[Tafsir Al-Qur’an] Hakikat Perubahan (Bagian 2/2)
Oleh: Ustaz MR Kurnia
MuslimahNews.com, TAFSIR AL-QUR’AN – Mafâhim: Dasar Perubahan
Pemahaman terhadap ayat tersebut akan utuh jika dipahami secara tepat makna kata bi dalam frasa bi qawmin dan bi anfusihim, makna qawmun, dan makna mâ.
Kata Bi merupakan kata yang menunjukan ‘pertemanan’ (mushâhabah). Dalam ayat ini seakan-akan Allah Swt. mempertemankan antara perubahan yang terjadi dalam suatu kaum dengan perubahan segala sesuatu yang meniscayakan perubahan tersebut dalam dirinya.
Kata qawm dapat mengandung dua makna, yaitu individu (al-fard) dan kelompok masyarakat (al-jamâ‘ah/al-mujtama). Dalam kamus Al-Muhîth disebutkan bahwa qawm adalah kelompok yang terdiri dari para laki-laki dan perempuan secara bersama-sama atau khusus laki-laki atau diikuti oleh perempuan. Hal ini mencakup baik individual maupun masyarakat secara kolektif.
Dalam bahasa Arab dapat dikatakan kalimat, “Jâ’a al-Qawm (Telah datang kaum itu),” sekalipun yang dimaksudkan hanyalah tiga orang saja. Kata qawm juga menunjukkan makna masyarakat. Misalnya, kita menyebut Quraisy, Hudzail, dan Ghathfan adalah kaum (qawm); dengan maksud masyarakat Quraisy, masyarakat Hudzail, dan masyarakat Ghathfan.
Sementara itu, ‘mâ’ merupakan kata ‘âm (kata umum), yang artinya segala sesuatu, baik maupun buruk. Dalam ayat ini berarti perubahan apa pun di dalam suatu kaum/masyarakat terjadi disebabkan dan bersama dengan perubahan setiap hal yang menentukan perubahan itu dalam diri kaum tersebut.
Atas dasar ini, secara bahasa, ayat itu bermakna, “Sungguh, benar-benar Allah SWT tidak akan pernah mengubah apa pun yang ada di dalam individu atau masyarakat hingga mereka sendiri mengubah segala sesuatu yang ada dalam dirinya yang meniscayakan perubahan tersebut.
Dua Hal Menyangkut Perubahan
Dengan kata lain, ayat tersebut mengandung dua hal menyangkut perubahan: (1) perubahan harus dilakukan oleh kaum itu sendiri; (2) yang harus diubah itu adalah apa-apa yang ada dalam diri kaum tersebut. Apa-apa yang ada dalam diri kaum inilah yang menentukan perubahan.
Secara realitas, yang dapat mengubah keadaan masyarakat adalah pemikiran dan perbuatan. Dua hal inilah yang merupakan pangkal perubahan dan yang meniscayakan adanya perubahan. Jika yang hendak diubah adalah kedua pangkal tersebut maka dasar yang harus pertama kali diubah adalah pemahaman (mafâhim).
Pemahamanlah yang mengarahkan dan mempengaruhi pemikiran masyarakat. Ini karena mafâhim merupakan makna-makna dari pemikiran, atau makna-makna yang dipahami, yang memiliki realitas dalam benak. Padahal, pemikiran merupakan al hukm ‘alâ al asyyâ’ (penilaian atau penghukuman terhadap segala sesuatu).
Bila pemikiran tersebut telah benar-benar dipahami realitasnya di dalam benak maka pemikiran tadi merupakan pemahaman yang dipahami dan diyakini oleh orang atau masyarakat tersebut. Padahal apa yang dipahami dan diyakini oleh seseorang atau masyarakat tak syak lagi akan mengarahkan cara berpikir dan cara menilainya.
Pada sisi lain, perbuatan/perilaku merupakan buah dari pemahaman (mafâhîm). Karena itu, mafâhîm itu merupakan pengarah bagi perilaku/perbuatan. Hukum asalnya, mafâhîm itulah yang melahirkan sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang.
Misalnya, pemahaman seseorang terhadap orang lain yang dicintai, dihormati, dan diyakini merupakan utusan Allah Swt. yang memberikan jalan keselamatan akan membentuk perilaku orang tersebut mengikuti dan tunduk kepada orang yang menjadi Rasul tersebut.
Berbeda halnya jika orang lain memahami bahwa Rasul itu merupakan pemecah-belah kaumnya, merobohkan sendi-sendi keyakinannya, dan pembawa agama baru; maka sikap orang tersebut akan memusuhi Rasul tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa fakta kandungan ayat tersebut adalah sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah apa pun yang ada di dalam diri seseorang atau suatu masyarakat hingga mereka mengubah apa yang semestinya diubah, yaitu mafâhîm-nya.
Sebagai contoh, sistem yang kini kita huni adalah sistem bukan Islam, merupakan dâr kufr. Sebab, hukum-hukum qath‘î tsubût dan qath‘î dilâlah seperti hukum tentang zina, riba, salat, zakat, shaum, dan jihad tidak diterapkan oleh negara; kalaupun diterapkan sebatas individual, bukan sistemis.
Ketika kaum muslim melalui partai hendak mengubah sistem ini menjadi sistem Islam maka partai tersebut harus mempelajari apa-apa yang meniscayakan terjadinya perubahan sistem dan perubahan masyarakat tersebut.
Ia harus mempelajari realitas sistem, fakta masyarakat, dan unsur-unsur pembentuk masyarakat yang menentukan corak dari masyarakat tersebut. Kelak diketahui bahwa penentu perubahan masyarakat tersebut adalah pemikiran, perasaan dan sistem aturan sebab itulah komponen-komponen pembentuk masyarakat.
Berdasarkan hal ini, untuk mengubah masyarakat haruslah dilakukan perubahan pemahaman yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan, dan sistem aturan yang sekarang ada menjadi pemikiran, perasaan, dan sistem aturan yang lahir dari mafâhîm Islam.
Jika pemahaman Islam tentang ketiga hal tersebut telah dipahami realitasnya, diyakini, dan diterapkan di dalam individu dan masyarakat maka masyarakat kapitalis-sekular yang kini ada akan berubah menjadi masyarakat Islam dengan sistem yang diterapkan sistem Islam.
Demikianlah, perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain, baik perubahan tersebut bersifat individual atau kolektif masyarakat, memerlukan perubahan mafâhîm tentang perkara yang akan diubah tersebut. Perubahan mafâhîm demikian akan diikuti dengan perubahan perilaku. Saat perubahan mafâhîm itu terjadi maka terjadi pula perubahan yang sesuai dengan mafâhîm yang baru. [MNews/Rgl]
Daftar Rujukan
1 Imam Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, hlm. 202. Kairo, Dar al-Hadits, t.t.
2 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir (2/614). Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
3 Imam Al-Gazhali, Tafsir Jawâhir al-Qurân (1/101). Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, 1985.
4 Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân (2/281), Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
5 Imam al-Baidhawi, Tafsîr al-Baydhawi (3/321). Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
6 Imam Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qurân (2/380). Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1391 H.
7 Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, (13/114). Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.
8 Imam as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr (4/81). Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
9 Imam ats-Tsa‘labi, Tafsîr ats-Tsa‘âlabi, 2/104. Beirut: Mu’asasah al-A‘lami li al-Mathbu‘ah, t.t.