Tahun 2021 Wabah Makin Parah? Udah, Khilafah Ajah!
Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.
MuslimahNews.com, OPINI — Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan, wabah Covid-19 pada tahun ini bisa lebih parah daripada sebelumnya. Dalam konferensi persnya, Direktur Jendral Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti mulai turunnya proses vaksinasi di dunia. Sehingga WHO menyerukan agar skema COVAX, pemberian vaksin ke negara miskin, bisa digenjot. (kompas.com, 15/5/2021)
Tedros pun menyoroti bagamana negara kaya hanya fokus pada warganya sendiri. Seakan tak peduli pada negara menengah ke bawah. Target memvaksinasi 100 persen warga negaranya, namun abai terhadap negara-negara miskin yang bahkan untuk melindungi para nakes nya pun tak sanggup.
Inilah faktor yang menyebabkan potensi wabah tahun ini lebih buruk dari tahun sebelumnya. Karena wabah akan terus tumbuh merajalela. Mengapa negara kaya hanya peduli pada warganya dan menutup mata pada negara miskin yang membutuhkan bantuan? Lantas apa yang dibutuhkan dunia untuk menyelesaikan pandemi dengan tuntas?
Permasalahan Produksi dan Distribusi Vaksin
Setahun lebih pandemi belum juga selesai, bahkan keberadaanya diperparah dengan hadirnya varian baru corona, terutama galur india. Meski belum ada bukti varian baru ini kebal terhadap vaksin, pakar Kesehatan khawatir varian ini jauh lebih menular dan menghambat upaya vaksinasi.
Hingga saat ini Covax Facility telah berkomitmen memasok 1,7 milyar dosis vaksin dari total kebutuhan dunia sebesar 2 milyar dosis. Realisasinya, Covax yang didirikan oleh WHO ini baru menghimpun dan mengirimkan 67,3 juta dosis vaksin virus corona ke 124 negara peserta. (cnnindonesia.com, 18/5/2021)
Artinya masih jauh dari target, padahal kecepatan produksi vaksin dan distribusinya sedang berlomba dengan terciptanya varian baru corona, yang berpotensi kebal terhadap vaksinasi yang telah dibuat. Sedangkan permasalahan pelik produksi hingga distribusi vaksin seperti tak menemui titik temunya.
Menurut Direktur Operasi PT Bio Farma (Persero) Rahman Rostan, Permasalahan utama dalam produksi vaksin secara masif adalah hak paten. Seharusnya dalam kondisi pandemi ini hak paten vaksin ditiadakan. Agar negara berkembang yang memiliki kemampuan memproduksi vaksin bisa ikut berproduksi. (bisnis.com, 2020)
Menteri Luar negeri Retno Marsudi, selain menyoroti penghapusan hak paten, dirinya pun mengungapkan ada ketidaksetaraan distribusi vaksin di tingkat global. Saat ini, hanya 0,3 persen dari suplai vaksin yang tersedia yang dikirimkan ke negara berpenghasilan rendah. Padahal menurut Retno, kesetaraan akses vaksin bagi semua negara sangatlah penting. Karena tak akan ada negara yang dapat sepenuhynya bebas dari covid-19, selama masih ada negara lain yang terjangkit. (kompas.com, 18/5/2021)
Vaksinasi ala Kapitalisme, Menambah Umur Pandemi
WHO sangat menekankan untuk meningkatkan produksi vaksin, namun kendala utama produksi vaksin yaitu hak paten masih saja belum dibuka (walau sudah ada wacana hak paten dibuka oleh AS). Sehingga negara-negara berkembang yang sebenarnya sanggup memproduksi vaksin tidak bisa melakukannya karena tersendat permasalahan hak paten.
Padahal, jika hak paten tersebut dicabut, lalu negara-negara yang sanggup memproduksi vaksin ikut terlibat dalam produksi. Niscaya suplai vaksin untuk dunia akan tercukupi. Sehingga Indonesia tak perlu menunggu vaksin corona dari luar negeri yang datang sangat terlambat. Karena Indonesia telah memiliki produsen vaksin andal seperti biofarma.
Namun, inilah realitas sistem kehidupan dalam kepemimpinan kapitalisme. Vaksinasi yang dianggap solusi pamungkas dalam terselesaikannya wabah malah dikapitalisasi. Aroma bisnis vaksin pun lebih tercium daripada usaha untuk menyelesaikan pandemi. Negara berkembang yang tak memiliki independensi dalam setiap kebijakannya harus manut atas aturan korporasi.
Belum lagi distribusi yang tersendat. Sudahlah suplai belum memadai, distribusi vaksin pun hanya mengalir pada negara yang memiliki penghasilan besar. Karena sistem Kesehatan dunia yang berada di bawah kendali korporasi hanya akan melayani negara mana yang menguntungkan secara materi. Wajar saja negara maju menjadi prioritas vaksin. Karena vaksin bagi mereka adalah bisnis. Nasionalisme pun telah menyekat-nyekat manusia dan menghilangkan kepedulian terhadap sesama.
Oleh karenanya, berlarut-larutnya pandemi tak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang memimpin dunia. Sistem ini lah yang memosisikan nyawa tak lebih berharga dari materi. Sistem ini pula lah yang meniscayakan solusi pandemi di bawah bayang-bayang korporasi. Sehingga sangat layak jika kita menyebut bahwa kapitalisme lah yang memperpanjang umur pandemi.
Solusinya, Kembalikan Islam Sebagai Leader Dunia
Jika kita telah melihat dengan jelas kegagalan kapitalisme dalam menyelesaikan pandemi. Selama kapitalisme memimpin dunia, pandemi akan semakin tak terkendali. Karena bukan hal yang mustahil, demi kepentingan bisnis pandemi dipelihara. Sehingga prediksi WHO tahun 2021 lebih buruk dari tahun sebelumnya sangat mungkin terjadi.
Dunia butuh sistem yang mampu menyelesaikan pandemi dengan manusiawi. Sehingga menjadi urgen untuk mengembalikan Khilafah sebagai leader dunia, agar pandemi menemui akhirnya. Sebab Khilafah telah terbukti mampu menyelesaikan pandemi dengan cepat dan tuntas.
Solusi Islam dalam menangani pandemi tak langsung pada vaksinasi. Vaksinasi dilakukan setelah melaksanakan serangkaian strategi mitigasi. Seperti tes masal (testing) untuk memisahkan yang terinfeksi dan sehat. Lalu yang terinfeksi ditelusuri pernah kontak dengan siapa saja(tracing). Setelah itu dilakukan pengobatan hingga tuntas (treatment). Ketiga hal ini dalakukan massif dan bersungguh-sungguh.
Kekhilafahan Turki Usmani adalah promotor vaksinasi. Dalam buku 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World disebutkan “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi or engrafting, and they had inherited it form older Turkic tribes” (Turki Utsmaniyah Anatolia mengetahui metode vaksinasi. Mereka menyebutnya Ashi atau engrafting, dan mereka mewarisinya dari suku Turki yang lebih tua).
Pada saat itu, di Eropa belum mengenal metode ini. Lady Mary Wortley Montague (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki, melihat efektivitas vaksin di Turki dan membawa ilmu ini ke Inggris untuk mengatasi wabah cacar (smallpox). Namun upaya Lady tidak berjalan lancar karena terbentur peradaban Eropa yang masih anti terhadap ilmu pengetahuan termasuk vaksinasi.
Dari peristiwa ini kita bisa lihat bahwa dalam islam tidak dikenal system hak paten. Sehingga siapapun yang ingin mengembangkan satu ilmu pengetahuan atau memproduksi vaksin akan dengan mudah. Maka problem produksi vaksin pun bisa teratasi dalam system khilafah. Begitu pun distribusi akan lancer, karena islam memandang keselamatan nyawa adalah utama.
System Kesehatan pun tak akan menjadi pundi-pundi korporasi, jika Khilafah yang menjadi negara adidaya. Karena Kesehatan adalah hak yang dijamin oleh negara kepada seluruh warga negara.
Maka dari itu wahai kaum muslim, agar dunia ini terbebas dari corona, kita pun harus membebaskan dunia ini dari cengkraman hegemoni peradaban barat yang rusak dan merusak. Lalu kembalikan kehidupan islam di bawah naungan Daulah Khialfah Islamiyah, insyaallah pandemi selesai dan kehidupan kembali berkah. [MNews]