Opini

Haji Tanpa Khilafah di Tengah Wabah

 


Penulis: Ummu Naira Asfa (Forum Muslimah Indonesia ForMind)


MuslimahNews.com, OPINI — Dalam naungan negara Khilafah, negeri-negeri muslim di seluruh dunia akan berkumpul menjadi satu, tanpa sekat nasionalisme (nation state). Jadi, meskipun wilayahnya berjauhan, mereka hidup dalam satu negara, satu kepemimpinan.

Setiap warga negara Khilafah, di mana pun adanya, akan diurus oleh negara tanpa kecuali. Mulai dari kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, dan papan), hingga kebutuhan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya.

Tak terkecuali perkara ibadah. Khilafah akan menjamin agar pelaksanaannya bisa berjalan lancar dan terjaga kekhusyukan. Hal ini terkait dengan salah satu fungsi negara di dalam Islam, yakni sebagai pengurus dan penjaga umat dengan menegakkan syariat Islam.

Haji, Ibadah Global yang Butuh Khilafah

Salah satu ibadah yang akan diatur pelaksanaannya oleh Khilafah adalah ibadah haji, yakni aktivitas ibadah untuk menyengaja berkunjung ke Baitullah di Makkah al-Mukarramah demi melakukan ibadah pada waktu dan cara tertentu.

Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh kaum muslimin yang mampu, di mana pun mereka berada. Oleh karenanya, ibadah haji merupakan ibadah global bagi muslim sedunia.

Baitullah atau Ka’bah sendiri memang telah menjadi pusat ibadah haji sejak dulu. Sejak sebelum Islam datang hingga Hari Kiamat kelak. Sebagai tempat tujuan haji, bahkan sebagai kiblat kaum muslimin, Ka’bah sejatinya adalah milik umat Islam di seluruh dunia.

Masalahnya, sejak umat Islam hidup tanpa naungan Khilafah dan terpecah menjadi puluhan negara bangsa, ibadah haji menjadi hal yang tak mudah dilakukan. Ibadah haji menjadi urusan antarnegara dan diikat oleh aturan-aturan antarnegara. Mulai dari urusan visa, pembagian kuota, dan sebagainya.

Baca juga:  [Syarah Hadis] Sabar dan Syukur di Tengah Pandemi Covid-19

Pengurusan haji di setiap negara pun menjadi multistandar. Rata-rata diliputi keruwetan. Mulai soal pembiayaan, panjangnya antrean, kacaunya pengelolaan, dan lain-lain.

Makin Rumit karena Wabah

Tahun ini adalah tahun kedua penyelenggaraan haji pada masa pandemi. Pada tahun sebelumnya, pemerintah Saudi membatasi jemaah haji hanya bagi penduduk lokal dan kalangan ekspatriat.

Pada musim haji tahun ini, situasi belum beranjak baik. Bahkan, kondisi wabah bertambah parah dengan munculnya varian baru virus Corona yang lebih berbahaya.

Maka, atas alasan itulah pemerintah Arab Saudi kembali menutup akses haji bagi jemaah internasional dan akan menggelar ibadah haji 2021 khusus untuk jemaah domestik, yakni penduduk lokal dan para ekspatriat yang telah berada di negara tersebut. (cnnindonesia.com, 13/6/2021)

Keputusan ini tentu membuat para calon jamaah haji, tak terkecuali dari Indonesia, merasa sangat kecewa. Rata-rata mereka sudah menunggu cukup lama, sementara yang lainnya harus bersabar karena artinya antrean akan makin panjang.

Apalagi jika wabah berkepanjangan, ditengarai ke depan kuota akan makin berkurang. Saat ini saja, pemerintah Saudi menetapkan jumlah jemaah haji dibatasi hanya 60 ribu orang. Sementara dalam keadaan normal, tiap tahun jamaah haji yang datang lebih dari dua juta orang.

Wabah pada Masa Khilafah

Situasi serumit ini memang tak pernah terjadi di sepanjang sejarah Khilafah. Kehidupan pada masa Khilafah benar-benar terasa penuh berkah. Hingga ketika muncul permasalahan pun, negara akan mampu mengatasinya dengan segera dan kehidupan bisa kembali berjalan normal.

Pada masa Rasulullah saw. dan Khilafah juga pernah terjadi wabah. Namun, wabah itu mampu terisolasi dengan adanya aturan karantina wilayah beserta semua hal yang mendukung suksesnya penanganan wabah.

Jaminan logistik bagi rakyat, misalnya. Jangankan pada saat kondisi wabah, pada masa normal saja, para penguasa Islam senantiasa memastikan tak ada masyarakat yang kekurangan.

Baca juga:  "Dunia di Jantung Kerajaan", Slogan Haji Tahun Ini!

Demikian juga jaminan layanan kesehatan. Negara Islam adalah contoh terbaik dalam memberi fasilitas kesehatan bagi rakyatnya. Mulai dari ketersediaan tenaga medis, rumah sakit, maupun obat yang serba gratis. Penduduk yang ada di perkampungan bisa menikmati layanan kesehatan dengan adanya berbagai puskesmas keliling.

Dalam hal perkembangan riset, Islam mendorong dan memberi support bagi munculnya berbagai inovasi di bidang pengobatan yang ditujukan bagi kemaslahatan umat. Tidak heran, umat Islam selalu tampil sebagai motor perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kedokteran dan vaksinasi.

Di luar itu, negara selalu membangun iklim yang sehat di tengah umat. Di antaranya melalui optimasi sistem pendidikan dan penerangan (media massa).

Karenanya, rakyat negara Islam, baik individu maupun masyarakat, tampak memiliki pola pikir dan life style yang tinggi, salah satunya mewujud dalam budaya hidup sehat dan mencintai kebersihan.

Semua itu tentu tidak lahir dengan sendirinya, melainkan didorong oleh kentalnya kesadaran ruhiah (akidah) dan pemahaman terhadap syariat Islam. Baik di level penguasa sebagai pengurus umat, maupun di level rakyat yang harus siap taat dan mengawal penegakan syariat.

Andai Ada Khilafah

Jika hari ini kita hidup dalam naungan Khilafah, semua tuntunan akidah dan syariat akan menjadi dasar penanganan wabah, yakni mengarantina wilayah dan mengisolasi penderita. Hal ini ditopang dengan pemberian jaminan logistik agar tidak ada alasan masyarakat melakukan pergerakan ke area di luar wabah.

Terlebih, negara Khilafah meniadakan ego kewilayahan, sehingga penanganan bisa lebih terintegrasi dan terkoordinasi di bawah satu komando kepemimpinan.

Baca juga:  [Editorial] Khilafah dan Corona, Apa Hubungannya?

Pengetesan, vaksinasi massal, dan tracing akan digalakkan agar area wabah tidak meluas seperti sekarang. Dengan demikian, wabah bisa dituntaskan sesegera mungkin.

Walhasil, penyelenggaraan ibadah haji pun tidak akan terganggu dan akan bisa terlaksana, tidak seperti saat ini.

Meski demikian, seluruh stake holder akan tetap waspada. Protokol kesehatan tetap ketat dijaga. Begitu pun ketersediaan fasilitas penunjang, akan diupayakan tersedia di setiap tempat penyelenggaraan.

Haji di Era Wabah Semestinya Jadi Tazkirah

Bagi seorang muslim, berangkat ke Baitullah adalah sebuah cita-cita besar. Namun, karena berhaji mensyaratkan kemampuan—bekal harta, kesiapan fisik, maupun mental—, maka tidak semua dari mereka bisa berkesempatan mewujudkannya.

Ironisnya, sekarang ini, mereka yang siap dan mampu pun tetap terkendala untuk berangkat, salah satunya akibat pandemi yang masih melanda dunia.

Memang, penyebaran virus Corona makin tidak bisa dikendalikan. Bahkan, muncul berbagai varian baru virus Corona yang memperpanjang usia wabah. Namun, penanganan wabah yang jauh dari syariatlah yang telah membuat semuanya jadi serba kacau.

Diakui atau tidak, semua ini berawal dari kebodohan dan kelemahan kepemimpinan. Selama ini akal dan rasa mereka sudah terkooptasi paham sekuler kapitalisme neoliberal.

Kebijakan yang diterapkan tidak lagi memandang halal atau haram, apalagi kepentingan masa depan. Tak heran, di tengah wabah, pintu bandara dan pariwisata tetap dibuka, bahkan membuka lebar tempat di mana virus bermula.

Pertanyaannya, sampai kapan kebodohan ini terus dipertontonkan? Kepemimpinan sekuler kapitalisme neoliberal jelas-jelas membawa kemudaratan dan menjauhkan kehidupan kita dari keberkahan.

Kemudaratan itu bukan hanya berupa merebaknya kesengsaraan dan kesempitan hidup, melainkan hingga menghalangi hamba-hamba Allah untuk melaksanakan kewajiban.

Beginilah akibat hidup tidak diatur syariat Islam. Subhanallah. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *