FokusTsaqafah

Hukum Perempuan Bergabung dalam Jemaah Dakwah

Oleh: Najmah Saiidah

MuslimahNews.com, FOKUS TSAQAFAH — Dakwah merupakan hal penting dari berbagai hal penting lainnya yang sangat diperhatikan Islam. Walau kadang masih saja ada yang salah paham terhadap hal ini, terlebih jika dikaitkan dengan masalah perempuan.

Masih ada yang berpendapat perempuan tidak wajib berdakwah, serta tidak harus bergabung dalam jemaah dakwah tetapi harus fokus pada aktivitas domestiknya. Lalu, bagaimana Islam mengaturnya?

Kelompok Dakwah Rasul, Rujukan Kaum Muslimin

Sirah Nabi saw. telah mengajarkan kepada kita metode (thariqah) dakwah yang sangat jelas dalam rangka menegakkan Islam. Metode itulah yang harus ditempuh sebagai kewajiban dari Allah SWT.

Dakwahnya dimulai dengan menyeru manusia secara individu untuk menerima Islam dan turut berdakwah, setelah itu mereka dihimpun dalam jemaah, melakukan dakwah berkelompok yang terorganisasi dengan baik.

Nabi Muhammad saw. merupakan sel pertama, mengajak istri tercintanya Khadijah ra. untuk memeluk Islam dan menjadi sel kedua. Lalu, Nabi saw. pun mengajak teman baiknya, Abu Bakar ra. untuk memeluk Islam. Begitu seterusnya, sampai sel-sel berkembang, lalu dihimpun dalam sebuah halqah.

Kemudian, melalui Abu Bakar beberapa orang Quraisy masuk Islam. Terbentuklah halqah kedua, ketiga, dan seterusnya. Mereka dibina intensif oleh Nabi saw. dan kebanyakan mereka dari kalangan pemuda.

Mereka mengimani Rasulullah, menaatinya, dan menekuni dakwah bersamanya. Ketika tsaqafah para Sahabat sudah matang, sudah terbentuk kepribadian Islam, dalam kurun tiga tahun, Rasulullah saw. merasa tenang.

Beliau menyaksikan kesadaran mereka akan hubungan mereka dengan Allah tampak berpengaruh dalam perilaku mereka. Ketika itu, Allah memerintahkannya untuk menampakkan dakwah Islam dengan terang-terangan.

Sejak turunnya QS al-Hijr: 94, mulailah tahapan dakwah Nabi saw. beralih dari tahapan yang bersifat rahasia menuju tahapan menyeru umat secara terang-terangan dengan menampakkan keberadaan jemaah dakwah.

Rasulullah saw. berperan sebagai pemimpin kelompok dakwah. Mula-mula Rasul saw. menampakkan keberadaan kutlah yang beliau kader ke tengah masyarakat. Untuk strategi ini, Nabi saw. mengorganisasi sahabat dalam dua kelompok yang dipimpin Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin al-Khaththab.

Kedua kelompok ini menampakkan diri dengan berbaris berjalan menuju Ka’bah lalu tawaf bersama-sama (al-Nabhani, Ad-daulah Al-Islamiyyah, 2009).

Menyaksikan keberadaan jemaah dakwah Nabi, pimpinan Quraisy mulai merasakan adanya ancaman. Terlebih lagi setelah jemaah dakwah ini melakukan aktivitas pertarungan pemikiran ke tengah-tengah masyarakat jahiliah, membongkar kepalsuan ajaran nenek moyang jahiliah beserta sistem hidup mereka.

Bahkan Allah menurunkan wahyu untuk menunjukkan kesesatan mereka.

“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS alAmbiya [21]: 98)

Kemudian menyampaikan kebenaran ajaran Islam beserta sistem-sistemnya yang layak menjadi aturan hidup manusia. Bukan hanya itu, Nabi saw. pun diperintahkan Allah untuk membongkar kedok para pemimpin jahiliah dengan menurunkan surah Al-Lahab ayat 1-5.

Sebagai reaksi atas pertarungan pemikiran yang dilancarkan Nabi bersama kelompok dakwahnya, Arab Quraisy melakukan penghinaan, pelecehan, dan serangan fisik, bahkan pembunuhan anggota kelompok dakwah.

Mereka melakukan pencitraburukan terhadap kelompok dakwah dan pembunuhan karakter pribadi Nabi saw.. Namun, semakin keras penentangan kaum Quraisy, Rasul saw. tidak pernah melakukan aktivitas perlawanan fisik. Sampai akhirnya mereka (Quraisy) memberlakukan blokade sekitar tiga tahun lamanya.

Menyadari tekanan yang semakin keras, Nabi saw. melakukan sebuah strategi yakni perjuangan politik, untuk mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan riil agar mau membela dakwah sekaligus menjadi penolong tegaknya kekuasaan Islam yang akan dibangun.

Beliau mendatangi beberapa kepala kabilah kuat di Makkah. Sampai pada musim haji, Nabi saw. mendatangi kabilah haji dari Yatsrib yang berjumlah 12 orang, menerima ajakan memeluk Islam, bahkan bersedia menyebarkan Islam ke daerah mereka.

Untuk itulah, Nabi saw. mengutus Mush’ab bin Umair untuk berdakwah di Yatsrib. Dengan bantuan Saad bin Zurarah, akhirnya dukungan politik pun dapat diraih, ditandai dengan datangnya 75 orang, di antaranya 2 perempuan dari dua suku besar (Khazraj dan Aus) ke Makkah untuk membaiat Rasulullah saw. di Bukit Aqabah.

Ini menandakan terjadinya penyerahan kekuasaan dari pimpinan mereka kepada Rasulullah.

Dalil Kewajiban Bergabung dengan Jemaah Dakwah Islam

Demikianlah, fakta tak terbantahkan, pelajaran berharga dari Rasulullah saw. yang harus kita teladani dalam kita menapaki jalan dakwah saat ini, yaitu melakukan dakwah secara berjemaah, membina umat untuk melahirkan kader-kader baru yang menjadi mutiara-mutiara umat, melakukan pergolakan pemikiran dan membongkar pemikiran yang merusak, mengungkap rencana busuk musuh-musuh Islam, tetap bertumpu pada dakwah pemikiran dan menghindari aktivitas fisik, melakukan kontak kepada tokoh-tokoh umat yang bisa memperkuat dakwah bahkan melindungi dakwah.

Di samping itu, terdapat dalil wajibnya bergabung dalam jemaah. Firman Allah SWT,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah [wajib ada] di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).

Setidaknya ada empat hal yang kita bisa ambil dari ayat ini.

Pertama, ayat ini menjadi dalil wajibnya keberadaan jemaah atau partai politik Islam, hal ini dapat disimpulkan adanya laamul ‘amr di awal ayat pada kata “waltakun”. Sedang perkara yang diperintahkan adalah membentuk suatu umat atau jemaah dari kalangan mereka.

Ummah yang diperintahkan itu bisa berbentuk kelompok, organisasi, atau partai. Sebab, semua itu termasuk dalam cakupan kata ummah. Hanya saja, harus berdasarkan Islam. Konsekuensinya, ide-ide, hukum, dan pemecahan masalah yang diadopsi harus berdasarkan Islam.

Kedua, ayat ini menyebutkan dua aktivitas yang wajib dijalankan jemaah tersebut, yakni dakwah kepada al-khayr atau Islam, dan amar makruf nahi mungkar.

Berkaitan dengan dakwah kepada Islam, masih bisa dilakukan oleh semua jenis jemaah. Namun, tidak demikian dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar termasuk kepada penguasa.

Aktivitas ini hanya bisa dijalankan secara sempurna oleh jemaah yang bersifat politis, baik organisasi politik ataupun partai politik.

Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Seutama-utamanya jihad adalah ucapan yang hak di hadapan penguasa yang fasik atau amir yang fasik.” (HR Ahmad, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Ketiga, keberadaan organisasi politik atau partai politik adalah fardu kifayah. Artinya, fardu yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, namun jika telah dilakukan sebagian dan telah tercapai tujuannya, fardu tersebut telah gugur dari yang lain.

Akan tetapi, jika belum tercapai, kewajiban ini berlaku bagi seluruh kaum muslim, baik laki-laki dan perempuan.

Bentuk perintah untuk membentuk jemaah dalam ayat ini menunjukkan adanya thalab (seruan), dengan qarînah (indikasi) yang menunjukkan seruan itu adalah fardu.

Di antaranya adalah hadis dari Hudzaifah bin al-Yamani, Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar makruf nahi mungkar ataukah Allah mendatangkan kepada kalian siksa dari-Nya yang menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdoa, maka (doa itu) tidak akan dikabulkan.” (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).

Keempat, ayat ini pun menegaskan, kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya (yaitu menyeru kepada Islam dan amar makruf nahi mungkar, serta bergabung dalam jemaah atau parpol Islam) merupakan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, muslim dan muslimah.

Sesungguhnya lafaz “ummah” menunjukkan perintah tersebut berlaku umum bagi laki-laki maupun perempuan. Keumuman dari nas dan tidak ada indikasi (qarinah) yang mengkhususkannya, maka ia tetap dengan keumumannya.

Hukum Perempuan Bergabung dalam Jemaah Dakwah

Telah sangat jelas pula secara fakta dan dalil, wajib bagi perempuan menjadi bagian dari jemaah dakwah Islam.

Lalu, bagaimana dengan pendapat yang menyatakan dakwah dan bergabung dalam jemaah dakwah tidak wajib karena jihad perempuan adalah di rumah suaminya dan ini berkaitan dengan tugas utamanya perempuan sebagai ummun wa rabbatul bait?

Mereka mendasarkan kepada salah satu hadis. Ibnu Abbas ra. menuturkan, datang seorang perempuan kepada Nabi saw. seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah duta kaum perempuan untuk menghadapmu. Allah adalah Tuhan kaum laki-laki dan perempuan, sedang engkau adalah Rasul Allah kepada kaum laki-laki dan perempuan. Jihad telah diwajibkan kepada kaum laki-laki. Jika menang, mereka akan kaya. Jika gugur sebagai syahid, mereka tetap hidup di sisi Tuhannya. Lalu, adakah di antara amal-amal kaum perempuan yang mampu menandingi hal itu?” Nabi saw. menjawab, “Menaati suami dan mengetahui hak-hak mereka (dapat menyamai jihad di jalan Allah), tetapi sedikit dari kalian yang melakukannya.(HR Thabrani).

Jika kita mencermati hadis ini, maka dapat dipahami, seorang istri wajib untuk taat kepada suaminya, ketaatan kepada suami merupakan amalan mulia dan Allah akan memberikan pahala sebanding dengan pahala mujahid yang gugur di medan perang.

Akan tetapi hadis ini tidak menyatakan aktivitas perempuan itu hanya dibatasi pada aktivitas dalam rumah tangga saja dan melarang aktivitas selainnya, semisal aktivitas dakwah atau bergabung dalam jemaah dakwah. Ada nas-nas lain, termasuk QS Al-Imran ayat 104 tadi yang memerintahkan hal tersebut.

Jika kita padukan (jama’) hadis ini dengan ayat QS Al-Imran: 4 dan hadis lainnya tentang kewajiban dakwah dan menjadi bagian jemaah dakwah, sesungguhnya tidak terdapat pertentangan di antara keduanya.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Islamiyah juz 1 menjelaskan, ketika ada dua dalil yang tampaknya bertentangan, maka tidak sah kembali kepada penarjihan salah satu dari keduanya, kecuali pada kondisi tidak mampu beramal menggunakan keduanya secara bersama-sama.

Beramal dengan dua dalil lebih utama daripada melalaikan salah satu dari keduanya. Hukum asal dari suatu dalil adalah melaksanakannya, bukan melalaikannya.

Jika kita cermati pada kasus ini, semuanya merupakan perkara wajib—ketaatan terhadap suami, aktivitas di rumah tangga, serta aktivitas dakwah dan bergabung dalam jemaah dakwah—, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas yang wajib itu, mengharuskan kita untuk melaksanakannya.

Hanya saja, kita dituntut untuk mengaturnya dengan baik agar tidak terjadi pertentangan antara satu dan yang lain.

Salah satu realisasinya kurang lebih seperti ini, apabila seorang perempuan telah bergabung ke dalam suatu jemaah Islam dan pimpinan jemaah tersebut menyuruhnya melaksanakan suatu perintah, sementara walinya atau suaminya menyuruhnya dengan perintah yang lain, ia wajib menaati perintah wali atau suaminya selama perintah itu bukan berupa maksiat yang nyata atau bukan maksiat. Kemudian ia akan laksanakan perintah tersebut di waktu yang lain, tentu dengan izin dari wali atau suaminya tersebut.

Peran Penting Perempuan dalam Dakwah

Sesungguhnya, sejak awal sejarah Islam, kaum perempuan memiliki peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam.

Orang yang paling pertama menjawab dakwah Rasulullah adalah perempuan, yaitu Khadijah ra.. Pada masa Rasulullah saw., para shahabiyah melakukan aktivitas dan perjuangan dakwah tanpa meninggalkan peran strategis dan tugas utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah suaminya.

Mereka berjuang bersama-sama Rasulullah saw. dan Sahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan sahabatnya.

Mereka berada dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini, mendukung perjuangan beliau bersama suami dan anak-anak mereka. 

Islam memberi peran bagi perempuan dalam ranah domestik dan juga publik sekaligus. Ini semua menegaskan kepada kita, bergabungnya perempuan dalam jemaah dakwah Islam wajib hukumnya, lebih tepatnya fardu kifayah berdasarkan dalil dan fakta kaum perempuan di masa Rasulullah saw. dan masa ketika Islam tegak.

Terlebih lagi, kiprah muslimah dalam lapangan dakwah pada hari ini pun sangat penting, karena tidak sedikit dari kaum perempuan yang belum paham Islam.

Perempuan tentu lebih mudah dan lebih leluasa dalam menjalankan misi dakwah kepada sesama kaumnya.

Kini, sudah saatnya kaum muslimah menyadari dirinya adalah penyangga peradaban Islam. Mereka memiliki tanggung jawab yang sama dengan laki-laki: melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat menuju peradaban mulia dengan menegakkan Islam kaffah.

Khatimah

Benar, tugas utama perempuan adalah sebagai ummun wa rabbatul bait dan ia merupakan aktivitas yang mulia. Akan tetapi, sebagai bagian dari masyarakat, kita pun memiliki tugas mulia lainnya, yaitu berdakwah dan menjadi bagian dari jemaah Islam.

Aktivitas-aktivitas mulia inilah yang akan membawa kita ke surga-Nya, in syaa Allah.

Berdakwah membutuhkan jemaah. Allah SWT pun amat cinta pada mereka, baik laki-laki maupun perempuan yang berjuang bersama layaknya bangunan yang tersusun rapi.

Dengan berjemaah pula, kita bisa terlindungi dari lingkup pergaulan yang dapat merusak perasaan serta pemikiran.

Sendirian dalam dakwah sungguh amal yang berat. Saat kaki keliru melangkah, nyaris tak ada yang mengembalikan kita ke jalan yang lurus, sementara setan amat mudah menjerat orang yang terpisah dari jemaah.

Semoga kita selalu ada dalam keistikamahan dan selalu berpegangan tangan dalam meraih tujuan mulia, tegaknya sistem Islam di muka bumi.

Pengingat kita, sabda Rasulullah saw., “Kalian harus berpegang pada jemaah dan menjauhi perpecahan. Sebab, sesungguhnya setan bersama dengan orang sendirian, dan lebih jauh terhadap orang yang berdua. Siapa saja yang menghendaki surga maka berpegang teguhlah pada jemaah. Siapa saja yang merasa senang dengan kebaikannya dan merasa buruk dengan kesalahannya, maka ia adalah Mukmin.” (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i). Wallahu a’lam bishshawwab. [MNews/Gz]

One thought on “Hukum Perempuan Bergabung dalam Jemaah Dakwah

  • Linda Nia Safitri

    Perempuan ambil peran dalam dakwah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *