukuh, taat pada Penciptanya, berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya, dan menyayangi sesamanya.

Hal ini akan terwujud dengan baik jika hak-hak anak-anak terpenuhi, terlebih lagi jika adab orang tua terhadap anak terpenuhi, maka hasilnya akan makin baik.

Jadi, tidak hanya anak yang memiliki kewajiban untuk berbakti terhadap orang tua, akan tetapi orang tua pun memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap anaknya.

Demikian halnya dengan adab, tidak saja anak yang harus memperhatikan adabnya kepada orang tua, tapi sebaliknya, orang tua pun demikian, sehingga orang tua tidak berbuat semena-mena kepada anaknya.

Hanya saja kadang-kadang hal ini terlupakan, bahkan bisa jadi dianggap remeh oleh para orang tua. Padahal sesungguhnya, Rasulullah saw. telah memberikan contoh terbaik untuk kita semua terkait hal ini.

Lalu, bagaimana Islam memerinci adab orang tua terhadap anaknya, sehingga proses tumbuh kembang anak dapat berlangsung dengan baik?

Adab Orang Tua terhadap Anak-anaknya

Imam Al-Ghazali berpendapat dalam kitabnya, Al-Adab fi Al-Din, bahwa setidaknya terdapat lima hal adab orang tua kepada anak-anaknya, 

“Adab orang tua terhadap anak, yakni: membantu mereka berbuat baik kepada orang tua; tidak memaksa mereka berbuat kebaikan melebihi batas kemampuannya; tidak memaksakan kehendak kepada mereka di saat susah; tidak menghalangi mereka berbuat taat kepada Allah Swt.; tidak membuat mereka sengsara disebabkan pendidikan yang salah.”

Dalam banyak hadis, Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan kepada kita, demikian halnya banyak teladan dari para sahabat tentang bagaimana adab orang tua terhadap anak-anaknya, mari kita detailkan.

  1. Ketika anak lahir, orang tua mendoakan, mengazani, dan mengikamahinya.

Ketika anak lahir, yang pertama dilakukan adalah mendoakannya, “Barakallah fii al mauhubi laka, wa syakarta al-wahiba, wa balagha asyuddahu, wa ruziqta birrahu.” (Semoga Allah memberkahi anak yang dianugerahkan kepadamu, semoga kamu bisa mensyukuri Sang Pemberi, semoga cepat besar dan dewasa, dan engkau mendapatkan baktinya si anak).

Setelah itu, mengazaninya di telinga kanan dan ikamah di telinga kiri anak. Dari Hasan bin Ali, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang melahirkan seorang anak, lalu mengumandangkan azan pada telinganya, maka dia tidak akan dicelakakan oleh Ummu Shibyan.” Dengan memperdengarkan azan, diharapkan dapat menanamkan benih keimanan kepada anak sejak dini.

Selanjutnya, menahnik bayi, yaitu mengunyah kurma sampai lumat, kemudian menggosokkan dengan lembut pada langit-langit mulut bayi.

Dari Abi Musa, “Anakku telah lahir lalu aku membawanya kepada Rasullah. Kemudian beliau menamakannya Ibrahim dan mentahniknya dengan sebutir kurma, lalu mendoakannya agar mendapat berkah, kemudian mengembalikannya kepadaku.” (HR Bukhari)

  1. Memberi nama yang baik.

Nama adalah doa untuk anak. Sehingga, memberikan nama yang baik artinya mendoakan anak mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Nama yang baik adalah cara pertama orang tua melakukan kewajibannya untuk masa depan sang buah hati. Abu Darda meriwayatkan, Nabi Muhammad saw. bersabda,

“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian. Oleh karena itu, perbaguslah nama kalian,” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan ad-Darimi)

Imam Abu Laits menceritakan kisah seseorang yang mengadu kepada Sayyidina Umar bin Khaththab, ia berkata, “Putraku ini durhaka kepadaku.” Maka Umar berkata kepada anak lelaki itu, “Apakah kau tidak takut kepada Allah? Engkau telah berbuat durhaka terhadap ayahmu, engkau tahu kewajiban anak untuk orang tuanya (begini dan begitu).” Lalu anak itu bertanya, “Ya Amirulmukminin, apakah anak itu tidak berhak terhadap ayahnya?” Jawab Umar, “Ada hak yakni harus memilihkan ibu yang bangsawan, jangan sampai tercela karena ibunya, harus memberi nama yang baik, harus mengajari kitabullah.”

Maka berkata anak itu, “Demi Allah, dia tidak memilihkan untukku ibuku, dia membeli budak wanita dengan harga 400 dirham dan itu ibuku. Dia tidak memberi nama yang baik untukku, saya dinamai “kelelawar jantan” dan saya tidak diajari kitab Allah walau satu ayat.” Maka Umar menoleh kepada ayahnya dan berkata, “Engkau telah durhaka kepada anakmu sebelum ia durhaka kepadamu. Pergilah engkau dari sini.”

  1. Bersikap halus dan tidak kasar.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan, “Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) beserta anaknya berumur satu setengah tahun. Lalu dipangku oleh Rasulullah, kemudian mengompol. Karena segan anaknya telah mengotori Rasul, maka ia dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”

“Suatu hari Rasul sedang memimpin salat berjemaah dengan para Sahabat, salah satu sujudnya cukup lama, sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah salat selesai, seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama anda bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun, baru aku cukupkan sujudku.”

Nabi saw. memberi pelajaran kepada kita agar dalam mendidik anak mengedepankan sikap lembut serta penuh cinta dan kasih sayang. Perlakuan keras kepada anak akan membawa pengaruh buruk pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut bisa menyebabkan anak berperilaku kasar, pemarah, tumpul hati nuraninya, bahkan anak gemar melakukan teror dan ancaman untuk melampiaskan rasa dendamnya.

  1. Mendidik dengan kata-kata yang baik dan penuh nasihat.

Rasulullah memberikan teladan yang indah dalam membimbing dan mendidik anak-anak. Beliau senantiasa berbicara lemah lembut dan tidak pernah mencela anak-anak. Rasulullah juga menemani anak-anak makan. Bila mereka melakukan kesalahan, Rasulullah meluruskannya dengan baik.

Umar bin Salamah, anak tiri beliau, menceritakan, “Ketika masih anak-anak, aku pernah dipangku Rasulullah saw., tanganku melayang ke arah nampan berisi makanan. Rasulullah berkata kepadaku , ’Nak, bacalah basmalah, lalu makanlah dengan tangan kanan dan ambillah makanan yang terdekat denganmu.’ Maka seperti itulah cara makanku seterusnya. (HR Bukhari dan Muslim)

  1. Berlaku adil dan tidak membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain

Nu’man bin Basyir pernah bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku Amrah binti Rawahah kemudian berkata ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehingga menemui Rasulullah.’ Ayahku berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah berkata, “Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?” la berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR Muslim dalam Kitab AI-Hibaat)

Kita sebagai orang tua sangat dianjurkan untuk berlaku adil kepada setiap anak menurut kebutuhannya, sebisa mungkin menghindari pilih kasih dan tidak membanding-bandingkan anak. Karena hal ini akan menimbulkan perasaan rendah diri pada anak yang lain, belum tentu setiap anak mempunyai kemampuan yang sama. Setiap anak istimewa, mereka memiliki kelebihan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain.

  1. Tidak memaksakan kehendak kepada anak selama ada dalam koridor syariat

Membiarkan anak menentukan sikap termasuk dalam bermain dan berteman, selama positif adalah salah satu hal yang sangat penting dalam masa pengenalan lingkungan dan menemukan jati dirinya. Anak-anak tetap butuh bermain dan juga berteman dengan teman sebayanya.

Yang terpenting adalah, tetap harus diberikan arahan tentang batasan-batasan syariat dan tidak terjerumus pada hal-hal yang sia-sia. Tetap kita juga harus mengajarkan adab kepada anak kita mana yang baik dan mana kurang baik dan bagaimana memilih teman.

Karena Rasulullah saw. pun telah memerintahkan kepada anak kita agar mengenal adab Islam sejak dini, sabdanya, “Hormatilah anak-anak kalian dan perbaikilah adab-adab mereka.” Dari Amr bin ‘Ash, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidak ada pemberian orang tua untuk anaknya yang lebih utama dibanding adab yang baik. (HR Tirmidzi)

Dengan tidak mengekang anak, tapi tetap memantaunya, hal ini akan menjadikan anak mampu berpikir dan mendapatkan pelajaran penting perihal perbedaan, mampu membedakan mana yang harus ia teruskan berteman, mana yang harus dijauhi.

Kelak anak juga akan lebih nyaman bercerita kepada orang tua apabila ada suatu masalah yang belum bisa diselesaikan. Di sinilah kesempatan orang tua untuk mengarahkan dan memberikan pemahaman kepada anak mengenai baik dan buruknya akan suatu hal. 

  1. Memberikan kasih sayang secara seimbang.

Rasulullah memberikan banyak teladan dalam pergaulannya dengan anak-anak. Beliau senantiasa menunjukkan kasih sayangnya secara seimbang. Perwujudan kasih sayang beliau kadang dalam bentuk penghargaan, teguran halus, atau hukuman sesuai dengan usia dan keadaan anak.

Penghargaan diberikan Rasulullah kadang dalam bentuk hadiah seperti kurma misalnya, kadang kecupan, belaian atau pelukan. Tapi Rasulullah pun tidak segan-segan memberikan hukuman terhadap anak ketika melakukan kesalahan.

Telah datang beberapa orang Badui menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apakah engkau suka mengecup (mencium) anak-anakmu? Beliau menjawab, “Ya. Mereka kemudian berkata, “Tapi, demi Allah kami tidak pernah mengecup anak-anak kami.” Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak punya daya apa-apa bilamana Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari dalam hatimu.” (Bukhari dan Muslim).

Kecupan berperan efektif dalam menggerakkan perasaan dan kejiwaan anak, dapat menenangkan gelombang amarahnya.

Pujian terhadap anak memiliki pengaruh yang dominan, sehingga akan menggerakkan perasaan dan inderanya selama pujian itu diberikan pada waktu dan tempat yang tepat serta tidak berlebihan.

Rasulullah saw. telah mengingatkan bahwa pujian akan memberikan dampak positif terhadap jiwa anak, ia akan tergerak untuk menyambut panggilan dan melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Rasulullah saw. pernah memberikan pujian kepada seorang anak yang belajar bahasa Arab dan bahasa Suryani untuk membantunya. Rasulullah memujinya dengan, “Ia adalah sebaik-baik anak muda.

Pemberian hadiah berpengaruh baik terhadap jiwa anak asalkan tidak berlebihan. “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai. (HR Thabrani)

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. ketika dianugerahi buah, beliau berdoa, “Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami dalam kota kami ini, mengenai buah kami, mud kami dan sha’ kami, yang berupa keberkahan demi keberkahan.” Lalu, beliau memberikan buah tersebut kepada anak terkecil yang datang kepada beliau.

Hanya saja bukan berarti bahwa Rasulullah tidak pernah marah atau tidak pernah memberikan “pelajaran” atau hukuman kepada anak-anak. “Hasan bin Ali pernah mengambil sebiji kurma dari kurma sedekah dan kemudian hendak menyantapnya. Seketika itu pula Rasulullah bersabda, “Kakh… Kakh.. buang! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak makan barang sedekah?” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam hadis ini terdapat kata lembut dalam memberi larangan, yaitu dengan kata kakh… kakh! Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ia berkata, “Rasulullah pernah melihat salah seorang anak kami yang bernama Aflah. Ketika ia sujud ia suka meniup tanah/pasir, maka beliau menegurnya dengan lembut, “Wahai Aflah tempelkan mukamu ke tanah.”

  1. Ketika memberikan hukuman tidak menggunakan fisik, kecuali menjelang baligh sebagai ta’dib (dalam hadis: sekitar 10 tahun).

Rasulullah pun mencontohkan bagaimana memberikan hukuman secara fisik kepada anak. Pada tahap awal beliau memerintahkan Sahabat untuk menakut-nakuti anak dengan menggantungkan cemeti, untuk memperlihatkannya agar anak bergegas memperbaiki diri, berlomba untuk berpegang kepada yang benar. Dari Ibnu Abbas, “Gantungkanlah cemeti yang bisa dilihat oleh keluargamu agar hal itu menjadi peringatan bagi mereka.” (HR Thabrani)

Tahap berikutnya dengan menjewer telinga, sebagai hukuman fisik pertama, ketika mendekati usia sepuluh tahun. Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyebutkan, “Ibnu Sunni meriwayatkan dari Abdullah bin Burs Al-Mazini, ia berkata, “Ibuku pernah mengutusku untuk menghadap Rasulullah saw. dengan membawa setangkai anggur, lalu aku makan sebagian darinya sebelum aku sampaikan kepada beliau. Ketika aku sampai, maka beliau menjewer kupingku dan berkata, “Wahai anak yang tidak amanah.

Dari Ibnu Amr bin Al-Ash dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah salat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakan salat dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR Hakim dan Abu Dawud)

Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita agar membiasakan anak mengerjakan salat sejak 7 tahun. Kalau 3 tahun setelah itu (usia 10 tahun), ternyata belum juga salat, sangat wajar jika diberi hukuman fisik dengan pukulan yang tidak membekas dan membahayakan.

Pada dasarnya, waktu tiga tahun seharusnya sudah cukup untuk mendidik kebiasaan salat. Islam mengajarkan kepada para orang tua untuk memberikan pengertian, pemahaman, dan pembiasaan dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan penuh kasih sayang.

Wajib dipahami bahwa pukulan yang diberikan adalah pukulan yang tidak membahayakan, tidak mengenai bagian tubuh yang vital, dan tidak menimbulkan kecacatan atau kematian. Fungsi pukulan di sini adalah untuk mendidik atau pendisiplinan (ta’dib), bukan untuk menyiksa anak.

Khatimah

Demikianlah, Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita tentang adab orang tua terhadap anak-anak kita, di samping tanggung jawab kita memenuhi hak-hak mereka. Tentu saja ini semua harus dipahami untuk kemudian direalisasikan dalam kehidupan.

Semoga dengan ikhtiar kita sebagai orang tua untuk selalu memenuhi hak-hak anak kita dan menunaikan adab sebagai orang tua terhadap anak-anak kita, kelak akan lahir anak-anak yang saleh dan salihah, anak-anak yang berkepribadian Islam yang andal. Tidak hanya menajamkan pola pikirnya, tetapi kita juga menguatkan jiwanya, perasaan, dan kecenderungannya agar sesuai dengan Islam. Wallahu a’lam bishawwab. [MNews/Rgl]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *