Fikih

Perlakuan Khilafah terhadap Nonmuslim dalam Hal Makanan dan Pakaian


Oleh: asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


MuslimahNews.com, FIKIH — Pertanyaan saya tentang MasyruadDustur pasal 7 ayat 4 atau D edisi terjemahan bahasa Inggris edisi II tahun 2010. Di situ dinyatakan: nonmuslim akan diperlakukan dalam perkara makanan dan pakaian menurut agama mereka dalam cakupan apa yang diperbolehkan oleh hukum syara’.

Pertanyaan saya adalah tentang pakaian, apakah untuk wanita nonmuslim diperbolehkan mengenakan pakaian dengan syarat menutupi tubuh mereka dan tidak menarik perhatian seperti pakaian panjang atau celana panjang dengan baju, ataukah diminta dari mereka untuk mengenakan jilbab dan kerudung seperti wanita muslim?

Dan bagaimana pengaturan pakaian wanita nonmuslim dalam sejarah Islam? Apakah diperkenankan mereka mengenakan apa yang mereka inginkan atau mereka dipaksa mengenakan pakaian islami? (Adnan Khan dari Inggris)

Jawab:

Ayat D dari pasal 7 yang Anda tanyakan, teksnya adalah: “Nonmuslim diperlakukan dalam perkara makanan dan pakaian menurut agama mereka dalam cakupan apa yang diperbolehkan oleh hukum-hukum syariat.” Anda menanyakan tentang pakaian.

Poin yang disebutkan itu telah menentukan dua batasan untuk pakaian:

Batasan pertama, menurut agama mereka. Jadi diperkenankan untuk mereka pakaian sesuai agama mereka. Pakaian sesuai agama mereka adalah pakaian agamawan mereka dan agamawan wanita mereka, yakni pakaian rahib, pendeta, dan pakaian rahib wanita.

Baca juga:  SKB Tiga Menteri, Indonesia Darurat Sekularisme!

Ini adalah pakaian yang disetujui dalam agama mereka. Maka, laki-laki dan wanita mereka boleh mengenakan pakaian ini. Ini berkaitan dengan batasan pertama.

Batasan kedua, “Apa yang diperbolehkan oleh hukum-hukum syara’. Yaitu hukum-hukum kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, untuk laki-laki dan wanita. Jadi pengecualian adalah untuk pakaian sesuai agama mereka.

Adapun selain pakaian agama mereka, diberlakukan atasnya hukum-hukum syara’ dalam kehidupan umum. Ini untuk laki-laki dan wanita.

Pakaian ini dijelaskan secara terperinci di Nizham al-Ijtima’iy. Hal itu berlaku atas seluruh individu rakyat, muslim, dan nonmuslim. Tidak dikecualikan untuk nonmuslim kecuali pakaian sesuai agama mereka seperti yang telah kami sebutkan di atas.

Sedangkan selain itu, maka wajib menutup aurat dan tidak ber-tabarruj, dan mengenakan jilbab dan kerudung. Karena celana panjang termasuk tabarruj, tidak boleh bagi wanita mengenakannya dalam kehidupan umum, hingga meski itu menutup aurat.

Adapun tentang fakta sejarah, sepanjang masa Khilafah, para wanita baik muslim maupun nonmuslim, mereka mengenakan jilbab, yakni pakaian yang luas di atas pakaian dalam dan mereka menutupi kepala mereka. Sebagian kampung yang di situ ada muslimah dan wanita nonmuslim, pakaian mereka tidak bisa dibedakan, hingga setelah hancurnya Khilafah.

Baca juga:  Hijab Seragam Disoal, Pelarangan Jilbab Dibiarkan, Intoleransi Milik Siapa?

Pengaruh hal itu masih ada sampai pada batas tertentu. Seandainya Anda tanya wanita yang berusia lanjut di atas tujuh puluh tahun dan delapan puluh, niscaya mereka mengatakan kepada Anda tentang kesaksian mereka untuk sebagian kampung di Palestina, bagaimana mereka melihat para wanita Nasrani dan muslimah dalam pakaian yang serupa di kampung-kampung itu.

Saya berharap hal itu telah mencukupi sebagai jawaban atas pertanyaan Anda. [MNews/Rgl]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *