Islam Tidak Jadi Alat Politik? Bentuk Kegagapan Islam Moderat
MuslimahNews.com, NASIONAL — Menteri Agama yang baru saja ditunjuk, Yaqut Kholil Qoumas, dalam keterangan persnya mengungkapkan sejumlah langkah yang akan dilakukan. Salah satunya menjadikan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi.
“Artinya agama sebisa mungkin tidak lagi digunakan (sebagai) alat politik, baik untuk menentang pemerintah maupun merebut kekuasaan atau mungkin tujuan lain. Agama bisa menjadi inspirasi dan biarkan agama membawa nilai kebaikan dan nilai kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya. (cnbcindonesia, 22/12/2020).
Menanggapi hal ini, aktivis muslimah nasional, Ustazah Ratu Erma Rachmayanti mengungkapkan pemikiran Menag secara jelas.
“Karena menjadikan politik dan agama dua hal yang terpisah, atau memaknai agama sebagai alat politik berarti agama adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain, itu adalah pemikiran sekuler!” kritiknya.
Padahal, papar Ustazah Erma, Islam telah menggambarkan dalam praktik nyata, kehidupan Rasulullah saw. sebagai kepala negara di Madinah, bukan hanya sebagai Nabi.
“Wahyu yang diterima dari Allah SWT dijadikan sebagai sumber konstitusi untuk melaksanakan tugas beliau. Begitu pun halnya dengan para khalifah sepeninggal Rasulullah, semuanya menjadi kepala negara Khilafah Islamiah,” tegasnya.
Ustazah Erma bertanya retorik, “Bukankah Rasulullah itu harus dijadikan rujukan umatnya? Bukankah Rasulullah membawa perintah dari Allah, Rabb kita semua?”
Warisan Rasulullah
Ustazah Erma menekankan Rasulullah telah mewariskan Al-Qur’an dan Sunah yang akan menjaga umatnya dari kesesatan dan fitnah akhir zaman.
Hukum dalam Al-Qur’an dan As-sunah itu sudah memberi garis besar yang lengkap. Sumber hukum Islam diperkaya dengan hasil ijtihad para Sahabat dan qiyas.
“Penerapan seluruh syariat pun membutuhkan institusi untuk menjalankannya. Dan Rasul telah mewariskan pula bentuk negara yang akan menerapkan syariat itu, yakni Khilafah Islamiah,” tegasnya.
Berdasarkan contoh tersebut, Ustazah Erma menyatakan adanya syariat dan Khilafah—atau dengan kata lain agama dan politik (pengaturan urusan umat)—adalah satu kesatuan yang tidak terpisah.
Islam itu politik dan politik itu adalah Islam. Antara agama dan politik adalah saudara kembar, sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali,
الملكُ والدّينُ تَوأَمانِ فالدّينُ أَصلٌ والسُّلطانُ حَارِسٌ ومَا لاَ أَصلَ لهُ فَمَهْدُومٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَاِئعٌ
“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang.”
Ustazah Erma juga mengutip penjelasan Imam Al-Mawardi dalam bukunya Adab ad-Dunya wa ad-Diin. Tidak akan hilang kekuatan agama kecuali dengan diganti hukum-hukumnya, dikaburkan tanda-tandanya. Apa yang ada dalam kekuasaan itu adalah untuk penjagaan agama, mempertahankan dan membelanya.
“Karena dua hal inilah, ada kebutuhan untuk mengangkat seorang imam yang akan menjadi penguasa saat memimpin bangsa, sehingga agama akan terjaga otoritasnya dan kekuasaan berjalan sesuai dengan sunnah dan hukum-hukumnya,” tandasnya.
Khilafah Mahkota Kewajiban
Para ulama besar telah sepakat Khilafah sebagai negara politik Islam merupakan mahkota dari kewajiban. Khilafah adalah institusi penerap syariat. Syariat tidak akan bisa diterapkan tanpa Khilafah.
“Mengemban risalah dengan dakwah dan jihad adalah wajib bagi muslim sesuai dengan apa yang ditempuh Rasulullah,” cetusnya.
Untuk itu, menurut Ustazah Erma, membutuhkan beberapa hal.
Pertama, penerapan Islam atas kaum muslimin dan pendirian negara Islam untuk mengubah orang-orang agar menerima Islam. Ini hanya bisa dilakukan dengan adanya Khilafah.
Kedua, pengelolaan upaya dan potensi umat dalam satu kepemimpinan. Ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membaiat khalifah yang menerapkan Islam dan mengembannya bersama umat dengan dakwah dan jihad ke penjuru alam.
“Ini juga menunjukkan Khilafah adalah mahkota kewajiban. Artinya segala kewajiban agama, hanya akan dijalankan sempurna ketika ada institusi negara yang menjalankan politik,” tukasnya.
Kegagapan Islam Moderat
Menurutnya, pernyataan “agama jangan dijadikan alat politik untuk menentang pemerintahan” adalah pemikiran yang tidak punya landasan dalil, ucapan sia-sia, tidak bernilai, dan tidak perlu dianggap oleh umat.
Sebaliknya, itu adalah ungkapan penyesatan yang menjauhkan umat dari pemahaman terhadap Islam yang benar. Sebuah pernyataan defensive apologetic yang lahir dari ketakutan.
Hal ini disebut Ustazah Erma sebagai gagap menanggapi tudingan lawan dengan mengatakan Islam agama kekerasan; jika Islam ada dalam kekuasaan yang akan terjadi adalah totaliterisme, dan kekuasaan otoriter akan memberangus pluralitas dan memaksakan homogenitas.
“Sehingga menurut mereka, seolah semua harus Islam, tidak boleh berbeda. Adanya sanksi semisal potong tangan, cambuk, hukuman mati, perintah memerangi kafir, dan sebagainya,” ujarnya.
Mereka juga menganggap wanita dipaksa menutup aurat, tidak boleh berkiprah dan berprestasi di ruang publik, sebagaimana perempuan Taliban dan sebagainya.
Oleh karenanya, berdasar semua tudingan tadi, orang-orang Islam moderat menyatakan Islam cukup diambil nilai-nilainya saja, tidak mesti semua hukumnya diterapkan. Akhirnya Islam harus dijauhkan dari politik pengaturan urusan rakyat.
“Sekali lagi, ini adalah pernyataan yang tidak punya dalil, berlawanan dengan realitas yang telah dicontohkan Rasulullah dan menyelisihi pandangan para ulama yang saleh,” bantah Ustazah Erma.
Di akhir penyampaian, Ustazah Erma mengingatkan umat harus waspada. Justru manuver kelompok moderat ini akan menghalangi umat untuk merebut kembali mahkotanya yang hilang, yaitu Khilafah Islamiah. [MNews/Ruh-Gz]
MasyaAllah Allah.. Benar sekali ustazah… Terus berjuang untk mengembalikan mahkota kewajiban
Astaghfirullah..
Islam dipecah belah oleh Kafir Barat dgn adanya Islam moderat dan Islam Radikal..dll dengan tujuan menjauhkan umat dari ajaran Islam yg kaffah