Fokus

Persatuan Umat dalam Bingkai Moderasi Islam, Mungkinkah Diwujudkan?


Penulis: Najmah Saiidah


MuslimahNews.com, FOKUS — Dalam diskusi virtual bertajuk “Moderasi Islam dan Kebangsaan Indonesia” pada Jumat (12/3/2021), Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI Jazuli Juwaini menilai moderasi Islam merupakan faktor penting bagi kebangsaan. Sebab, keberhasilan atau keterpurukan Indonesia pasti ada andil dan kontribusi umat Islam.

“Tema ini diangkat agar umat Islam memiliki rasa tanggung jawab bahwa Islam menjadi faktor penting keindonesiaan. Maju mundurnya bangsa Indonesia, keberhasilan dan keterpurukan Indonesia, pasti ada andil dan kontribusi umat Islam,” katanya. (antaranews.com)

Jazuli juga menyatakan, Islam diterima luas di Indonesia dan kemudian menjadi agama mayoritas, karena Islam memiliki karakter wasathiyah (moderasi/jalan tengah), keseimbangan, dan didakwahkan secara damai, seperti dakwah Wali Songo yang tanpa ada pertumpahan darah sedikit pun.

Selanjutnya, menurutnya, dalam sejarah pergerakan kemerdekaan maupun pembentukan negara Indonesia merdeka, tidak bisa dipisahkan dari peran umat Islam dan para santri. Tanpa mengecilkan peran umat dari agama lain, peran besar umat Islam, para santri, ulama, dan tokoh Islam dalam perjuangan kemerdekaan dan berdirinya Indonesia tidak bisa dikecilkan.

Masih menurutnya, karena Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, maka harus menjadi perekat persatuan, penjaga identitas dan karakter bangsa, serta penggerak kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia. (antaranews.com)

Sepintas, pernyataan ini tidak ada yang salah. Apalagi ketika Islam moderat digambarkan sebagai pemikiran atau ide yang membawa kedamaian, saling menghormati, toleransi, dan sebagainya. Namun, benarkah demikian?

Islam Moderat Strategi Barat Melemahkan Umat Islam

Kata “moderat” atau jalan tengah sendiri mulai dikenal luas pada masa abad pencerahan di Eropa. Konflik antara pihak pemuka gereja (yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat) dan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof (yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan) menghasilkan sikap kompromi. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik.

Amerika Serikat memang merancang pendekatan yang amat halus dalam pertarungan ideologi antara Islam dan kapitalisme. Cheryl Benard–peneliti RAND Corporation—menyebutkan bahwa dunia Islam harus dilibatkan dalam pertarungan tersebut dengan menggunakan nilai-nilai (Islam) yang dimilikinya. AS harus menyiapkan mitra, sarana, dan strategi demi memenangkan pertarungan.

Tujuannya adalah pertama, mencegah penyebaran Islam politik. Kedua, menghindari kesan bahwa AS “menentang Islam.” Ketiga, mencegah agar masalah ekonomi, sosial, dan politik akan menyuburkan radikalisme Islam (Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies/Cheryl Benard. Copyright 2003 RAND Corporation).

Baca juga:  Hidup Berdampingan dengan Non Muslim dalam Pandangan Islam

Rand Corporation telah merancang Indonesia sebagai poros Islam moderat sekaligus penjaganya. Islam moderat terus dipropagandakan dengan dalih masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural atau majemuk dan hanya bisa dipersatukan atau dirawat dengan Islam moderat. Alasannya, Islam moderat menjaga toleransi dan saling menghormati. Padahal, yang terjadi sebaliknya, bukannya mempersatukan tapi justru memecah belah umat.

Dari berbagai pernyataan para politisi dan intelektual Barat terkait klasifikasi Islam menjadi “Islam moderat” dan “Islam radikal” (ekstremis), akan kita temukan bahwa yang mereka maksud “Islam moderat” adalah Islam yang tidak anti-Barat (baca: tidak antikapitalisme), Islam yang tidak bertentangan dengan sekularisme Barat, serta tidak menolak berbagai kepentingan Barat.

Substansinya, “Islam moderat” adalah Islam sekuler yang mau menerima nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM, serta mau berkompromi dengan imperialisme Barat dan tidak menentangnya. Kelompok yang disebut “Islam moderat” ini mereka anggap sebagai Islam yang “ramah” dan bisa jadi mitra Barat.

Sejumlah strategi pun disusun untuk memberdayakan kelompok moderat agar mengubah dunia Islam sesuai dengan demokrasi dan tatanan internasional.

Strategi tersebut antara lain memublikasikan pemikiran mereka di media massa; mengkritik berbagai pandangan Islam fundamentalis; memasukkan pandangan mereka ke dalam kurikulum, serta mengentalkan kesadaran budaya dan sejarah mereka yang non-Islam dan pra Islam ketimbang Islam itu sendiri; serta memberikan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro Barat.

Islam Moderat Menghalangi Persatuan Umat Islam

Ide Islam moderat pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah umat yang diberi warna baru. Ide ini menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya.

Di samping itu, tampak jelas bahwa gagasan Islam moderat ini mengabaikan sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’i, baik dari sisi redaksi (dalâlah) maupun sumbernya (tsubût), seperti superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS Ali Imran [3]: 85); kewajiban berhukum dengan hukum syariat (QS al-Maidah [5]: 48); keharaman wanita muslimah menikah dengan orang kafir (QS al-Mumtahanah [60]: 10); dan kewajiban negara memerangi negara-negara kufur hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (QS at-Taubah [9]: 29); dan sebagainya.

Baca juga:  Pengarusutamaan Moderasi Beragama, Penguatan Liberalisme Mengalihkan Problem Hakiki Bangsa

Tujuannya tidak lain adalah meragu-ragukan dan menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam, agar nilai-nilai dan praktik Islam, khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan hukum Islam lainnya, dapat dieliminasi dari kaum muslim dan diganti dengan pemikiran dan budaya Barat.

Islam dengan berbagai labelnya seperti “Islam Indonesia” atau “Islam Timur Tengah” sebenarnya sama dengan istilah “Islam radikal”, “Islam militan”, “Islam moderat”, atau yang lain.

Pengotak-ngotakan seperti ini sebenarnya murni bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam. Sebagaimana dituangkan dalam dokumen Rand Corporation, strategi penghancuran ini dibangun dengan dasar falsafah “devide et impera” atau politik pecah belah (adu domba).

Sangat jelas, klasifikasi atau pengelompokan umat Islam yang sesuai dengan cara pandang Barat ini, sejatinya untuk melanggengkan penjajahan Barat terhadap dunia Islam dan kaum muslim sesuai ideologi mereka (Barat).

Karena itu, umat Islam wajib menyadari bahwa pemilahan atau pengotak-ngotakan Islam menjadi moderat, fundamentalis/radikal, tradisional, dan sebagainya adalah demi kepentingan Barat, yakni untuk memunculkan satu kelompok Islam dan menekan kelompok Islam yang lain.

Dengan begitu, Barat berambisi hanya ada satu Islam, yakni Islam yang mau menerima ideologi, nilai-nilai, dan peradaban Barat serta berbagai kepentingan mereka.

Dari sini, tampak nyata betapa bahayanya pemikiran Islam moderat. Sebab, gagasan ini, pelan tapi pasti, tidak hanya mengebiri Islam yang sejatinya merupakan ideologi (mabda)—agama yang memiliki pemikiran (fikrah) dan bagaimana cara mewujudkan pemikiran-pemikirannya (thariqah)—menjadi sekadar kumpulan pemikiran (fikrah) saja. Sehingga, Islam pun berubah menjadi sekadar agama ruhiyah, yang dihilangkan sisi politisnya sebagai solusi dalam seluruh aspek kehidupan.

Lebih dari itu, ide Islam moderat ini telah berhasil memolarisasi umat Islam dalam berbagai faksi pemikiran hingga tataran keyakinan, yang menjadikan umat Islam terpecah belah dan semakin jauh dari Islam. Hal inilah yang akan terus menjadi penghalang perjuangan menegakkan sistem Islam dan justru melanggengkan kekufuran.

Dari pemaparan ini semua, jelaslah bagi kita, Islam moderat tidak akan mampu mempersatukan umat Islam. Malah yang terjadi sebaliknya, yaitu memecah belah bahkan mengadu domba umat Islam dengan cara mengotak-ngotakkan atau mengelompokkan umat Islam semau mereka (Barat). Hal ini sama saja menghalangi terjadinya persatuan Islam di muka bumi ini.

Musuh-musuh Islam sangat menyadari, dengan tegaknya kembali sistem Islam di tengah-tengah kaum muslimin—yang akan menerapkan syariat Islam secara kafah, menyatukan umat Islam di seluruh dunia, melindungi dan membebaskan umat Islam yang tertindas, menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin—akan mengancam dominasi mereka.

Baca juga:  Tak Seharusnya Penyuluh Agama Menjadi Penyampai Moderasi

Oleh karena itu, tegaknya kembali sistem Islam harus mereka cegah dengan segala cara. Salah satunya dengan menggunakan politik belah bambu. Umat Islam yang mendukung mereka diangkat, dipuji-puji, dan dijuluki muslim moderat, sedangkan yang bertentangan harus dibabat habis.

Musuh-musuh Islam akan berusaha keras mencegah kembalinya persatuan umat Islam dengan menjauhkan umat dari rahasia kebangkitannya—yang tidak lain adalah ajaran Islam sebagai sebuah ideologi (mabda)—yang ditegakkan kekuatan penopangnya berupa negara Khilafah.

Inilah yang pernah disampaikan Lord Curzon (mantan Perdana Menteri Inggris) beberapa saat setelah berhasil meruntuhkan Khilafah Utsmani melalui anteknya, Mustafa Kemal, “Kita telah berhasil meruntuhkan kekuatan umat Islam dan memastikan mereka tak akan bangkit kembali, karena kita telah menghapus dua kekuatannya, yakni Islam dan Khilafah!” (eramuslim.com)

Khatimah

Telah sangat jelas, ide Islam moderat merupakan bentukan Barat yang justru hendak menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus. Lebih jauh dari itu, musuh-musuh Islam ini dengan sengaja mengotak-ngotakkan umat Islam untuk mengadu domba umat Islam.

Lalu, bagaimana mungkin pemikiran ini bisa memunculkan persatuan umat? Alih-alih bisa membawa umat kepada persatuan, justru yang terjadi umat jadi berpecah belah. Oleh sebab itu, upaya yang harus dilakukan umat Islam saat ini adalah membendung pemikiran Islam moderat hingga ke akarnya dan membuangnya jauh-jauh.

Benar bahwa masyarakat Islam di masa Rasulullah saw. adalah masyarakat yang plural, beragam. Akan tetapi, Rasulullah mampu mempersatukan mereka dengan akidah Islam dan hukum-hukum Islam. Karenanya, persatuan umat Islam hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah, bukan Islam moderat.

Sistem pemerintahan Islam sajalah—yang diperintahkan Allah Swt. dan dicontohkan Rasulullah Muhammad saw.—yang mampu mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang memerintah secara sentralisasi, menerapkan syariat Islam, melakukan aktivitas dakwah di tengah-tengah umat, serta menerapkan hukum yang sama di seluruh negeri, yang tidak disekat-sekat dengan batas-batas wilayah. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *