Incar Dana Wakaf Demi Ekonomi Negara
“Sebutan Negara Paling Dermawan di Dunia pun digembar-gemborkan.”
Oleh: Rindyanti Septiana. S.H.I.
MuslimahNews.com, OPINI — Ternyata, besarnya populasi muslim di Indonesia menyimpan potensi besar bagi negara. Hal itu dinilai Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin yang menyebut potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar yakni mencapai Rp180 triliun per tahun.
Hal senada disampaikan Kementerian Keuangan Sri Mulyani. Ia bahkan memaparkan potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp217 triliun. Angka itu setara dengan 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). (cnnindonesia.com, 31/10/2020)
“Apabila wakaf dalam bentuk aset lain, masih memiliki kemungkinan hanya dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, kebajikan, dan peribadatan. Wakaf uang pemanfaatannya harus melalui kegiatan pengembangan ekonomi produktif,” kata Ma’ruf. (viva.co. id, 22/1/2021)
Ia begitu optimis untuk mengembangkan dana wakaf sebab menganggap tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia yang cukup tinggi. Ma’ruf mengutip soal label Indonesia sebagai Negara Paling Dermawan di dunia.
Pada 2018 badan amal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF), dalam laporannya tentang CAF World Giving Index per Oktober 2018, Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara paling dermawan di dunia dari 144 negara. (ekonomi.kompas.com, 21/11/2018)
Maka, ia menganggap butuh upaya serius untuk mengoptimalkan potensi wakaf masyarakat Indonesia untuk menopang ekonomi negara.
Menurut Kemenkeu, literasi wakaf di Indonesia masih sangat rendah, yakni 54,48 persen. Realisasi itu masih lebih rendah dari pemahaman masyarakat mengenai zakat yang mencapai 66, 68 persen. Sehingga, sangat penting mengoptimalkan dana wakaf, apalagi pemerintah butuh uang banyak untuk mengatasi virus corona.
Incar Dana Wakaf untuk Kepentingan Siapa?
Sudah diketahui bersama, keuangan negara tertekan akibat anjloknya penerimaan pajak, sementara pemerintah butuh dana jumbo untuk menangani dampak pandemi di negeri ini. Salah satu solusinya, pemerintah mendorong masyarakat untuk berwakaf.
Maka, apakah terlihat pemerintah seperti memanfaatkan wakaf demi keuntungan negara? Sementara, potensi negeri dengan besarnya populasi muslim ini, tidak diarahkan untuk penerapan syariat Islam yang tentu akan menguatkan perekonomian negara bukan hanya melalui wakaf.
Pakar Ekonomi Syariah Syakir Sula mengatakan dana wakaf punya potensi cukup besar untuk menopang ekonomi Indonesia. Khususnya membantu negara dalam menghadapi tekanan ekonomi di tengah pandemi. Hal itu terlihat dari instrumen sukuk wakaf ritel yang baru diterbitkan pemerintah. (cnnindonesia.com, 31/1/2020)
Memang benar bahwa ada peluang dari potensi umat Islam lewat dana wakaf. Tapi memanfaatkan kedermawanan umat Islam guna mengambil keuntungan atasnya, tentu menunjukkan kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyatnya.
Seharusnya, negara yang bertanggung jawab sejahterakan rakyat, bukan sebaliknya rakyat yang diminta menopang perekonomian negara.
Sungguh peran dan fungsi negara dalam sistem demokrasi kapitalis sudah berbolak-balik. Apalagi kita sering mendengar ungkapan, “Jangan bertanya apa yang telah diberikan negara untuk Anda, tapi tanyakan pada diri Anda, apa yang telah diberikan untuk negara?”
Kalimat ini seolah menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk memanfaatkan segala kondisi demi kepentingan mereka.
Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia pun digembar-gemborkan untuk mendapatkan perhatian umat agar berwakaf. Tapi, pemerintah tak menyadari fungsinya sebagai penanggung jawab utama memperbaiki ekonomi negara.
Disebut sebagai negara paling dermawan di dunia sampai-sampai penguasanya menyerahkan semua SDA untuk dikelola asing maksudnya? Kenyataannya, itulah yang terjadi.
SDA Dibiarkan Dinikmati Asing, Rakyat Didorong Berwakaf
Dengan modal kekayaan alam yang tiada terkira, bangsa Indonesia diharapkan bisa menjadi negara yang maju dan sejahtera. Faktanya, kekayaan sumber daya negeri ini banyak dikuasai asing sehingga tidak berimbas pada peningkatan taraf hidup rakyatnya. Lebih anehnya lagi, penguasa negerinya pernah menyatakan bahwa SDA tidak menjamin kesejahteraan bangsa.
Di luar nalar bukan? Tapi bisa jadi benar, karena kekayaan SDA yang berlimpah tidak akan berkah dan menyejahterakan rakyat jika dikelola penguasa yang tidak amanah dan bertakwa pada Allah SWT.
Penguasa amanah dan bertakwa tentu akan mengoptimalkan segala kekayaan SDA untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Menjamin setiap perut rakyat terisi dan tidak ditemukan satu pun rakyat mengalami kelaparan.
Kenyataannya saat ini, mayoritas penduduk Indonesia miskin dan 40 juta penduduknya berada di bawah garis kemiskinan absolut. Sementara itu, penduduk pendatang—yang bukan dari rakyatnya sendiri (kelompok Cina)—menguasai 80 persen aset ekonomi Indonesia.
Wajar publik bertanya-tanya, di mana tanggung jawab penguasa negara menjaga kekayaan SDA yang dimilikinya? Malah menyibukkan rakyat untuk berwakaf demi topang ekonomi negara.
Apakah dengan kekayaan yang ada, rakyat tidak berhak menikmatinya dan merelakan pihak asing untuk mengelolanya? Kalau saja SDA dikelola dengan baik, potensi pendapatan yang masuk ke kas negara bisa mencapai 20.000 triliun.
Mendiamkan SDA dinikmati asing lalu mendorong rakyat berwakaf demi ekonomi negara, bukankah ini kebijakan yang keliru?
Wakaf Amalan Utama, Penguasa Kapitalis Memanfaatkannya
Wakaf menurut ulama adalah bentuk sedekah yang dinyatakan dan digambarkan di dalam Hadis Nabi Saw., yaitu sedekah jariah. Pahala wakaf akan terus menglir kepada pelakunya meski ia telah wafat.
Rasul Saw. bersabda, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga, sedekah jariah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan dirinya.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
Para Sahabat Nabi Saw. pun mencontohkannya, sebagai generasi gemar sedekah dan banyak berwakaf. Jabir ra. menuturkan, tidak seorang pun dari Sahabat Nabi Saw. yang memiliki kemampuan kecuali ia mewakafkan hartanya. (Ibrahim ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Muflih, Al-Mubdi’, 6/312).
Setiap muslim tentu menyadari, saat mereka berwakaf, tentu ditujukan meraih rida-Nya, apalagi dalam Islam dikatakan sebagai salah satu amalan yang utama.
Tapi, ketika penguasa mendorong umatnya berwakaf sebagai cara untuk tutupi kegagalan mereka menyejahterakan rakyat, ini apa namanya?
Di tengah karut-marutnya ekonomi rakyat sebab hantaman pandemi yang luar bisa, janganlah lagi rakyat “dimanfaatkan”.
Jalan keluar untuk memperbaiki ekonomi negeri ini sebenarnya sudah sering disampaikan berbagai pengamat ekonomi. Yakni hentikan penerapan sistem ekonomi kapitalis, ganti dengan sistem ekonomi Islam yang tahan banting dalam setiap keadaan.
Namun, keberadaan sistem ekonomi Islam tidak bisa diterapkan tanpa Khilafah sebagai institusi negara satu-satunya dalam Islam. Dibutuhkan perjuangan dari seluruh elemen umat Islam untuk kembali menegakkannya.
Insyaallah, umat bukan hanya didorong berwakaf, melainkan dana wakaf akan dikelola dengan amanah. Ekonomi negara menjadi kuat, kekayaan SDA pun dikelola dengan baik semata untuk menyejahterakan rakyat.
Pengelolaan Wakaf dalam Kepemimpinan Islam
Pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul malik (724-743 M), Kekhilafahan Umayyah, Taubah bin Ghar al-Hadhramiy merupakan hakim di Mesir menjadi perintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim.
Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya. Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, biasa disebut dengan “hakimnya para hakim”.
Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman.
Keberadaan Lembaga wakaf ini juga diteruskan pada pemerintahan Abbasiyah. Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberi nama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu.
Pada masa pemerintahan Mamluk, apa pun yang dapat diambil manfaatnya, boleh diwakafkan. Akan tetapi, paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.
Pengelolaan wakaf dalam Islam ditujukan untuk kemudahan rakyat serta meraih rida Allah SWT, di samping penguasanya mengurusi rakyat dengan menjamin segala kebutuhan hidup mereka. Bukan malah memanfaatkan rakyat untuk mengambil keuntungan.
Tak sedikit juga para Khalifah yang mewakafkan hartanya di jalan Allah, bahkan dikenal umat sebagai sosok yang sangat dermawan. Inilah bukti nyata kepemimpinan Islam membawa berkah dan menyejahterakan rakyat karena menerapkan seluruh syariat-Nya. [MNews/Gz]
Ambil wakafnya terapkan syariah lainnya secara kaffah..
Maasyaa Allah
Pemimpin dalm islam akan memperhatiakan rakyat nya ,,di dlam sistem kapitalisme akan menumpuk harta unk keluarga
Astaghfirullah.,… dasar sistem kapitalisme bukannya menyejahterahkan rakyat malah memanfaatkan rakyat demi mengambil keuntungan