KeluargaPendidikan Anak

Menumbuhkan Kepekaan Politis pada Anak

Oleh: Ummu Fairuzah

MuslimahNews.com, KELUARGA – Tak hendak angkat bicara soal affirmative action ala-ala gender. Bahasan menumbuhkan kepekaan politis pada generasi muslim, tidak kalah penting dengan tema-tema pendidikan anak pada umumnya.

Sebab, politik bermakna riayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang merupakan bagian dari kemuliaan dan keagungan Islam. Maka, membibit kepekaan politis pada anak berarti menyiapkan benih unggul manusia-manusia penebar rahmat di seluruh penjuru alam.

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai (Islam). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS an-Nur: 55)

Kuncinya pada Orang Tua

Fitrah anak hidup dalam buaian ayah bunda. Segala pikir dan rasa seorang ibu selama menjalankan peran strategis ummun wa rabbatul bait sangat mungkin ter-copy paste pada kepribadian buah hatinya. Anak akan belajar melihat, mendengar, menilai, dan merasa dalam kehidupan dari sosok terdekatnya.

Misalnya, ibu yang meneteskan air mata kesedihan membaca berita anak-anak Yaman kelaparan, atau senyum simpul di sudut pipi ibu mendapati kabar jutaan manusia menyemut di Monas menuntut pengadilan seorang penista Al-Qur’an.

Juga seorang ibu yang merasa terzalimi kebijakan asuransi kesehatan dan kenaikan bahan pangan, serta keikhlasan dan kesabarannya mengajari anak belajar membaca Al Qur’an, seluruhnya akan memengaruhi alam sadar anak tentang bagaimana potret kehidupan yang dijalaninya.

Baca juga:  Tiga Level Tujuan Pendidikan Anak

Juga bagaimana seorang anak akan bangga membawa bendera dan panji Rasulullah liwa’ dan rayyah sambil berteriak, “Allahu Akbar!”

Pun celoteh anak, “Demokrasi ya itu yang kemiskinan… maka dakwah itu Khilafah…” sambil membaca buku yang terbalik. Kadang gadis mungil berbisik, “Mi, itu orang kenapa bajunya kekecilan, kaki dan rambutnya tidak ditutup?” dan anak lelaki yang bangga mengumumkan cita-citanya di depan kelas ingin menjadi pilot Khilafah. Masya Allah.

Benar rupanya kalimat “like mother like daughter, like father like son”.

Mewariskan Islam

Namun, ada kabar miris datang dari tanah Toraja. Seorang siswi SMA nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon jambu lantaran putus cinta. Bagaimana perasaan orang tuanya? Mungkin antara sedih bercampur malu.

Dalam pandangan Islam, usia SMA bukan usia anak-anak. Itu usia akil balig seorang perempuan dewasa. Sangat receh pilihan hidupnya. Jangankan memikirkan urusan umat di tengah gelombang penolakan UU Omnibus Law atau memberikan solusi bagi negeri yang terperosok jurang resesi, memikirkan diri sendiri saja tak mampu. Innalillaahi

Sehingga, menjadi makin jelas bagaimana seharusnya tanggung jawab orang tua menanamkan keimanan yang kokoh pada anak mereka, bahwa peninggalan yang paling berharga bukan harta maupun tahta.

”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS an-Nisaa’: 9)

Baca juga:  Tiga Pembiasaan Perusak Pribadi Anak

Pendidikan agama merupakan kebutuhan hidup (a necessity of life) bagi anak. Pendidikan anak dengan ajaran Islam itu bukan wujud paksaan, intimidasi, dan ancaman. Islam adalah konsep pemikiran yang mudah dicerna siapa saja.

Anak-anak yang dididik dengan basis Islam, akan teguh dalam berprinsip. Islam pun akan menjadikan anak-anak memiliki sandaran kehidupan yang hakiki, yakni Allah SWT.

Generasi Penebar Risalah Agung

Allah SWT berfirman dalam ayat yang mulia,

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali ‘Imran: 110)

Syariat menggariskan amal dakwah bagi setiap muslim sebagai kewajiban (fardu ain). Dengan dakwah dan jihad, risalah Islam yang datang di tanah Arab dapat menyebar ke seluruh dunia.

Penerapan syariat-Nya mampu membawa rahmat selama belasan abad. Allah SWT sendirilah yang menjaga agama-Nya walau kaum kafir dan munafik membencinya.

Generasi Muslim sebagai penerus dan pengemban risalah Islam yang agung, butuh memahami visi besar Islam. Mereka juga butuh dibiasakan mengindra berbagai hal ihwal terkait umat. Mereka perlu diajak menengok sirah dan tarikh Islam agar mereka memahami posisinya sebagai umat terbaik.

Islam membutuhkan kepemimpinan yang adil dan diridai Allah SWT, untuk mewujudkan kembali penerapan Islam dalam kancah kehidupan bernegara serta menyempurnakan penyebarannya ke seluruh penjuru bumi. Bukan kepemimpinan yang zalim dan keras terhadap umat.

Baca juga:  Melindungi Generasi, Pengamat: Jangan Berharap kepada Rezim yang Sudah Nyata Kegagalannya

Di sinilah urgensi peran orang tua membangun biah/lingkungan kepekaan politis pada diri anak.

Dari Sedekah sampai Khilafah

Jurang kemiskinan tak terelakkan akibat sistem rusak menguasai dunia. Di negeri-negeri muslim, menjamur para pengemis dan gelandangan. Maka, kita bisa berhenti di lampu merah misalnya, lalu membuka kaca jendela mobil meminta anak kita memberikan sedekah dengan tangannya sendiri, dilanjutkan dengan membahas ringan ketiadaan pemimpin yang mengurusi kebutuhan mereka.

Tradisi tahunan menyerahkan zakat fitrah langsung kepada mustahik bersama keluarga di akhir bulan suci Ramadan dan membagikan zakat mal kepada tetangga dan teman sekolah anak, juga bisa dilakukan.

Orang tua juga bisa bertanya pendapat anak tentang kehidupan fakir miskin untuk menumbuhkan empati, belas kasih. Menjelaskan bahwa itu hanyalah sedikit dari keadaan kaum muslimin yang sebenarnya tanpa penerapan syariat.

Dengan demikian, anak akan belajar bersyukur dalam berbagai keadaan. Belajar dari kemampuan orang lemah yang hidup dalam keterbatasan namun tetap dalam ketaatan, untuk menumbuhkan girah perjuangan dan sikap tak berputus asa terhadap rahmat-Nya.

Orang tua bisa mengajak anak mencintai Nabi Muhammad Saw. melebihi diri dan keluarganya, belajar dari kasus penghinaan terhadap Nabi; Mengajarkan marah yang disyariatkan dan menahan amarah dalam perkara yang lebih ringan; Menumbuhkan kerinduan terhadap sistem warisan Rasulullah –Khilafah Rasyidah yang kedua– atas ketidakberdayaan umat membela manusia tercinta baginda Rasulullah Saw.

Semua ini dilakukan dalam momen belajar atau bermain, momen keluarga, ataupun momen rihlah. Jelasnya, menumbuhkan kepekaan politis pada anak sejak dini akan membuahkan generasi calon pemimpin pada waktunya nanti. Insya Allah. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *