Fokus

Yuk, kita Sempurnakan Saum Ramadan dengan Saum Syawal


Penulis: Najmah Saiidah


MuslimahNews.com, FOKUS TSAQAFAH — Sesungguhnya Rasulullah saw.—melalui bimbingan wahyu Allah Swt.—telah menjadikan bulan Syawal yang mengiringi bulan Ramadan sebagai momentum yang sangat tepat untuk mengawali dan menjaga konsistensi ketakwaan umatnya pasca-Ramadan.

Beliau saw. telah mensyariatkan puasa enam hari di dalamnya, memberi penjelasan tentang keutamaannya dan besarnya fadhilah serta ganjarannya.

Mengerjakan puasa sunah sebanyak enam hari pada bulan Syawal, di samping mengerjakan puasa fardu saat Ramadan, diibaratkan seperti berpuasa sepanjang tahun, berdasarkan perkiraan bahwa setiap kebajikan itu dibalas dengan sepuluh kali ganda.

Selepas Idulfitri, memang umat Islam sudah terbiasa melakukan ibadah puasa tambahan pada bulan Syawal, yang sering kita sebut dengan saum atau puasa Syawal. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, setelah selesai melaksanakan puasa Syawal, mereka merayakan lebaran kembali dengan menyebutnya sebagai Lebaran Ketupat pada tanggal 8 Syawal.

Lalu, bagaimana tuntunan Islam tentang puasa Syawal ini?

Maksud dari Puasa Syawal

Puasa Syawal ialah puasa sunah yang dikerjakan sebanyak enam hari pada bulan Syawal. Hukumnya sunah, jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak apa-apa.

Lebih afdal dikerjakan secara berturut-turut pada awal Syawal, yaitu dimulai dari hari ke-2 Syawal, bisa juga dikerjakan secara berselang-seling atau tidak, ataupun dikerjakan pada awal Syawal asalkan masih di bulan Syawal. Hukumnya tetap sunah.

Puasa sunah enam hari ini sangat besar fadhilah serta ganjarannya, diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari ra., beliau telah berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, adalah (puasanya itu) seperti puasa sepanjang tahun.” (HR Imam Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi)

Mengerjakan puasa sunah sebanyak enam hari pada bulan Syawal mengikuti puasa fardu saat Ramadan diibaratkan seperti berpuasa sepanjang tahun berdasarkan perkiraan bahwa setiap kebajikan itu dibalas dengan sepuluh kali.

Oleh karenanya, berpuasa saat Ramadan selama 29 atau 30 hari disamakan dengan 300 hari atau 10 bulan berpuasa, dan puasa enam hari pada bulan Syawal disamakan dengan 60 hari atau dua bulan berpuasa. Maka dengan itu, genaplah ia setahun.

Ini diperkuat lagi dengan sebuah hadis riwayat Tsauban bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasa sebulan (di bulan Ramadan itu disamakan) dengan sepuluh bulan berpuasa dan berpuasa enam hari selepasnya (di bulan Syawal disamakan) dengan dua bulan berpuasa, maka yang sedemikian itu (jika dicampurkan menjadi) genap setahun.” (HR Imam Al-Darimi)

Yang dimaksud dengan penyamaan di sini adalah dari segi perolehan pahala, yaitu seseorang akan mendapat pahala seperti pahala yang didapatinya dari puasa fardu.

Baca juga:  Menggapai Lailatul Qadar Saat Haid atau Nifas

Jadi, pahala mengerjakan puasa bulan Ramadan ditambah dengan puasa enam hari Syawal adalah sama dengan pahala mengerjakan puasa fardu sebanyak setahun.

Ibnu Rajab mengatakan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak dimakruhkan puasa pada hari kedua setelah hari raya (tanggal 2 Syawal). Ini sebagaimana diisyaratkan dalam hadis dari Imran bin Husain ra., bahwa Nabi saw. bersabda kepada seseorang, ‘Jika kamu sudah selesai berhari raya, berpuasalah.’ (HR Ahmad, no. 19852).” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 385)

Tata Cara Puasa Syawal

Perintah melakukan puasa Syawal disebutkan dalam hadis Abu Ayyub Al-Anshari ra., Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.(HR Muslim, no. 1164)

Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa,

menurut ulama Syafi’iyah, puasa enam hari di bulan Syawal disunahkan berdasarkan hadis tersebut. Hari pelaksanaannya tidak tertentu asalkan dalam bulan Syawal. Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung Idulfitri. Tujuannya sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan.

Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.

Syekh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al-Hamd menjelaskan, “Dalam hadis ini (yaitu hadis tentang puasa enam hari pada bulan Syawal), tidak ada nashyang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nas yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah Idulfitri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah Idulfitri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi saw.. Ini semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa bulan Ramadan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk “tsumma”, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.

Disunahkan melakukannya secara berturut-turut di awal Syawal. Jika tidak berturut-turut atau tidak dilakukan pada awal Syawal, maka itu boleh.

Seperti itu sudah dinamakan melakukan puasa Syawal sesuai yang dianjurkan dalam hadis. Sunah ini tidak diperselisihkan di antara ulama Syafi’iyah, begitu pula hal ini menjadi pendapat Imam Ahmad dan Abu Daud.” (Al-Majmu’, 6: 276)

Puasa Syawal atau Qadha Puasa Terlebih Dahulu?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah tentang apakah boleh mendahulukan puasa sunah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadan.

Baca juga:  Hukum Shalat Tarawih, Sahur, dan Niat Puasa sebelum Terbuktinya Rukyatul Hilal Ramadan

Ibnu Rajab al-Hambali ra. berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qadha puasa Ramadan, hendaklah ia memulai puasa qadha-nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qadha itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 391)

Beliau mengatakan pula, “Siapa yang memulai qadha puasa Ramadan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qadha-nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadis yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qadha puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qadha itu dilakukan.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 392)

Syekh bin Baz ra. menetapkan, berdasarkan aturan syariat (masyru’), untuk mendahulukan puasa qadha Ramadan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa sunah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi saw.,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa berpuasa Ramadan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa satu tahun.”

Barang siapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadan. Meng-qadha puasa hukumnya wajib, sedangkan puasa enam hari hukumnya sunah. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu.

Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan Ramadan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawal, beliau tetap berpendapat, menurut aturan syariat, hendaknya memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu. Sebab, dalam hadis, Nabi saw. menjelaskan puasa enam hari (Syawal) usai melakukan puasa Ramadan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan daripada perkara sunah.

Sementara itu Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan itu. Mereka meng-qiyas-kannya dengan salat thathawu’ sebelum pelaksanaan salat fardu.

Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunah berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari pada bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadan. Dasar argumentasi yang digunakan yaitu kandungan hadis Tsauban yang bersifat mutlak.

Keutamaan Puasa Enam Hari Bulan Syawal

Banyak sekali keutamaan dan pahala yang besar bagi puasa Syawal ini. Di antaranya, barang siapa yang mengerjakannya niscaya dituliskan baginya puasa satu tahun penuh, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh.” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Baca juga:  Shaum Ramadan di Tengah Badai Qawl az-Zur

Rasulullah telah menjabarkan lewat sabda beliau, “Barang siapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas Idulfitri, berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar sepuluh kali lipat.”

Dalam sebuah riwayat berbunyi, “Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadan setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu tahun.” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dengan lafaz, “Puasa bulan Ramadan setara dengan puasa sepuluh bulan. Sedang puasa enam hari bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan. Itulah puasa setahun penuh.”

Para ahli fikih mazhab Hanbali dan Syafi’i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa Ramadan setara dengan puasa setahun penuh, karena pelipatgandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunah. Juga setiap kebaikan dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat.

Di samping itu, puasa Syawal dipandang sebagian ulama sebagai penyempurna puasa fardu. Bagaikan salat sunah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunah.

Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi saw. di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Amalan pertama yang dihitung dari seorang manusia adalah salat. Jika sempurna, semuanya akan tercatat lengkap; dan jika ada yang kurang, Allah Swt. akan berkata, ‘Periksalah jika hamba-Ku melakukan ibadah sunah (nafil).’ Jika dia melakukannya, maka ibadah wajib akan dilengkapi dari yang sunah.” (HR An-Nasa’i)

Di antara keutamaan lain dari puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba akan makin mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya, yang mana amal kebaikannya pada bulan Ramadan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini.

Orang yang berpuasa setelah Ramadan, bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah, lantas kembali lagi.

Selagi masih ada waktu—bulan Syawal baru berlalu beberapa hari, mari kita manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya agar makin dekat dengan Allah, sekaligus bisa meraih pahala dari Allah Ta’ala, berlomba-lomba dalam kebaikan. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *