Opini

Gonta-ganti Nama Ujian, Jaminan Mutu?

Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

MuslimahNews.com, OPINI – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) resmi menghapus Ujian Nasional (UN) pada April 2021 dan diganti dengan Asesmen Nasional (AN). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menjelaskan, AN tidak hanya dirancang sebagai pengganti UN, tapi juga sebagai penanda perubahan paradigma evaluasi pendidikan (kompas.tv, 20/10/2020).

Mendikbud mengungkap alasan mengganti UN menjadi AN, yakni saat ini sekolah negeri banyak diisi siswa yang mampu secara ekonomi. Penemuan tersebut ia dapat dari hasil seleksi PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional). Hasil seleksi di Indonesia ditemukan kebanyakan siswa dengan ekonomi rendah justru belajar di sekolah swasta.

Menurut Nadiem, hal ini terjadi karena sistem masuk sekolah negeri berdasarkan nilai UN. Siswa yang bisa masuk ke sekolah negeri adalah yang punya nilai UN tinggi, sebelum ada sistem zonasi. Nadiem menegaskan bahwa sekolah negeri seharusnya diisi oleh siswa yang tidak mampu karena biayanya ditanggung oleh pemerintah (cnnindonesia.com, 11/12/2020).

Rendahnya Kualitas Pendidikan

Sejak berdirinya negara ini, ujian nasional kerap berganti-ganti nama. Ujian nasional pertama kali dilakukan tahun 1950-1964, disebut Ujian Penghabisan. Pada 1965-1971, ujian akhir yang diterapkan disebut Ujian Negara. Tujuannya adalah untuk menentukan kelulusan.

Ujian Negara kemudian berganti nama menjadi Ujian Sekolah pada 1972-1979. Setelah Ujian Sekolah, pada 1980-2002 berganti nama menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas).

Pada 2003-2004, Ebtanas berubah menjadi Ujian Akhir Nasional. Ujian Akhir Nasional berganti nama menjadi Ujian Nasional pada 2005 sampai saat ini (merdeka.com, 11/12/2019). Kini, Ujian Nasional akan diganti menjadi Asesmen Nasional. Apakah dengan perubahan nama ujian ini akan menjamin mutu pendidikan di Indonesia makin baik?

Baca juga:  Merdeka Belajar: Kebijakan Lompat-lompat ala Nadiem Makarim

Melansir data Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2018, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Dalam laporan berjudul “The Promise of Education in Indonesia”, Bank Dunia menyebut kualitas pendidikan Indonesia masih menjadi masalah. Kesenjangan pendidikan antara yang kaya dan miskin masih menjadi tantangan (dw.com, 24/1/2020).

Merujuk pada survei yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Desember 2019, Indonesia disebut menempati peringkat ke-72 dari  77 negara. Berdasarkan kajian Bank Dunia 2019 menunjukkan kurva pendidikan Indonesia abnormal (beritasatu.com, 21/7/2020).

Butuh Perubahan Mendasar

Berbagai upaya perubahan telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Tak hanya ujian, perubahan kurikulum juga terjadi berkali-kali. Namun perubahan tersebut bersifat permukaan, tidak menyentuh persoalan mendasar.

Pada akhirnya, berbagai perubahan itu justru menjadi beban bagi para guru dan juga siswa. Demi mengejar kesejahteraan, guru dibebani untuk memenuhi kualifikasi dan kelengkapan administrasi tertentu. Akibatnya, fokus dan waktu guru lebih banyak diarahkan pada tugas administrasi, sedangkan tugas utama yaitu mendidik anak bangsa justru terabaikan.

Pengamat pendidikan Najeela Shihab menilai ada tiga isu yang menjadi masalah utama bagi pendidikan di Indonesia, yaitu akses, kualitas dan kesenjangan (mediaindonesia.com, 1/12/2019).

Semua masalah ini berpokok pada paradigma tentang pendidikan. Seharusnya, pendidikan diposisikan sebagai hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Baik dari sisi kurikulum, pendanaan, akses, penyediaan sarana dan prasarana, tenaga pendidik, dan segala aspek pelengkapnya.

Negara memosisikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Seluruh rakyat diberikan layanan pendidikan yang sama baiknya, tanpa melihat apakah dia kaya atau miskin. Juga tanpa melihat apakah dia sekolah di sekolah negeri atau sekolah swasta.

Baca juga:  Editorial: Tolak Total Kebijakan Neoliberal

Ujung tombak pendidikan yakni guru diberikan kecakapan yang mumpuni sehingga bisa mencetak anak didik yang bertakwa dan sekaligus cerdas. Guru juga mendapatkan jaminan kesejahteraan sehingga fokus dalam mendidik siswanya.

Namun, gambaran tersebut tidak terwujud di negeri kita. Pendidikan di Indonesia terus mengalami proses liberalisasi. Kian hari, penguasa makin lepas tangan dari pemenuhan pendidikan.

Hal ini terjadi karena pendidikan dinilai dari sudut pandang kapitalisme, yaitu sebagai aset ekonomi. Pendidikan seumpama produk yang dinilai dari sisi menguntungkan atau tidak. Ukuran-ukuran penilaian output pendidikan pun ala kapitalisme yang mementingkan kompetensi dan mengabaikan kepribadian anak didik.

Akibatnya, pendidikan terus berubah standarnya seiring dengan perubahan zaman. Apalagi di era Revolusi Industri 4.0, pendidikan makin diarahkan untuk mencetak tenaga kerja yang akan mengisi industri milik negara-negara kapitalis.

Dibutuhkan perubahan paradigm penguasa terhadap pendidikan, dari sudut pandang ala kapitalisme menjadi sudut pandang yang benar yaitu Islam. Pendidikan harus dipandang sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi seoptimal mungkin, bukan produk yang dibisniskan untuk keuntungan materi.

Evaluasi Pendidikan dalam Khilafah

Khilafah sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas sehingga pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak dari semua kelas sosial mengenyam pendidikan dasar yang terjangkau oleh semua orang.  Mereka harus menguasai semua hal yang wajib diketahuinya sebelum usia balig.

Negara membayar cukup para guru, mereka adalah orang-orang pilihan yang berdedikasi tinggi. Hasilnya adalah output pendidikan terbaik di dunia.

Di banyak tempat, sekolah sama sekali gratis. Di Spanyol misalnya, selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin (fahmiamhar.com, 16/6/2013).

Baca juga:  "Kampus Merdeka" dalam Cengkeraman Korporasi, akankah Masalah Pendidikan Teratasi?

Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti muridnya. Tidak terjadi masalah akses dan kesenjangan pendidikan.

Evaluasi pendidikan dalam sistem Khilafah Islamiyah dilakukan secara komprehensif untuk mencapai tujuan pendidikan. Ujian umum diselenggarakan untuk seluruh mata pelajaran yang telah diberikan. Ujian dilakukan secara tulisan dan lisan.

Munadharah adalah teknik ujian lisan mengenai suatu ilmu. Ujian lisan ini merupakan teknik ujian yang paling sesuai untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa untuk memahami pengetahuan yang telah dipelajari. Ujian lisan dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup.

Di samping itu ada ujian praktik pada keahlian tertentu. Siswa yang naik kelas harus dipastikan mampu menguasai pelajaran yang telah diberikan dan mampu mengikuti ujian sebaik-sebaiknya. Siswa-siswa yang dinyatakan lulus adalah mereka yang betul-betul memiliki kompetensi ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dan berkepribadian Islam.

Pada masa Khilafah, siapa pun boleh kapan saja mengujikan kompetensinya.  Anak-anak rajin seperti Ibnu Sina atau Muhammad bin Idris asy-Syafi’i bisa menjadi ilmuwan sekaligus ulama top di usia amat muda karena sistem memberi mereka kesempatan mengujikan kompetensinya tanpa harus menunggu UN.

Untuk profesi tertentu, misalnya tabib, ada suatu komisi yang ditunjuk Khalifah untuk menguji kompetensi orang-orang yang mengklaim memiliki kemampuan pengobatan.  Mereka akan ditanya, pada siapa mereka belajar, kitab apa yang telah mereka baca dan bagaimana mereka menghadapi suatu kasus. Inilah gambaran kecemerlangan pendidikan dalam Khilafah. [MNews/Gz]

2 komentar pada “Gonta-ganti Nama Ujian, Jaminan Mutu?

  • Imas l

    Disistem ini yang menilai segala sesuatu dengan materi(uang) akan menjadi tanda tanya besar akan mutu yang dihasilkan pendidikan negeri ini…lain halnya dengan pmutu pendidikan dengan penerapan sistem Islam diman sudah terbukti banyak ahli” disegala bidang yg lahir dari para pemuda Islam dengan krimanan dan akhlak yg hebat

    Balas
  • Muter2 tetap sama…tidak berkorelasi pada peningkatan kualitas..kamuflase untuk menutupi kerusakan dan kesalahan rezim dan sistem..

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *