Makna Kepemimpinan Suami dalam Rumah Tangga (Makna Qawwam)
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, lantaran terhadap apa yang telah dilebihkan Allah sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan terhadap apa-apa yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-hartanya.” (QS An-Nisa 4: 34)
Penulis: Najmah Saiidah
MuslimahNews.com, KELUARGA — Tidak dapat dimungkiri, masih banyak pihak yang memperdebatkan ayat di atas. Di satu sisi, ayat ini dipandang bahwa Islam menomorduakan perempuan dan menganggapnya warga negara kelas dua.
Di sisi lain berpendapat bahwa memang laki-laki adalah pemimpin perempuan, yang tidak berarti bahwa laki-laki berhak semena-mena terhadap istrinya.
Lalu, apa sebenarnya makna “qawwam” dalam pandangan Islam? Tulisan ini akan menjelaskan lebih dalam mengenai makna qawwam dan meluruskan pemahaman yang keliru di tengah-tengah masyarakat mengenai qawwam ini.
Tafsir Ayat tentang Qawwam (QS an-Nisa: 34)
Ada beberapa penafsiran terhadap surah an-Nisa ayat 34 ini. Kaum feminis memandang paham yang menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga itu tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme—yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan—, baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Sebagai konsekuensi dari konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan, maka dalam sebuah rumah tangga, status istri setara dengan status suami.
Adapun pendapat “feminis muslim” tentang konsep kepemimpinan atas perempuan, khususnya dalam memberi makna qawwam/pemimpin, hanya dalam konteks kehidupan rumah tangga saja.
Namun dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan memiliki peluang yang sama dengan kaum laki-laki untuk bersama-sama berkiprah menggali potensinya.
Alasan yang mereka kemukakan adalah karena tidak ada nas Al-Qur’an maupun hadis yang melarangnya secara khusus.
Terakhir, pendapat para mufasir tentang konsep kepemimpinan atas perempuan adalah laki-laki merupakan penanggung jawab/pemimpin atas perempuan karena berdasarkan dua hal, yaitu:
(1) laki-laki dijadikan lebih dari perempuan secara kodrati untuk melakukan pekerjaan di luar rumah dan (2) laki-laki dibebani kewajiban memberikan nafkah kepada keluarganya.
Makna Qawwam
“Qawwamuna” adalah bentuk jamak dari kata “qawwam” yang diambil dari kata “qaama”. Kata ini satu sama lain saling berkaitan.
Seperti halnya perintah salat menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah untuk mendirikan salat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunah-sunahnya.
Seorang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai “Qaim”. Jika dia melaksanakan tugas dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang, maka dinamakan “Qawwam”.
Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, yakni “qawwamuna” yang sejalan dengan makna “ar-rajul” yang berarti “banyak lelaki”. Sering kali kata ini diartikan sebagai pemimpin.
Al-Maraghi menjelaskan makna “qawwam” di sini adalah keutamaan laki-laki daripada perempuan.
Di antara keutamaan tersebut adalah pertama, “fitrawiyun” yang menunjukkan kepada kekuatan laki-laki dan kesempurnaan bentuk yang diikuti dengan kemampuan akal dalam berpikir laki-laki itu lebih kuat dibandingkan perempuan.
Sehingga, mereka (laki-laki) dapat berpikir dengan sehat dalam memulai suatu urusan dan dapat menanganinya dengan tenang.
Kedua, “kasabiyyun” yang berarti kemampuan laki-laki dalam bekerja dan menangani urusan-urusan. Oleh karena itu, laki-laki (suami) memiliki beban untuk memberi nafkah terhadap istri dan berfungsi sebagai kepala keluarga.
Hal serupa juga diungkapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa” adalah laki-laki itu pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik bagi perempuan kala mereka menyimpang.
“Bima fadhalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin” adalah karena laki-laki itu lebih utama daripada perempuan dan laki-laki lebih baik daripada perempuan, maka kenabian pun dikhususkan kepada laki-laki.
Begitu pula kepala negara, kehakiman, dan lain-lain. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin dalam urusan mereka.” (HR Bukhari)
Imam Abu Jakfar ath-Thabari berkata,
“Maksud ayat ini adalah bahwa lelaki merupakan pelindung (pemimpin) bagi kaum perempuan dalam mendidik dan mengajak mereka kepada apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt. kepada mereka.
Hal itu dikarenakan kelebihan yang telah diberikan kepada laki-laki atas perempuan, dari mahar, nafkah, biaya rumah tangga, dan yang lainnya.
Itu merupakan kelebihan yang telah Allah Swt. anugerahkan kepada laki-laki. Sehingga mereka menjadi qawwam (pemimpin) bagi kaum perempuan, yakni pelaksana (pengemban) tugas dari Allah SWT untuk kaum perempuan.”
Ibnu Abbas ra. ketika menafsirkan ayat ini berkata,
“Makna ayat ini bahwa laki-laki adalah umara’ (pemimpin) bagi kaum perempuan, dan perempuan diwajibkan untuk menaati suaminya pada perkara yang telah Allah perintahkan kepada mereka.
Menaati suami adalah dengan berbuat baik kepadanya menjaga hartanya, serta memuliakan suami atas nafkah dan penghidupan yang telah diberikannya kepada istri karena Allah SWT telah melebihkan suami dengan itu.”
Imam adh-Dhahak berkata,
“Ayat ini bermakna bahwa lelaki adalah pemimpin baik kaum perempuan. Mereka memerintahkan kepada para istri untuk menaati Allah. Jika mereka enggan untuk menaatinya, maka kaum laki-laki boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (membuat cacat), dan Allah Swt. telah melebihkan laki-laki atas perempuan lantaran nafkah dan penghidupan yang diberikannya kepada mereka.”
Suami sebagai Pemimpin dalam Rumah Tangga
Laki-laki dikatakan sebagai qawwam yang merupakan shighah mubalaghah, diambil dari kata qiyam. Kata ini berarti berdiri atas sesuatu dan menjaganya. Jadi, laki-laki mempunyai kelebihan dengan tanggung jawab untuk menjaga, menafkahi, mendidik dan memelihara istri-istrinya.
Hal ini dengan sebab sesuatu yang telah Allah utamakan satu di antara yang lain. Allah menggunakan kalimat “ba’dhahum ‘ala ba’dhin”, tidak menggunakan dengan kata yang lain, misalnya “bima fadhala ar-rijaalu ‘ala an-nisaa”.
Di sinilah letak ketinggian balaghah atau sastra Al-Qur’an. Kalimat itu memberikan makna bahwa kebaikan atau kelebihan itu dimaksudkan untuk kebaikan dan maslahah kedua belah pihak.
Maka, di sini sedikit pun tidak tersirat mendiskriminasikan atau merendahkan perempuan karena suami sama dengan istri, dan sebaliknya.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya perempuan itu saudara kandung dari laki-laki.” (HR Abu Daud). Jadi, laki-laki dan perempuan dalam keluarga itu saling melengkapi, bukan saling menuntut.
Jika saling menuntut, maka itu bertentangan dengan surah ar-Rum: 21, karena tujuan berkeluarga itu adalah untuk menciptakan mawaddah dan rahmah, dan itu tidak akan terwujud jika keduanya saling menuntut.
Allah membebankan tanggung jawab kepada laki-laki, Allah jadikan laki-laki sebagai qawwam, yang bisa diartikan “meluruskan”, yakni laki-laki bertugas menjaga seluruh kepentingan istrinya, baik di dunia maupun akhirat.
Maka dalam surah at-Tahrim ayat 6 disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Baiknya akhlak istri atau keluarga itu menjadi tanggung jawab utama laki-laki.
Karenanya suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya.
Gambaran Riil Tugas Qawwam Suami
Suami adalah nakhoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah Swt. telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan Rasulullah saw., “Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (Sahih, HR Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).
Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku, dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang.
Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, tetapi ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling.
Sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah Swt. sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia, “Karena disebabkan rahmat Allahlah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali Imran [3]: 159)
Dalam kalam-Nya, Allah Swt. juga memerintahkan seorang suami untuk menyikapi istrinya dengan cara yang baik.
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS an-Nisa [4]: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan,
“Yakni, perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka (engkau) semestinya juga berbuat hal yang sama.”
Allah Swt. berfirman dalam hal ini, “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS al-Baqarah [2]: 228)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”
Termasuk akhlak Rasulullah saw., beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah, serta tertawa bersama istri-istrinya.
Sampai-sampai beliau pernah mengajak Aisyah Ummul Mukminin berlomba untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Dengan adanya tuntunan Rasulullah saw. ini, seyogianya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan anggota keluarganya yang lain.
Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.
Allah Swt. berfirman, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian.” (QS Ar-Rum: 21)
Allah Swt. juga berfirman, “Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (QS al-A’raf: 189) [MNews/Juan]