Listrik Gratis, Mungkinkah?
Oleh: Iffatul Insani
MuslimahNews.com, FOKUS – Tarif listrik untuk tujuh golongan pelanggan PT PLN (Persero) resmi turun pada Kamis (1/10/2020). Hal tersebut sesuai ketentuan tarif dasar listrik yang dikeluarkan Pemerintah. Mulai Oktober hingga Desember 2020, tarif listrik untuk pelanggan golongan rendah turun Rp22,5 per kWh, menjadi Rp1.444,7 per kWh, dari sebelumnya Rp1.467 per kWh (money.kompas.com).
Sekilas kebijakan ini menggambarkan kepedulian dan kebaikan pemerintah. Sebab selama ini publik sangat terbebani oleh tarif listrik yang mahal, sementara listrik adalah kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat, di samping itu listrik adalah sumber energi yang digunakan secara luas dalam proses industri.
Karenanya, secara tidak langsung harga listrik yang mahal selama ini juga berdampak pada kehidupan masyakat. Oleh karena itu listrik yang murah bahkan gratis tentu sangat diharapkan. Di sisi yang lain, negeri ini dilimpahi potensi sumber energi listrik berlimpah. Jadi, mungkinkah listrik murah bahkan gratis?
Sumber Daya Energi Primer Melimpah, namun Listrik Mahal
Berdasarkan data dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan batu bara Indonesia mencapai 26,2 miliar ton. Dengan produksi batu bara sebesar 461 juta ton tahun lalu, maka umur cadangan batu bara masih 56 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru (https://www.esdm.go.id/id/media-center/news-archives/cadangan-batubara-indonesia-sebesar-26-miliar-ton)
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mustafid Gunawan mengatakan, pada 2019 cadangan minyak Indonesia mencapai 3.775 miliar barel dan gas 77 triliun kubik fit.
Jika tidak ada kegiatan pencarian kandungan minyak dan gas baru, dengan tingkat produksi produksi minyak sebesar 745 ribu barel per hari dan 1,282 juta barel setara minyak, cadangan minyak Indonesia hanya cukup 9,22 tahun lagi, sedangkan gas hanya 21,86 tahun. (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4155492/cadangan-minyak-indonesia-hanya-cukup-untuk-9-tahun-lagi)
Dengan cadangan energi fosil baik batu bara maupun migas dengan asumsi produksi per tahun mengacu pada data di atas yaitu 9, 21.86 dan 56 tahun berturut-turut untuk minyak, gas, dan batu bara adalah sebuah cadangan yang terbilang melimpah. Terlebih lagi itu asumsi jika tidak ada penemuan cadangan baru.
Namun faktanya, selalu ditemukan cadangan energi fosil baru ketika eksplorasi berjalan. Sebagaimana disampaikan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini,
“Pada 1970 juga pernah dikatakan bahwa cadangan minyak kita akan habis pada 10 tahun lagi. Sekarang sudah 2013, masih sama”. Hal ini disampaikan ketika beliau berkunjung ke redaksi TV One (https://www.viva.co.id/arsip/417723-produksi-minyak-indonesia-di-titik-nadir).
Tahun ini pun statistik cadangan energi fosil satu dekade belakangan tidak mengalami perubahan signifikan, padahal eksploitasi terus berlanjut hingga sekarang. Menurutnya, kata kuncinya adalah pada eksplorasi yang masif.
Hari ini kita masih menemukan berbagai permasalahan dalam ketersediaan listrik, baik harga yang mahal, masih terjadinya byar-pet di sebagian wilayah, bahkan ada daerah yang belum teraliri listrik sama sekali.
Meski secara nasional tingkat elektrifikasi 99%, namun masih ada provinsi yang memiliki tingkat elektrifikasi rendah yaitu NTT 85%, dan Maluku 92%. Bahkan masih ada 433 desa yang belum teraliri listrik sama sekali. Daya listrik yang selama ini disuplai berasal dari PLN untuk 74.430 desa, dan sebanyak 5.515 desa (7,4%) dilakukan secara swadaya masyarakat (http://ebtke.esdm.go.id/post/2020/04/08/2527/pemerintah.kejar.elektrifikasi.433.desa.di.wilayah.timur).
Meski sumber energi primer yang berasal dari fosil di Indonesia melimpah, kenyataannya tarif listriknya termahal no. 4 di Asia Tenggara, mengalahkan Laos yang sumber energinya sepenuhnya berasal dari EBT dan impor.
Tata Kelola Listrik Kapitalistik Penyebab Listrik Mahal
Mahalnya tarif listrik di Indonesia beserta permasalahan yang mengikutinya yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat panjang tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi yang mencengkeram saat ini.
Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.
Pertama: Liberalisasi sumber energi primer.
Disahkannya UU 3 Tahun 2020 sebagai Perubahan terhadap UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara semakin memudahkan penguasaan tambang batu bara oleh korporasi.
Analis MNC Sekuritas Catherina Vincentia menyebut revisi UU Minerba dapat menjadi angin segar bagi emiten pertambangan. Salah satu poin dari revisi ini adalah mengenai otoritas manajemen dan perizinan, di mana pemerintah pusat akan memiliki otoritas untuk pemberian izin dan pengawasan pertambangan.
UU no. 22 tahun 2001 juga menjadi payung hukum legalisasi penguasaan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia. Akibatnya hampir 80% ladang migas Indonesia dikuasai asing (ugm.ac.id, 26/9/2013).
Kedua: Liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik.
Kekacauan pengelolaan listrik terjadi sejak 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik dengan dikeluarkannya Keppres No. 37 Tahun 1992.
Saat itu digembar-gemborkan kita akan kekurangan pasokan listrik, karenanya perlu dibuka pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Sejak itu berdirilah berbagai pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN.
Liberalisasi ini diperkuat UU No. 30 th 2009 tentang ketenagalistrikan. Dilakukan unbundling vertical (pemecahan secara fungsi, yaitu fungsi pembangkit, transmisi, dan distribusi).
Dengan demikian, pembangkit, transmisi, dan distribusi, hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta.
Pakar Kelistrikan Ahmad Daryoko mengatakan, PLN Jawa-Bali sebenarnya telah berlangsung “unbundling vertical” dan liberalisasi kelistrikan. Cuma, biaya akibat terjadinya liberalisasi listrik di wilayah ini berupa “multi transfer pricing cost“, saat ini masih ditanggung PLN.
Jika peran PLN untuk menombok liberalisasi itu tidak ada lagi, semua harus ditanggung konsumen dengan konsekuensi tarif listrik yang mahal. Akibatnya seperti yang terjadi di Filipina di mana model unbundling harga listriknya termahal di dunia, atau di Kamerun, pada beban puncak tarif listrik naik menjadi 5-10 kali lipat.
Akibat liberalisasi ini, harga listrik akan terus naik, namun layanannya semakin buruk. Karena listrik merupakan hajat hidup, berapa pun harganya pasti dibeli meski dengan layanan seadanya.
Maka, guna meningkatkan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik di dalam negeri, pemerintah mendorong peran swasta untuk ikut serta dalam penyediaan tenaga listrik seperti yang tercantum dalam Peraturan pemerintah Nomor 14 tahun 2012.
Menelisik laporan keuangan PT PLN (Persero) 2014-2019, pembelian tenaga listrik meningkat cukup tinggi, pertumbuhannya mencapai 81 persen pada 2019, dibandingkan dengan 2014. Besarnya pembelian listrik kepada pihak swasta juga disebabkan dari kesepakatan jual listrik swasta itu mengandung klausul Take or Pay (ToP).
PLN terkena kewajiban membeli listrik swasta sesuai kapasitas yang ada dalam kontrak. Akibatnya, PLN tidak bisa menurunkan kapasitas yang dibeli dari listrik swasta, dan tetap dibeli walaupun PLN tidak bisa menyalurkannya kepada masyarakat. Hal inilah yang menjadi salah satu kerugian PLN (dan anak perusahaan) yang nilai tomboknya mencapai Rp9,420 triliun.
Khilafah: Listrik Murah, Berkualitas
Khilafah memiliki aturan paripurna karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah SWT yang menciptakan manusia dan semesta alam ini. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan milik umum, dilihat dari dua aspek:
Aspek pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori “api” yang merupakan milik umum. Nabi Saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Termasuk dalam kategori api tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.
Aspek kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar, seperti migas dan batu bara yang juga milik umum.
Abyadh bin Hammal ra. bercerita, ia pernah datang kepada Rasulullah Saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata, Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).
Riwayat ini berkaitan dengan barang tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul Saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu tambang itu seperti laksana air yang terus mengalir, Rasul menariknya kembali dari Abyadh. Laksana air yang terus mengalir maksudnya cadangannya besar sekali, sehingga menjadi milik umum.
Karena milik umum, bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersial, baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengomersialkan hasil olahannya seperti listrik.
Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan pada pihak swasta apa pun alasannya. Negara bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas; Dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat, baik kaya atau miskin, muslim maupun nonmuslim.
Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah akan terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga yang melangit.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS 8: 24). [MNews/Gz]
Saatnya kembalikan semua kekayaan alam pada rakyat, jangan lagi dikelola korporat yg hanya memenuhi kepentingan sendiri.
Rindu khilafah tegak, agar semua persoalan yg membeli umat segera teratasi dgn tuntas.