[News] Lonjakan Covid-19 Akibat Kesalahan Pengambilan Kebijakan Publik?
MuslimahNews.com, NASIONAL — Lonjakan pandemi Covid-19 lebih disebabkan oleh kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik. Demikian disampaikan pakar hukum, Prof. Suteki, yang kemudian memaparkan beberapa produk hukum yang digunakan di Indonesia dalam menangani pandemi ini.
Pertama, menerapkan status darurat kesehatan masyarakat yang menggunakan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang juga sangat ampuh menjerat Ha eR eS dan beberapa tokoh lain, terutama pada pasal 93.
Kedua, menerbitkan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Saat ini sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.
Ketiga, menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.
Tragedi Hukum
Ia menguraikan, dalam bidang penegakan hukum, pandemi telah membawa dampak yang signifikan. Juga bagaimana implikasi kualitas kebijakan dan informasi publik terhadap melonjaknya pandemi.
Pertama, penegakan hukum yang tidak equality before the law. Seperti pada UU No. 6/2018, telah terjadi polemik PSBB khususnya larangan berkerumun.
Ia menyayangkan ada tragedi hukum terhadap ulama tertentu yang diskriminatif pada masa pandemi.
“Mengapa hanya beliau yang dipidana? Sedangkan ada kasus pelanggaran prokes yang melibatkan pandemi di berbagai wilayah, berakhir dengan baik-baik saja. Tampak bahwa equality before the law adalah mitos. Dan hukum digunakan untuk menggebuk lawan,” kritiknya.
Ia juga merasa prihatin dengan kasus korupsi dana bansos Covid. Pihak yang dipercaya untuk membantu masyarakat terdampak, justru menggarong tanpa rasa kemanusiaan.
“Inilah fenomena ketidakadilan yang terjadi,” ujarnya.
Keselamatan Rakyat Masih sebagai Hukum Tertinggi?
Terkait implikasi transparansi dalam memperoleh informasi publik, Prof. Suteki menerangkan bahwa pertama, terjadi kebijakan ganda di dalam negeri. Banyak pihak menyatakan untuk berhenti menyalahkan rakyat dan banyak hal di tengah rakyat yang dibatasi, seperti pengaturan ibadah, pembelajaran, dan mudik. Namun, di sisi lain, ada kebijakan ganda pemerintah, seperti tetap membuka mal dan tempat wisata.
“Akibatnya, lonjakan Covid ini terjadi dan tidak jelas kapan selesainya. Jika begini, maka situasi dilema akan terus terjadi,” cetusnya.
Kedua, kebijakan yang tidak konsisten terutama tentang cegah tangkal. Mencegah orang ke luar negeri, tetapi ironisnya tidak menangkal tenaga kerja asing dan wisatawan mancanegara. Yang harusnya karantina dilakukan 14 hari pun ternyata hanya 5 hari.
Ketiga, kebijakan transparansi informasi. Rakyat punya hak atas keterbukaan informasi, terutama dari badan penanganan Covid. Secara berkala, ada data perihal pandemi Covid yang jelas dan transparan dari para pakar yang kompeten sehingga rakyat percaya, juga data metode penanganan pandemi dan data dana pandemi, serta auditnya secara transparan dan berkala untuk menghindari korupsi. Ditambah data utang pemerintah kepada rumah-rumah sakit terkait penanganan Covid agar dapat dipenuhi sehingga rumah sakit dapat berjalan.
“Diperlukan pula kompetensi pejabat publik dan jangan sampai vaksinasi dijadikan lahan bisnis,” tuturnya.
Keempat, persoalan kebijakan publik yang parsial. Seperti lockdown yang konsekuensinya sangat tinggi untuk membiayai semua keperluan rakyat. Tetapi jika dibandingkan dengan PSBB nyatanya konsekuensinya juga berbiaya tinggi bahkan paparan virus juga tinggi.
“Yang perlu ditanyakan apakah di negeri ini masih menjadikan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi ataukah kita lebih baik berprinsip innalillahi wa inna ilaihi raji’un dan laa hawlaa wala quwwata illa billahil ‘aliyil iadzim?” tutupnya retorik. [MNews/Ruh]