Tafsir Alquran

Saat Nyawa Dicabut (Tafsir QS al-Qiyamah [75]: 26-35) Bagian 2/2

Tinggalkanlah sikap mementingkan dunia atas akhirat. Ingatlah, kematian yang ada di depan kalian yang akan membuat kamu terputus segera. Sambungan dari Bagian 1/2


Oleh: Ustaz Rokhmat S. Labib, M.E.I.

MuslimahNews.com, TAFSIR AL-QUR’AN – Wahbah al-Zuhaili berkata, “Maksudnya, dahsyatnya perpisahan dengan dunia dan meninggalkan keluarga, anak, kedudukan, cacian musuh, kesedihan para kekasih, dan sebagainya bertaut dengan dahsyatnya menghadapi keadaan-keadaan akhirat dan kegentingan-kegentingannya.”27 Makna ini juga dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.28

Dengan demikian, secara kinayah kedahsyatan kematian, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya): “Ingatlah pada hari ketika betis disingkapkan.” Yang dimaksud adalah kedahsyatan perpisahan dunia meninggalkan keluarga, anak, kedudukan, cacian musuh, kesedihan para kekasih dan sebagainya bersambung dengan kedahsyatan dalam menghadapi keadaan-keadaan akhirat dan kegentingan-kegentingannya.

Kemudian Allah SWT berfirman,  “Ilâ Rabbika yawmaidz[in].” (Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau). Menurut al-Khazin maknanya: Marji’al-‘ibâd (tempat kembali hamba) kepada Allah SWT. Mereka dihalau kepada Allah pada hari kiamat untuk diputuskan perkara di antara mereka.29

Allah SWT berfirman,  “Falâ shaddaqa wa shallâ.” (Dia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur’an) dan tidak mau mengerjakan salat). Ayat ini lantas menceritakan perilaku orang-orang yang meninggal itu semasa masih hidup di dunia.

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, falâ shaddaqa (tidak membenarkan) bermakna tidak mengimani Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik dan buruknya.30

Dua perkara yang disebutkan itu merupakan sesuatu yang diperintahkan. Dalam perkara akidah, mereka diperintahkan untuk membenarkan semua perkara yang diwajibkan untuk dibenarkan dan diyakini. Dalam perkara syariat, seperti menegakkan salat, mereka diperintahkan untuk ditaati dan dikerjakan.

Semua perintah dalam perkara akidah dan syariat itu mereka tolak. Mereka tidak mau membenarkan akidahnya dan tidak mau mengerjakan syariatnya.

Lalu ditegaskan dalam firman-Nya: Walâkin kadzdzaba wa tawallâ (Akan tetapi, ia mendustakan [Rasul] dan berpaling [dari kebenaran]). Tindakan ini merupakan kebalikan dari apa yang diperintahkan. Mereka mendustakan Rasul Saw. beserta semua yang beliau bawa dari berpaling dari ketaatan dan keimanan.31

Allah SWT berfirman, “Tsumma dzahaba ilâ ahili yatamaththâ.” (Kemudian dia pergi kepada ahlinya dengan berlagak [sombong]). Tak hanya itu. Orang kafir itu pun bersikap sombong dan congkak.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, dia pergi kepada keluarganya dengan riang, sombong, angkuh, congkak, dan besar kepala dalam perjalanannya karena menyombongkan tindakannya, merasa malas, dan tidak ada keinginan untuk melaksanakan amal. Ini semakna dengan QS al-Muthaffifin [83]: 31.32

Kemudian Allah SWT mengancam mereka dengan firman-Nya, “Awlâ laka fa awlâ.” (Kecelakaanlah bagi kamu [hai orang kafir] dan kecelakaanlah bagi kamu). Ini merupakan ancaman yang keras dari Allah SWT, yang ditujukan kepada orang yang kafir kepada-Nya lagi angkuh dalam berjalan.

Dengan kata lain: sudah sepantasnya kamu berjalan demikian, karena kamu kafir kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu. Ungkapan seperti ini mengandung nada cemoohan dan ancaman.33

Juga firman-Nya, “Tsumma awlâ laka fa awlâ.” (Kemudian kecelakaanlah bagi kamu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagi kamu). Ini merupakan tahdîd ba’da tahdîd (ancaman setelah ancaman), wa’îd ba’da wa’îd (peringatan keras setelah peringatan keras).34 Pengulangan tersebut berfaedah sebagai mubâlaghah (menunjukkan sangat) dalam ancaman dan intimidasi.35

Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan tahdîd wa wa’îd (ancaman dan peringatan keras) yang sangat ditekankan oleh Alah SWT kepada orang kafir yang sombong dalam perjalanannya.36

Beberapa Pelajaran Penting

Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Di antaranya adalah:

Pertama, kesadaran akan kepastian datangnya kematian dan pengaruhnya dalam perilaku manusia. Kematian makhluk hidup, termasuk manusia, merupakan sunnatullah. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkarinya.

Meskipun demikian, tidak sedikit manusia melalaikannya. Mereka sangat mencintai dunia dan mengejarnya habis-habisan seolah hidup selama-lamanya. Sebaliknya, mereka justru meremehkan akhirat sehingga mereka sama sekali tidak beramal untuk menyongsong kehidupan yang abadi itu.

Ayat ini pun menegur dan mengingatkan orang-orang yang bersikap demikian, bahwa mereka pasti akan mati. Realitas ini semestinya menggugah kesadaran manusia sehingga tidak mencintai kehidupan dunia secara berlebihan dan mengalahkan akhirat. Apalagi menjual kehidupan akhiratnya untuk kehidupan dunia yang sangat singkat dan pasti berakhir itu.

Kedua, beratnya kematian bagi orang-orang kafir. Ayat ini menggambarkan beratnya kesengsaraan dan penderitaan orang yang dialami orang kafir ketika mati. Hal itu disebabkan berkumpulnya dua penderitaan sekaligus, yakni penderitaan karena dia harus berpisah dengan dunia beserta semua kenikmatannya yang sangat mereka cintai, dengan penderitaan karena siksa akhirat yang sudah diperlihatkan kepada mereka dengan nyata.

Ketiga, hanya kepada Allah SWT manusia dikembalikan setelah kematian. Hal ini ditegaskan dalam ayat lainnya, seperti dalam QS al-Jumu’ah [62]: 8).

Keempat, kecelakaan dan kesengsaraan yang dialami orang yang tidak beriman dan beramal saleh. Dalam ayat-ayat ini ditegaskan mereka pasti akan mengalami kecelakaan, kesengsaraan, dan penderitaan.

Tak main-main. Ayat ini menyebutkan kecelakaan bagi mereka itu sebanyak empat kali. Itu menunjukkan betapa besar kecelakaan dan kesengsaraan yang akan mereka alami.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [MNews/Rgl]

Catatan kaki:

1        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 281

2        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 735

3        al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 374; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah , 1993), 523

4        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281. Lihat juga, al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 272

5        Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 351. Lihat juga al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 162; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 111; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 267; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 406

6        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734

7        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 374

8        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734. Lihat jug aal-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 270, 273

9        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 270. Lihat juga Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 406

10      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 162

11      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 342; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 162

12      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 162

13      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734

14      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 75

15      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 351. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734

16      Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 523

17      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734

18      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 112. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 735; al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 76; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1993), 479

19      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 735

20      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 735

21      Ahmad Mukthar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, vol. 2 (Kairo: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1138

22      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282

23      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282

24      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 273

25      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282

26      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 112. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282

27      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 273

28      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 80

29      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 374

30 Al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 900

31 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 274

32 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 274. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282

33 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283

34 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 114

35 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 353

36 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282

One thought on “Saat Nyawa Dicabut (Tafsir QS al-Qiyamah [75]: 26-35) Bagian 2/2

  • Lia Fakhriyah

    Sungguh, jika kaum muslimin mau membuka alQuran, membaca , memahami, maka akan terbukalah apa yg harus dilakukan di dunia ini dalam rangka menuju kehidupan akhirat yg abadi.
    Tak tergoda untuk menjual kehidupan dunia yg sementara untuk kehdpn akhirat yg abadi.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *