Fokus

Tarif Jalan Tol, Kemitraan Pemerintah Swasta Vs Khilafah

Oleh: Iffatul Insani

MuslimahNews.com, OPINI — Masyarakat kembali dihadapkan berbagai macam kenaikan harga, tak terkecuali kenaikan tarif tol. Memasuki awal tahun ini, beberapa ruas tol mengalami kenaikan, di mana yang paling baru adalah ruas tol lingkar luar Bogor (Bogor Outer Ring Road/BORR) yang naik pada 30/1/2021.

Kepala Bagian Umum Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Mahbullah Nurdin mengatakan, kenaikan atau penyesuaian tarif jalan tol secara bersamaan karena waktu jatuh tempo yang berdekatan (okezone.com, 29/1/2021). Kenaikan tarif jalan tol kali ini bervariasi, mulai 5 hingga 40 persen.

Kenaikan tarif jalan tol setiap dua tahun sekali memang telah dijamin undang-undang. Pengelola tol diberikan kesempatan untuk mengajukan penyesuaian tarif setiap dua tahun sekali sesuai dengan ketetapan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

Pengajuan penyesuaian ini dilakukan dengan catatan pengelola tol harus memenuhi evaluasi standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan Kementerian PUPR.

Penetapan SPM sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014, mulai dari kondisi jalan tolnya, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, keselamatan, unit pertolongan, dan lain sebagainya.

Meski telah dijamin undang-undang, kenaikan tarif tol di tengah kondisi pandemi Covid-19 jelas sebuah kebijakan zalim, di mana masyarakat sebagian besar mengalami dampak luar biasa.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang menilai kenaikan secara umum memang dilihat tidak laik, “Karena perhatian kita masih bergelut dengan pandemi, tapi mengapa tol malah justru dinaikkan?”

Sementara, Perkumpulan Perusahaan Multimoda Transport Indonesia (PPMTI) keberatan dengan penaikan tarif tol yang terjadi pada masa pandemi. Sekjen PPMTI Kyatmaja Lookman merasa kebijakan penaikan tarif tol dilakukan pada saat yang tidak tepat karena Indonesia masih berada dalam krisis akibat pandemi Covid-19.

Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga Dwimawan Heru berdalih, kenaikan tarif tol dilakukan sebagai wujud kepastian pengembalian investasi sesuai business plan dan membangun iklim investasi jalan tol yang kondusif.

“Jadi, pemenuhan perjanjian pengusahaan Jalan Tol sebagai suatu kerja sama pemerintah dengan badan usaha, pemenuhan SPM, peningkatan pelayanan hingga mendukung mobilitas logistik,” dalihnya.

Sedangkan Kepala Bagian Umum Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Mahbullah Nurdin mengatakan, dampak pandemi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat saja, melainkan hampir semua aspek termasuk Badan Usaha Jalan Tol yang juga terkena imbas pandemi.

Kebijakan yang Tidak Adil

Bagaimanapun, kenaikan tarif jalan tol apalagi di tengah pandemi adalah sebuah kezaliman dan tidak adil. Pemerintah seolah hanya memperhatikan kepentingan bisnis pengusaha jalan tol saja tanpa peduli kesulitan yang dihadapi masyarakat.

Baca juga:  "Geber" Pembangunan Jalan Tol: Cerminan Kezaliman Rezim Demokrasi dan Kerusakan Sistem Sekuler

Apalagi selama ini pengusaha jalan tol tidak sepenuhnya memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan pemerintah sebagai syarat naiknya tarif tol. Pelayanan yang diberikan selama ini dinilai masih jauh di bawah SPM.

Berbagai persoalan yang membebani pengguna jalan tol hingga saat ini juga masih berlanjut, seperti masih sering dijumpai lubang di sana-sini, minim penerangan, atau genangan air yang sangat membahayakan keselamatan.

Selain itu, antrean panjang di pintu tol dan kemacetan—yang sama dengan jalan tak berbayar—bahkan lebih parah, masih sering kita temukan.

Lahan untuk Mencari Untung

Kenaikan tarif jalan tol telah diatur dan dilegalkan Undang-Undang (UU) 38 Tahun 2004 pasal 48 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2005, khususnya pasal 68 yang mengatur soal evaluasi dan penyesuaian tarif tol yang dilakukan setiap 2 tahun sekali.

Jelas terlihat kebijakan ini tidak terlepas dari tata kelola jalan yang kapitalistik, yaitu menjadikan Public Private Partnership (Kemitraan Pemerintah dan Swasta, KPS) sebagai modelnya.

Yang tak kalah menariknya, pola KPS ini tidak hanya diberlakukan antara pemerintah dengan perusahaan swasta murni, tetapi juga terjadi antara pemerintah dengan perusahaan milik negara.

Sebagaimana diketahui, PT Jasa Marga Tbk. yang mengelola sebagian besar jalan tol merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun sekalipun milik negara, tetapi persis sama dengan perusahaan swasta, bisnis menjadi orientasi utama, bukan pelayanan. Pada tataran inilah kerangka kemitraan pemerintah swasta memiliki ruang dalam tata kelola jalan tol.

Pemerintah bekerja sama dengan PT Jasa Marga Tbk. dengan bingkai konsesi, yaitu salah satu varian dari model KPS. Pemerintah memilih kontraktor swasta untuk bertanggung jawab penuh memberikan pelayanan infrastruktur pada wilayah tertentu.

Sesuai konsesi, pihak swasta dalam hal ini PT Jasa Marga bertindak sebagai operator (pemeliharaan dan manajemen), sementara peran pemerintah tidak lebih sebagai regulator.

Pembiayaan investasi pada konsensus diambil dari tarif yang dibayarkan pengguna, sehingga aspek bisnis sangat menonjol. Akibatnya, sekalipun tarif jalan tol ditetapkan berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, namun aspek komersial/keuntungan tetap lebih menonjol. Yang mana kelayakan investasi dan Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan (BKBOK) dan setiap dua tahun terjadi kenaikan tarif disesuaikan dengan inflasi.

Sebuah keprihatinan mendalam, jalan yang sejatinya merupakan urat nadi transportasi yang sangat dibutuhkan setiap orang, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dalam pengadaannya sesuai kebutuhan masyarakat, justru dijadikan lahan untuk mencari untung oleh negara .

Baca juga:  Proyek Mubazir, Mengkhianati Amanat Rakyat

Betapa tidak? PT Jasa Marga (Persero) Tbk. pada 2019 telah mencatatkan laba sebesar Rp10,98 triliun, tumbuh 12,26% dari tahun 2018. Bahkan Meski dihantam badai pandemi, hingga kuartal III 2020 perusahaan milik negara ini tetap meraih laba sebesar Rp6,8 triliun.

Tidak cukup sampai di situ, bukannya berhenti dengan model KPS, pada APEC CEO Summit—menurut Menteri Keuangan baru-baru ini, Indonesia telah “ditasbihkan” sebagai model KPS di kawasan Asia-Pasifik.

Karena itu, dapat dipastikan model KPS juga akan dijadikan bingkai pembangunan jalan Tol Trans-Sumatra dan Trans Jawa. Jalan Tol Trans-Sumatra sepanjang 2.700 km yang menghubungkan Lampung dengan Aceh menelan dana sebesar Rp476 triliun dan diperkirakan sempurna dioperasikan pada 2024.

Sementara menurut data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) total biaya yang digunakan dalam pembangunan jalan Tol Trans-Jawa sepanjang 1167 km mencapai Rp582 triliun untuk semua pembangunan sepanjang 51 ruas.

Akibat Tata Kelola Kapitalistik

Bila dicermati, realitas ini adalah hal yang niscaya dari sistem politik demokrasi kapitalistik. Dalam kaca mata kapitalis, negara tidak ubahnya seperti korporasi besar di mana pemerintah berperan sebagai salesperson—sebagaimana diakui sendiri oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan peserta APEC CEO Summit 2013 di Nusa Dua, Bali.

Tidak heran jika hubungan penguasa dengan rakyat tidak ubahnya antara produsen dan konsumen yang mengedepankan aspek bisnis dan kering dari pelayanan.

Penggalakan pembangunan jalan tol ini akan semakin menguat dengan ditunjuknya Indonesia sebagai proyek percontohan untuk pembangunan infrastruktur, skema public private partnership (PPP Center) di kawasan Asia-Pasifik.

Bahkan salah satu agenda utama pada pertemuan KTT APEC tahun 2013 yang diselenggarakan di Bali fokus pada isu konektivitas fisik pengembangan dan investasi infrastruktur. Indonesia, menganggap APEC-CEO Summit 2013 merupakan peluang strategis untuk mendorong sejumlah pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan khususnya dalam skema MP3EI.

Secara total, kebutuhan pembangunan infrastruktur dalam MP3EI mencapai Rp2.304 triliun. Demi mengakomodasi kebutuhan investasi pembangunan infrastruktur, sejumlah insentif ditawarkan kepada swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur termasuk skema kerja sama KPS .

Tidak sampai di situ, untuk menarik minat swasta (sejatinya kadang bagian pemerintah juga) untuk berinvestasi di bidang infrastruktur pemerintah telah melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang dianggap tidak market friendly, baik itu berbentuk Undang-Undang maupun Perda, termasuk aturan pelaksanaannya.

Baca juga:  Tol Layang dan Harapan Rakyat yang Melayang

Sesungguhnya pengelolaan infrastruktur jalan dengan pola KPS tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat banyak justru mereka akan menanggung dampak negatifnya berupa biaya transportasi semakin mahal dan harga-harga barang semakin tak terjangkau.

Semakin memperjelas bahwa sistem demokrasi kapitalis telah berlepas tangan terhadap riayah umat. Di samping itu, dengan konektivitas antardaerah yang relatif lebih baik, liberalisasi terhadap sumber daya alam Indonesia juga makin terbuka lebar.

Semua kebijakan batil pada pengelolaan jalan tol tidak terlepas dari sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis hari ini. Fungsi pemerintah diamputasi menjadi sebatas regulator (pembuat aturan), sementara sebagai operator (pelaksana) diserahkan pada perusahaan bisnis.

Tata Kelola Jalan Tol Khilafah: Berkualitas dan Gratis

Pada faktanya, jalan merupakan fasilitas umum, yaitu suatu fasilitas yang jika tidak ada dalam suatu negara atau komunitas, akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya karena kepentingan manusia secara umum.

Dengan kata lain, segala benda apa pun yang jika tidak terpenuhi dalam satu komunitas, menjadikan mereka bersengketa dalam mendapatkannya dipandang sebagai fasilitas umum yang haram dikuasai atau diperjualbelikan.

Dalam pandangan Islam, pemerintah beserta aparatnya adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan fasilitas umum termasuk jalan. Tanggung jawab ini bersifat penuh, tidak boleh asal terselenggara yang bisa mengakibatkan fungsi dan wewenang penguasa/negara tereduksi dan berpindah pada swasta, atau yang lain.

Apa pun alasannya, negara tidak dibenarkan dibatasi fungsi dan tanggung jawabnya sebatas regulator dan fasilitator saja, dan peran penyelenggaran diserahkan pada swasta, atau yang lain. Yang demikian karena Allah SWT telah membebankan tanggung jawab penting lagi mulia ini di pundak negara (Khalifah).

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Sementara itu, pelalaian sedikit saja amanah mulia ini akan berakibat pada kemudaratan yang dibenci Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw.

Tidak boleh membuat mudarat (bahaya) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat mudarat pada orang lain.(HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Terkait fungsinya sebagai raa’in (pelayan masyarakat), penguasa adalah pihak yang paling tidak boleh mengakibatkan kemudaratan terhadap rakyat. Adapun jika pemerintah berkepentingan mengontrak swasta untuk kepentingan tertentu yang mendesak, aktivitas ini tidak sampai memandulkan atau mereduksi fungsi, wewenang, dan tanggung jawab negara/Khalifah, sebagaimana yang terjadi pada kebijakan KPS. [MNews/Gz]

3 komentar pada “Tarif Jalan Tol, Kemitraan Pemerintah Swasta Vs Khilafah

  • Akibat pengaturan kapitalis dalam pengelolaan fasilitas rakyat ,efeknya semuanya komersil sehingga menyulitkan rakyat dalam mendapatkan fasilitas publik .

    Balas
  • Linda Nia Safitri

    Back to Islam kaffah

    Balas
  • kapitalisme tidak menjadikat rakyat terpelihara dan tersejahterahkan. malah menajdikan rakyat sebagai konsumen

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *