Opini

Reshuffle Kabinet, Bongkar Pasang ala Demokrasi


Penulis: Chusnatul Jannah


MuslimahNews.com, OPINI — Isu reshuffle kabinet kian menguat pascasidang paripurna DPR pada Jumat (9/4/2021) yang menyetujui pembentukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; dan Kementerian Investasi. Perubahan nomenklatur kementerian tersebut mau tak mau mengharuskan Presiden Jokowi mengubah formasi kementerian di pemerintahannya.

Belum diketahui secara pasti kapan Jokowi akan meresmikan perubahan kabinetnya. Pergantian orang di pemerintahan Jokowi bukanlah kali pertama terjadi. Sepanjang ia memimpin, sudah lima kali Jokowi melakukan reshuffle kabinet.

Reshuffle pertama terjadi pada 12/8/2015. Reshuffle kedua pada 27/7/2016, reshuffle ketiga Januari 2018 dan yang keempat pada 15/8/2018. Di periode kedua, reshuffle terjadi pada 22/12/2020. Saat itu, dua menterinya tersandung kasus korupsi yang membuatnya mengganti menteri lama dengan yang baru.

Ala Demokrasi

Dilansir dari situs Cambridge Dictionary, reshuffle adalah perombakan. Kalimat ini merupakan kalimat yang diambil dari bahasa Inggris sehingga tidak tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Adapun tujuan reshuffle kabinet adalah untuk mencapai tujuan pemerintah yang berkaitan dengan partai atau target tertentu. Dengan adanya reshuffle, tujuan diharapkan bisa tercapai. (Detikcom, 15/4/2021)

Bongkar pasang kabinet adalah sesuatu yang lumrah di pemerintahan demokrasi. Pergantian menteri biasanya dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, menteri tersandung korupsi. Menteri yang terseret kasus korupsi tentu saja merugikan citra pemerintah yang katanya aktif melawan korupsi. Maka dari itu, menteri yang ketahuan korupsi akan dicopot demi mendapatkan kembali kepercayaan publik.

Baca juga:  Ironi Gaji Abdi Negara di Sistem Demokrasi

Kedua, kinerja menteri stagnan alias tidak mengalami perubahan signifikan. Sebagaimana pimpinan pada umumnya, jika kinerja anak buah tidak beres, penggantian adalah hal yang lazim dilakukan oleh seorang bos/pimpinan. Sama halnya dengan pemerintahan, bila menteri tak becus kerja, ia bisa diganti melalui reshuffle kabinet.

Ketiga, tindakan menteri bertentangan dengan target pemerintah. Ini pernah terjadi saat Rizal Ramli menjabat sebagai Menko Maritim yang menolak proyek reklamasi. Tak menunggu lama, ia pun terdepak dari kabinet di awal pemerintahan Jokowi berjalan. Siapa pun yang diangkat jadi menteri, ia harus patuh dan taat pada target, tujuan, dan kebijakan pemerintah.

Keempat, bagi-bagi kursi jabatan. Sebagai balas budi, biasanya kue kekuasaan dibagi sesuai jatahnya. Latar belakang pendidikan atau keahlian seseorang pada bidang tertentu terkadang tidak menjadi pertimbangan utama. Selama loyalitasnya diberikan pada rezim, ia memiliki peluang besar untuk mendapat kursi jabatan. Bisa dengan rolling menteri atau diberi jabatan di lembaga pemerintahan selain kementerian.

Ganti Menteri, Negeri Membaik?

Dalam demokrasi, tidak ada istilah kawan atau lawan abadi. Semua berjalan berdasarkan kepentingan. Yang semula lawan, suatu saat bisa menjadi kawan dekat. Pun sebaliknya.

Akankah kehadiran menteri baru membawa perbaikan bagi negeri? Tampaknya mustahil. Sebab, terpilihnya menteri-menteri yang dipilih Jokowi tidak akan lepas dari kepentingan rezim. Selama sistem dan ideologi yang dipakai sama, yaitu kapitalisme neoliberal, pergantian menteri tidak akan membawa dampak positif bagi rakyat.

Baca juga:  Kudeta Myanmar dan Kepentingan AS "Menjaga" Demokrasi

Sebab, titik masalahnya bukan pada orangnya, tapi sistem pemerintahan yang dijalankan. Keberadaan kementerian investasi misalnya, ia menjadi jalan dibuka lebarnya keran investasi yang selama ini sudah liberal. Sejauh mana dampak investasi bagi kesejahteraan rakyat secara mayoritas? Yang ada rakyat mendapat getah pahitnya.

Yang jelas, menteri dipilih dalam rangka menjaga kekuasaan agar tetap bertahan di tengah terpaan kritik umat yang kian deras. Penguasa memilih mereka agar kebijakan strategis bisa berjalan tanpa hambatan. Semua dilakukan hanya demi kukuhnya kekuasaan para oligarki dan kaum kapitalis.

Meski tidak ahli, ada banyak alasan untuk membuat mereka “layak” mengisi jabatan tersebut. Begitulah jalan politik demokrasi. Yang kritis dibungkam, yang loyal kepada pemerintahan akan diberi jabatan. Jika bisa, kaum oposan ya diiming-imingi jabatan agar makin sedikit jumlah oposisi pemerintah. Dengan begitu, mereka bisa memegang kendali penuh kekuasaan tanpa merasa was-was digoyang dengan kritik dan hujatan.

Sistem Pemerintahan Ideal

Idealnya, seseorang yang diberi jabatan harus menjalankannya berdasarkan mandat yang diberikan rakyat kepadanya. Rakyat memberinya kepercayaan agar dapat melaksanakan amanah sebaik mungkin. Itu berarti kebijakan yang ia tetapkan sudah semestinya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Tapi hal itu tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan demokrasi. Sistem yang katanya “dari rakyat, oleh, dan untuk rakyat”, faktanya tidaklah demikian. Yang terjadi adalah “dari kapitalis, oleh, dan untuk kapitalis”. Sistem yang katanya suara rakyat adalah suara Tuhan, justru terbungkam dengan kebijakan neoliberal yang berpihak pada segelintir elite kekuasaan.

Baca juga:  Editorial: Ke Mana Arah Perubahan?

Dalam lintas sejarah, belum pernah ada peradaban yang bisa bertahan lebih dari 13 abad selain sistem pemerintahan Islam. Konsep bernegara ideal digagas oleh Rasulullah saw. saat pertama kali mendirikan negara Islam di Madinah. Konsep ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaurasyidin. Sistem kekhalifahan inilah yang disebut dengan negara Khilafah.

Sistem Khilafah dijalankan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Sistem politiknya dijalankan dengan konsep riayah su’unil umat (mengurusi urusan umat). Semua aspek kehidupan diatur sesuai syariat Islam.

Sistem ekonomi negara Khilafah bersih dari praktik riba, monopoli, penipuan, dan keharaman lainnya. Sistem hukumnya berkeadilan karena ia berjalan berdasarkan hukum Allah Swt.. Sistem sosialnya jauh dari kemaksiatan dan kemungkaran. Sebab, Khilafah akan menutup celah apa pun yang menghantarkan pada perilaku maksiat kepada Allah.

Berganti orang tanpa berganti sistem tak akan membawa perbaikan dan perubahan bagi negeri ini. Kita membutuhkan sistem pemerintahan alternatif yang ideal. Sistem yang memiliki standar baku yang pasti, bebas dari intervensi, dan bersih dari politik kepentingan, yaitu Khilafah sesuai metode kenabian.[MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *