Opini

Rakyat Kelaparan, Negara Mestinya Berperan Maksimal


Penulis: Chusnatul Jannah


MuslimahNews.com, OPINI — Sudah lebih dari setahun pandemi Covid-19 menghampiri. Sudah lebih dari setahun, penguasa tak juga mengambil pelajaran dari kebijakan yang pernah diterapkan. Sudah lebih dari setahun, rakyat jungkir balik demi bertahan hidup di tengah pasang surut ekonomi akibat pandemi.

Namun, berlalunya waktu, tumbangnya sistem kesehatan, hingga angka kematian yang masih meninggi, tidak juga membuat penguasa ini sadar. Mereka masih saja mencari pembenaran atas kebijakan yang berantakan. Mau diklaim sebaik apa pun, tetap tak mampu menutup fakta kebobrokan kebijakan dan sistem yang diterapkan hari ini.

Bukan kelakar semu yang dibutuhkan rakyat saat ini, tetapi tindakan nyata dan konsistensi sikap. Belakangan, pemerintah makin rajin berkelakar pandemi masih terkendali; negara hadir dan tidak akan membiarkan setiap warga negara kelaparan. Benarkah?

Rakyat Butuh Realisasi, Bukan Basa-basi

“Bapak Ibu, sebangsa se-Tanah Air, sekali lagi, negara hadir. Tidak ada warga negara yang akan dibiarkan dalam kelaparan,” tegas Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dedy Permadi dalam konferensi pers PPKM Darurat secara virtual, Minggu (11/7/2021).

“Baik pemerintah pusat pemerintah daerah, TNI-Polri relawan dan kita semua akan memastikan bahwa pertolongan akan sampai kepada saudara-saudara kita yang betul-betul membutuhkan,” tegasnya. (Okezone, 12/7/2021)

Upaya yang katanya tidak akan membiarkan rakyatnya kelaparan itu tercakup dalam program penyediaan dapur umum dan bansos. Melalui Kemensos, dapur umum menyediakan makanan siap saji khususnya untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi para nakes dan petugas penjaga penyekatan  PPKM Darurat.

Adapun bansos, Kemensos akan menyalurkan ke warga dalam bentuk tunai (BST). BST yang semula dihentikan di bulan April, akan kembali disalurkan untuk bulan Mei, Juni, juga Juli.

Mensos Risma mengatakan besaran BST yang akan diberikan adalah Rp300 ribu per bulan dan akan disalurkan kepada warga di setiap awal bulan. Sedangkan untuk BST bulan Mei dan Juni akan diberikan Rp600 ribu sekaligus.

Untuk target penyaluran per bulan, BST menyasar 10 juta penerima bantuan, penerima Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) sebanyak 18,8 juta, serta penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 10 juta. BST akan disalurkan melalui Kantor Pos. Sementara BPNT dan PKH akan disalurkan melalui jaringan Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara).

Pertanyaannya, sejauh mana realisasi bansos ini benar-benar tersalurkan dan tepat sasaran? Mengingat, kasus korupsi bansos membuat publik meragukan kinerja pemerintah. Saat rakyat membutuhkan bantuan, pejabatnya sibuk berbagi jatah dalam korupsi bansos.

Belum lagi pelaksanaan bansos yang terlihat amburadul selama ini. Setiap ada bansos, selalu terjadi kerumunan dan kericuhan. Ada pula yang merasa kecewa karena namanya tidak terdaftar sebagai penerima bansos. Bahkan sudah terdaftar pun tak mendapat jatah. Itulah yang terjadi di lapangan. Kebanyakan kericuhan itu dipicu akibat karut-marut data penerima bansos.

Bukan hanya itu, penguasa juga tidak berpikir multidimensi. Untuk perkara teknis semisal pendistribusian bansos, mestinya dipikirkan mekanisme penyalurannya secara pas dan benar. Maksud hati menyalurkan bantuan, yang terjadi malah kerumunan yang tidak sesuai protokol kesehatan.

Selain itu, adanya dapur umum yang didirikan Kemensos juga bisa terkendala pelaksanaannya jika belum dipikirkan betul agar rakyat bisa merasakan bantuan tersebut. Seberapa jauh jangkauan dapur umum untuk rakyat yang butuh? Misalnya, jarak rumah dengan dapur umum. Jika jauh kan jadi percuma dibuat dapur umum. Transportasi menjadi hambatan menikmati bantuan.

Bantuan-bantuan yang diperuntukkan untuk warga terdampak pandemi memang sudah bagus. Hanya saja, harus diperhatikan pula mekanisme penyalurannya baik dari sisi administrasi hingga teknis. Jangan sampai ada kesan bahwa bantuan rakyat dibuat ribet sebagaimana kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Urusan administrasi untuk konglomerat dipermudah, kepada rakyat dibuat susah.

Peran Negara

Dampak pandemi memang memukul sektor ekonomi. Lebih-lebih bagi rakyat yang berpenghasilan rendah. Jika negara memang benar-benar hadir, di mana kehadiran negara saat ada satu keluarga kelaparan di tengah kebun di Polewali Mandar, Sulawesi Barat?

Di mana kehadiran negara ketika ada ibu di Serang, Banten, meninggal karena kelaparan lantaran suaminya tak dapat menafkahi keluarganya akibat pandemi? Di mana pula kehadiran negara manakala seorang nenek kelaparan di tengah pandemi Covid-19 bahkan rumahnya hampir ambruk? Ada pula satu keluarga asal Bandung yang kelaparan dan terpaksa makan nasi aking akibat pendapatan suami yang tak menentu karena pandemi.

Semua peristiwa kelaparan itu terjadi tahun lalu. Hanya secuil yang tampak, tetapi bisa jadi faktanya lebih banyak. Apakah kala itu negara hadir dan tidak membiarkan rakyatnya kelaparan?

Boleh jadi di atas kertas penguasa mengira sukses meriayah rakyat. Namun, pada faktanya, negara sudah gagal menjamin kebutuhan rakyat. Jangankan di masa pandemi, di masa nonpandemi saja masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Itu pun angka kemiskinan bisa diutak-atik standarnya agar terkesan memiliki prestasi mengurus rakyat.

Padahal, standar kemiskinan tidak diukur dengan nilai rata-rata. Kemiskinan diukur berdasarkan seberapa besar kebutuhan pokok rakyat tercukupi, yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jika semua itu terpenuhi, baru bisa dikatakan rakyat sejantera.

Tidak perlu mencitrakan diri dengan narasi-narasi yang berkebalikan dengan fakta yang terjadi. Sibuklah menghisab diri berapa juta rakyat yang akan menagih janji dan pertanggungjawaban penguasa. Jika tak bisa dikritik di dunia, rakyat bisa saja berkeluh kesah langsung di hadapan Allah Ta’ala, yakni pengadilan akhirat.

Dalam Islam, beratnya tanggung jawab pemimpin tergambar jelas dalam sabda Nabi Saw. berikut:

Diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu Wail Syaqiq Bin Salamah bahwasanya ketika Umar ra menugaskan Busyur ibnu Asim ra untuk mengurus sedekah suku Hawazin, tetapi Busyur tidak mau menerimanya. Ketika ditanya, ”Mengapa kamu tidak mau menerimanya?” Busyur menjawab, ”Seharusnya aku menaati perintahmu, tetapi aku pernah mendengar Nabi Saw. bersabda, ‘Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum muslimin, maka di hari Kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahannam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun’.”

Lalu Umar keluar dengan wajah susah, ketika Abu Zar bertanya kepadanya, ”Mengapa Anda terlihat amat susah? Umar pun menceritakan bahwa kesusahannya karena ia telah mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas yang disampaikan oleh Busyur Asim. Lalu Abu Zar pun membenarkan bahwa ia juga pernah mendengar hadis serupa. (At-Targib jilid III, halaman 441).

Sungguh kita merindu pemimpin yang meriayah rakyat dengan baik layaknya Umar bin Abdul Aziz yang dalam dua tahun sukses memberi jaminan kesejahteraan hingga tak ditemukan orang yang berhak menerima zakat. Kita pun merindu dengan sosok pemimpin yang begitu takut akan hisabnya seperti Umar bin Khaththab ra yang rela memanggul sekarung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan.

Kita membutuhkan pemimpin yang betulan, bukan kebetulan. Untuk menghadirkan sosok pemimpin yang benar dan amanah, dibutuhkan sistem yang berkah, yakni sistem Khilafah, sistem yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad memberi jaminan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Semoga Allah segerakan Khilafah dengan tumbangnya kezaliman yang kian nyata. [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *