Opini

May Day 2021, Mendamba Upah yang Adil


Penulis: Nida Alkhair


MuslimahNews.com, OPINI — May Day atau Hari Buruh Sedunia tahun ini jatuh pada Sabtu (1/5/2021). Demo besar-besaran digelar para buruh se-Indonesia. Mereka menuntut pemerintah mencabut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

UU ini dianggap tidak memberikan kepastian pendapatan bagi kaum buruh. Bahkan, aturan tersebut dianggap mengurangi hak buruh.

“Hilangnya kepastian pendapatan itu terlihat, bahwa di dalam UU Ketenagakerjaan Upah Minimum terdiri dari UMP, UMSP, UMK, UMSK Kenaikan Upah Minimum berdasarkan hasil KHL dan atau inflasi plus pertumbuhan ekonomi,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal (CNBC Indonesia, 1/5/2021).

“Tetapi di dalam UU Cipta Kerja, UMK bersyarat, UMSK dan UMSP hilang, serta kenaikan Upah Minimum hanya berdasarkan inflasi atau pertumbuhan ekonomi saja,” jelas Said.

Oleh karena itu, kaum buruh menuntut agar UMK diberlakukan tanpa syarat dan UMSK tidak dihilangkan. Di samping itu, kenaikan upah minimum harus berdasarkan inflasi plus pertumbuhan ekonomi, dan setiap lima tahun sekali KHL ditinjau ulang.

Persoalan upah buruh senantiasa mengemuka dari tahun ke tahun. Setiap peringatan May Day, selalu ada tuntutan kenaikan upah. Pasca dimulainya pembahasan UU Ciptaker, formulasi upah minimum menjadi topik yang terus diperdebatkan.

Upah Minimum Kota maupun Kabupaten di Indonesia memang bervariasi karena diatur secara Regional. UMK terbesar ada di Jabodetabek yang mencapai kisaran Rp4,2 juta/bulan. Sedangkan UMK terkecil ada di Pangandaran, Ciamis, Kuningan, dan lain-lain yaitu berkisar Rp1,8 juta/bulan. Jika dirata-ratakan, UMK di Indonesia sekitar Rp2,2 juta/bulan.

Buruh menolak UMP karena lebih rendah dari pada UMK, sehingga merugikan mereka. Sebagai contoh, UMP Jawa Barat 2021 sebesar 1,81 juta. Sementara UMK Bekasi mencapai Rp4,79 juta. Jika yang ditetapkan hanya UMP Jawa Barat, sedangkan UMK Bekasi tidak ditetapkan, maka buruh di Bekasi hanya akan mendapatkan upah Rp1,81 juta.

Baca juga:  Abaikan Protes Buruh, Omnibus Law Tambah Riuh

Padahal, dengan upah sesuai UMK saja, buruh masih jauh dari sejahtera. Hal ini dikarenakan kebutuhan hidup yang tinggi dan terus naik tiap tahunnya. Jika UMP saja yang diterapkan, kesejahteraan buruh akan makin jauh dari kenyataan.

Tidak Adil

Kesejahteraan buruh akan selalu menjadi mimpi selama sistem pengupahan yang diterapkan bukanlah sistem yang adil. Upah buruh dalam sistem ekonomi kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini, ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum, atau yang lebih umum disebut KHL (Kebutuhan Hidup Layak). KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan.

Penetapan upah dalam sistem kapitalisme ditentukan berdasarkan KHL ini, bukan berdasarkan jasa yang diberikan oleh tenaganya pada seseorang atau masyarakat. Sehingga, upah yang diperoleh buruh adalah sebatas standar hidupnya yang paling minimal. Yaitu sekadar bisa dipakai untuk hidup dalam suatu taraf hidup yang amat sederhana.

Pada daerah yang taraf hidupnya tinggi, upah buruh akan terlihat tinggi. Padahal jika dibandingkan dengan taraf hidup komunitas yang mereka diami, para pekerja tersebut tergolong hidup dengan taraf minimum.

UMK di Jabodetabek yang terlihat tinggi tetap tidak membuat buruh sejahtera. Mereka hidup di wilayah yang segala barang dan jasa harus dibeli dengan harga mahal. Jadilah upah mereka hanya cukup sekadar untuk bertahan hidup, bukan untuk mencapai level sejahtera.

Inilah persoalan utama sistem pengupahan ala kapitalisme, yaitu dijadikannya kebutuhan hidup minimum sebagai dasar penentuan upah. Padahal seharusnya buruh mendapatkan upah berdasarkan manfaat yang dia berikan pada individu atau masyarakat.

Upah bisa berbeda-beda berdasarkan perbedaan kerjanya dan perbedaan tingkat kesempurnaan dalam suatu pekerjaan yang sama. Jadi tinggi rendahnya upah buruh dalam suatu pekerjaan itu semata-mata distandarkan pada tingkat kesempurnaan jasa atau kegunaan tenaga yang mereka berikan. Inilah upah yang berhak mereka terima (Sistem Ekonomi Islam, 2009).

Baca juga:  Omnibus Law: Karpet Merah Korporasi, Perbudakan Modern ala Investasi

Pengupahan dalam Islam

Demikianlah standar pengupahan dalam Islam, yaitu berdasarkan pada manfaat yang diberikan. Sistem pengupahan dalam Islam merupakan sistem yang adil, karena memperhatikan hak dan kewajiban pekerja (ajir) dan pemberi kerja (musta’jir). Tidak ada kelebihan salah satu di antara keduanya di hadapan Allah Swt. melainkan karena ketakwaannya.

Hubungan pekerja dan majikan adalah hubungan tolong menolong dalam kebaikan, bukan hubungan yang mengeksploitasi. Hal ini menjadikan hubungan pekerja dan majikan berjalan harmonis.

Ketika majikan mempekerjakan pekerja, maka harus ada akad yang jelas terkait jenis pekerjaan, waktu kerja, upah, dan tenaga yang harus dicurahkannya. Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw. bersabda,

إذا استأجر احدكم اجيرا فليعلمه اجره

Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR ad-Daruquthni)

Dengan adanya akad yang jelas tersebut, pekerja dan majikan akan sama-sama rida terkait dengan pekerjaan dan upahnya. Di dalam Khilafah akan ada semacam ikatan profesi yang mengetahui standar upah yang sepadan bagi jenis pekerjaan tertentu, sehingga bisa menjadi rujukan dalam membuat kesepakatan upah.

Dalam Islam, majikan wajib membayar upah pekerja secara tepat waktu dan tidak boleh menunda-nundanya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه إبن ماجة والطبراني)

“Dari  Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan at-Thabrani)

Jika ada perselisihan antara pekerja dan majikan terkait kontrak kerja, maka negara Khilafah siap sedia menjadi pemutus (hakim). Terdapat para hakim yang bertugas menyelesaikan perselisihan di antara dua pihak. Hakim akan mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, lalu memutuskan secara adil berdasarkan syariat Islam.

Baca juga:  Masihkah Pemerintah Peduli akan Nasib Buruh Migran Indonesia?

Pada buku Fiqih Ekonomi Umar bin al-Khaththab, DR. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi menyebutkan sebuah riwayat. Ketika Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu ingin mempekerjakan seorang pemuda, maka beliau menawarkan kerjanya dengan mengatakan, “Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?” Maka, seseorang dari kaum Anshar berkata, “Saya, wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?” Ia menjawab, “Dengan demikian dan demikian!” Maka beliau berkata, “Ambillah dia!”

Riwayat ini memberikan pengertian bahwa Umar ra. menawarkan tenaga kerja, lalu datang permintaan kepadanya dari pihak orang Anshar tersebut, dan terjadi kesepakatan tentang upah berdasarkan pada penawaran dan permintaan tersebut.

Bagaimana jika upah dari pekerjaan tidak mencukupi kebutuhan hidup seorang pekerja beserta orang yang dalam tanggungan nafkahnya? Misalnya, karena dia memiliki keterampilan yang rendah, atau fisik yang lemah.

Dalam kondisi ini, solusi hadir dari negara, bukan dari pemberi kerja. Majikan tidak punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerjanya tersebut. Dia hanya wajib memberi upah yang sesuai dengan pekerjaan sang pekerja.

Ketika pekerja tersebut sudah mendapat upah tapi tidak cukup untuk kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, dan papan, maka dia terkategori fakir. Dia berhak mendapatkan zakat yang dikumpulkan negara dari para muzaki.

Jika masih belum cukup, negara akan memberi santunan rutin. Negara juga akan menyediakan kursus gratis untuk meningkatkan keterampilannya.

Sedangkan kebutuhan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan rekreasi disediakan oleh negara Khilafah bagi seluruh rakyat, baik yang kaya maupun miskin, tanpa dipungut biaya. Dengan sistem pengupahan Islam yang adil ini, para pekerja tidak perlu risau akan kebutuhan hidupnya dan bisa bekerja dengan tenang.

Demikianlah sistem Islam mewujudkan kesejahteraan bagi kaum pekerja. Kesejahteraan ini telah terwujudnya sepanjang masa peradaban Islam dan akan terwujud lagi dengan tegaknya Khilafah. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *