Opini

Mendamba Sistem Birokrasi Sehat dan Bebas Pungli


Penulis: Chusnatul Jannah


MuslimahNews.com, OPINI — KPK menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi terkait Hari Raya. Surat itu berisi peringatan agar pejabat negara dan ASN tidak menerima, meminta, atau memberi gratifikasi THR. Diharapkan para penyelenggara negara dan ASN menunjukkan keteladanan kepada masyarakat.

Gratifikasi yang beredar di kalangan pejabat negara lebih dikenal sebagai pintu gerbang memasuki babak korupsi. Dikutip dari situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi, gratifikasi disebut juga suap yang tertunda atau suap terselubung. Gratifikasi sering dianggap sebagai akar korupsi.

Gratifikasi dilarang karena mendorong pegawai negeri atau penyelenggara negara bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional. Akibatnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Undang-undang menggunakan istilah “gratifikasi yang dianggap pemberian suap” untuk menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Kompas, 15/1/2020)

Sistem Demokrasi Memberi Peluang Korupsi

Biasanya menjelang lebaran, masyarakat banyak berbagi parcel atau bingkisan. Tak terkecuali para pejabat negara. Terkait momen lebaran, terkadang sulit membedakan mana yang benar-benar pemberian murni, mana yang sarat dengan kepentingan.

Dalam sistem demokrasi saat ini, di kalangan pejabat atau birokrat, menerima atau memberi hadiah berkelindan bersama kepentingan yang ingin dicapai. Ada pejabat ingin dilancarkan proyek atau usahanya, hadiah diberi sebagai pelicin atau “uang jalan”. Dengan uang, semua urusan lancar. Tanpa uang, proyek dan kepentingan bisa terhalang.

Meski tidak semua pejabat berbuat demikian, hanya saja rasanya sulit menjumpai pejabat negara yang bersih dari praktik rasuah. Sesulit menemukan pejabat amanah kala ia mendapat mandat dan kekuasaan.

Yang paling banyak terjadi adalah mereka bagai kacang lupa kulitnya. Setelah naik ke kursi kekuasaan, tujuannya berubah. Yang semula berteriak kencang membela kepentingan rakyat, dalam waktu singkat bisa berubah haluan mengikuti kehendak si pemberi suap.

Birokrasi Bersih dari Korupsi, Mungkinkah?

Siapa pun jika ditanya seperti apa kriteria pemimpin ideal, pasti jawabannya ialah pemimpin amanah yang peduli pada kepentingan rakyatnya. Ketika rakyat diberi hak bersuara menentukan calon pemimpin dalam pemilu, besar harapan mereka calon pemimpin yang mereka pilih benar-benar berlaku adil dan amanah.

Baca juga:  Korporatokrasi di Bawah Naungan Demokrasi

Sayangnya, fakta bicara kebalikannya. Pesta demokrasi justru menjadi ajang tebar pesona dan pencitraan diri para calon pejabat. Rakyat berkali-kali dikibuli. Perilaku korup para pejabat membuka tabir sesungguhnya bahwa demokrasi gagal menciptakan pemimpin dambaan.

Perilaku korup terjadi bukan hanya ada niat si pelaku, tapi juga karena ada kesempatan. Sistem demokrasi yang berbiaya tinggi membuka lebar peluang para pejabat untuk bertindak korupsi. Sejumlah proyek infrastruktur dan kemudahan perizinan menjadi celah untuk meraup banyak keuntungan.

Keterpilihan para pemimpin dan pejabat negara sebagai wakil rakyat, kebanyakan tidak dilihat apakah ia memang kapabel dan berintegritas, namun lebih kepada kongkalikong partai politik dan para pemodal. Ongkos politik yang tidak murah menuntut pemodal besar. Setelah menang, maka terjadilah yang namanya politik balas budi.

Jadi, berharap birokrasi bersih dari korupsi dan politik kepentingan rasanya mustahil terjadi. Sebab, akar masalah adanya praktik birokrasi yang korup adalah sistem demokrasi itu sendiri. Apalagi hukuman bagi para koruptor itu banyak diskonnya. Bukannya diperberat, tapi malah diringankan dengan potongan kurungan.

Larangan Islam tentang Suap

Islam melarang tegas praktik suap. Memberi dan menerima suap adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Allah Swt. berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 188 yang artinya, “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu memberi urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam ayat di atas, ada larangan untuk memakan harta dengan cara batil walaupun diberikan dengan sukarela oleh pemberinya seperti menerima suap. Al-Baghawi berkata, “Artinya (ayat di atas tadi), jangan kalian berikan harta itu kepada hakim dengan cara suap agar dia mengubah hukum untuk kalian.”

Berdasarkan hadis riwayat At-Tirmidzi diceritakan: Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata, “Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata, ‘Apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barang siapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu.'”

Baca juga:  Menjajaki Peluang Kesatuan Politik Umat

Dari hadis tersebut, cakupan ghulul pada tahun ke-10 hijriah bukan sebatas harta rampasan perang. Uang tip, pelicin, uang lelah, uang terima kasih, atau uang keamanan termasuk dalam perilaku korupsi. Dalam istilah Nabi saw., uang-uang ini disebut al-maksu atau pungutan liar.

Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih mendekatkan persaudaraan atau persahabatan. Sebagaimana Nabi Saw. bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR Bukhari)

Pada dasarnya, saling memberi hadiah kepada orang lain sangat dianjurkan dalam Islam agar tumbuh rasa saling menyayangi antar saudara muslim. Hanya saja, Islam memberikan rambu-rambu tertentu terkait hadiah, yaitu tidak semua orang boleh mendapat hadiah. Contohnya seseorang pejabat atau seseorang pemegang kekuasaan.

Islam melarang pejabat atau penguasa menerima hadiah dari siapa pun karena bisa menimbulkan fitnah dan mudarat bagi si pemberi dan penerima. Di samping karena pejabat sudah mendapat gaji negara, pemberian hadiah dikhawatirkan karena kedudukan dan jabatan yang sedang diembannya. Anda kata si pejabat tidak memiliki kedudukan dan kekuasaan, belum tentu ia diberi hadiah.

Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw., yang menceritakan ada seorang pegawai Baitulmal yang menerima hadiah,  lalu Nabi saw. berkhotbah di atas mimbar seraya berkata, Andai dia duduk di rumah ibu dan bapaknya, apakah dia akan mendapatkan hadiah?” (HR. Bukhari)

Demikian juga ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengetahui ada seorang pegawai Baitulmal yang membawa pulang banyak hadiah, beliau menanyainya, “Dari mana kau dapatkan barang-barang ini?” Pegawai tersebut mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Mendengar jawaban tersebut beliau lantas membacakan sabda Rasul di atas dan menetapkan hadiah-hadiah tersebut untuk Baitulmal. Umar bin Abdul Aziz berkata,

إنَّ الْهَدَايَا كَانَتْ هَدَايَا فِي عَهْدِ الرَّسُولِ أَمَّا فِي زَمَانِنَا فَقَدْ أَصْبَحَتْ رِشْوَةً

Baca juga:  [News] Aktivis: Membangun Perilaku Antikorupsi yang Dimulai dari Keluarga Bukan Solusi Hakiki

“Hadiah adalah hadiah di masa Rasulullah. Sedangkan di zaman kita telah berubah menjadi suap.”

Mendamba Birokrasi Bersih

Bukan mustahil mewujudkan sistem birokrasi yang bersih dan amanah dengan sistem Islam. Sebab, Islam memiliki aturan preventif dan kuratif dalam mencegah praktik rasuah dalam bentuk apa pun.

Pertama, keteladanan pemimpin. Dalam negara Khilafah, pengangkatan pejabat atau pemimpin menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan ketakwaan ini, ia akan terjaga dari apa yang diharamkan oleh Allah. Dengan takwa ini pula ia menjalankan tugasnya dengan amanah dan bertanggung jawab.

Kedua, sistem gaji yang layak. Pejabat negara harus menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Dengan sistem gaji yang layak, mereka tidak akan merasa was-was dalam memenuhi kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarganya. Ketika tunjangan dan gaji mencukupi, ia tidak akan tergoda berlaku curang.

Ketiga, waskat (pengawasan melekat). Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. (muslimahnews.com, 31/3/2019)

Keempat, penghitungan kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini pernah dipraktikkan di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab ra.. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan akhir jabatan. Jika diketahui ada kenaikan kekayaan harta yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan kekayaan tersebut didapat dengan cara halal. Di masa sekarang, cara ini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik. Cara yang cukup efektif mencegah pejabat berbuat curang.

Kelima, sistem sanksi yang tegas. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Dengan pelaksanaan syariat Islam, praktik suap, gratifikasi, atau sejenisnya bisa diberantas secara komprehensif. Oleh karenanya, urgensi penerapan syariat Islam harus terus disampaikan agar umat semakin memahami kebutuhan terhadap syariat Islam dalam menjalankan roda pemerintahan yang bersih tak dapat ditunda lagi. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *