Intelektual Menyongsong Terbitnya Fajar Cahaya Khilafah
Oleh: Indira S. Rahmawaty (Praktisi Pendidikan Tinggi Islam di Bandung)
MuslimahNews.com, FOKUS – Ilmu adalah cahaya. Demikian perkataan masyhur yang kerap terdengar di telinga kita. Apa itu cahaya? Jika kita kaitkan dengan ayat Alquran dalam surah Al Baqarah ayat 257, tentu kita akan memahami bahwa “Nuur” adalah lawan dari “dzulumaat” atau kegelapan.
Nuur dalam surah Al Baqarah ditafsirkan sebagai keimanan dan dzulumaat sebagai kekufuran. Jika kita kaitkan dengan ayat Alquran Surah Al Mujaddalah ayat 11 tentang ketinggian derajat orang-orang yang memiliki ilmu, maka kita akan membaca bahwa kata iman didahulukan daripada ilmu.
Ini menunjukkan ilmu adalah saudara kembarnya iman. Ilmu yang tidak dilandasi keimanan tentu tidak akan menjadi cahaya. Sementara ilmu pada hakikatnya adalah cahaya yang mampu menyingkirkan kegelapan dan kesempitan, bukan sebaliknya.
Jika dikaitkan dengan karakteristik intelektual sebagai sosok yang identik dan berkecimpung dalam ilmu, maka intelektual sejati tentu saja intelektual yang menancapkan dan menstandarkan cara berpikir dan bersikapnya pada keimanan dan ilmunya.
Iman dan ilmunya ini akan mampu membimbing dan menjadi kekuatan bagi para intelektual untuk mengenali cahaya kebenaran dan kegelapan kebatilan, juga menggerakkannya untuk tak berdiam diri melihat kegelapan yang menimpa di sekelilingnya.
Dan sungguh, sudah hampir satu abad lamanya, semua sisi kehidupan berada di dalam kegelapan bahkan dengan adanya pandemi Covid-19 yang makin menelanjangi kegelapan, kebobrokan, dan kejahatan sistem sekuler kapitalis.
Menyongsong Khilafah: Peradaban Emas yang Penuh Cahaya
Cahaya itu adalah keimanan. Kebenaran yang datang dari Allah Yang Mahabenar, ketaatan pada seluruh hukum syariat. Yang pernah memancar dan menerangi kehidupan manusia dalam sebuah peradaban emas Islam di bawah naungan Khilafah.
Beberapa intelektual menyebutnya sebagai Civilization of Faith, Masyarakat Qur’ani, peradaban muslim yang selama 13 abad lamanya menjadi kekuatan yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Ya, Khilafah adalah peradaban penuh cahaya yang mengeluarkan masyarakat dari kegelapan. Gambaran peradaban gemilang yang saat ini sejarahnya terus dikaburkan dan dikubur.
Namun seolah tak terbendung, wacana Khilafah terus bergaung di tengah berbagai kezaliman yang terjadi. Semakin keras upaya mengaburkan bahkan menyerangnya, semakin terkuak bukti kegemilangannya. Hal ini karena Khilafah bukan hanya masalah bukti sejarah, tapi Janji Allah SWT dan bisyarah Rasulullah saw.
Maka, siapa yang kuasa untuk menghadapi janji Allah dan Rasul-Nya? Makin ditempa ujian dan fitnah, ide Khilafah akan makin bercahaya, berkilauan, memukau, diperjuangkan, dan dirindukan.
Intelektual Wajib dan Membutuhkan Dakwah Khilafah
Sirah Rasulullah saw. menunjukkan Islam adalah din yang diterima dan diperjuangkan orang-orang yang berpikir, serta jujur dan berani mengambil risiko atas kebenaran yang telah dipahaminya.
Mereka adalah intelektual yang sesungguhnya. Ali Syari’ati misalnya, menyatakan kaum intelektual dalam arti sebenarnya bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan sekelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli ataupun “aspal”).
Mereka juga bukan sekadar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. (Ali Syari’ati, Ideologi kaum intelektual: Suatu wawasan Islam. 1984: 15 Mizan)
Hal ini selaras dengan sifat dakwah Rasululllah Saw. berupa jalan dakwah pemikiran dan dakwah politis.
Pertanyaannya, pemikiran tentang apa? Ternyata, pemikiran yang dibawa Rasulullah saw. adalah pemikiran yang kontradiktif dan konfrontatif dengan pemikiran masyarakat jahiliah saat itu. Pemikiran yang dibawa Rasulullah saw. adalah pemikiran yang sebaliknya, bahkan menyerang standar dan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat Makkah kala itu.
Pemikiran tersebut adalah pemikiran tentang tauhid, tentang kebobrokan berbagai ide dan praktik jahiliah, pemikiran yang mengkritik “berhala-berhala” yang selama ini disembah. Inilah dakwah pemikiran-politis yang tentu saja mengguncang masyarakat pagan Arab jahiliah yang penuh dengan praktik keburukan dan kejahatan.
Rasulullah saw. menunjukkan sikap tidak berkompromi dengan pemikiran serta hukum jahiliah, meskipun sikap tersebut berkonsekuensi risiko perlawanan dari para tokoh jahiliah. Perlawanan yang mempertaruhkan segalanya bahkan nyawa.
Inilah dakwah pemikiran-politis yang menantang dan ingin mengganti visi dan aturan hidup bahkan tradisi jahiliah yang menjadi mainstream saat itu. Sebuah teladan dakwah yang wajib diikuti muslim mana pun, terlebih para intelektual yang bergelar Ulul Albab.
Intelektual Wajib Bersiap Menjadi Pengisi Khilafah
Selain itu, sejarah perubahan peradaban pun menunjukkan peran intelektual, bahkan menjadi pionir dan agent of change yang bergerak secara kontinyu, aktif, dan kontributif di dalamnya.
Intelektual memiliki kesempatan emas lainnya yang tidak boleh disia-siakan, yaitu kesempatan menjadi para pengisi Khilafah sesuai keahlian di bidangnya. Saat di mana ilmu yang dimiliki para intelektual dipersembahkan untuk kemuliaan dan kemajuan Islam dan umat Islam secara maksimal.
Maka, intelektual muslim harus memastikan diri menjadi bagian yang memperjuangkan Khilafah. Ini adalah konsekuensi iman dan ilmunya. Bukti dari memenuhi seruan Allah SWT.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfâl ayat 24)
Juga memenuhi seruan untuk dakwah bersinergi dengan berbagai elemen lainnya sebagaimana terdapat dalam surah Ali Imran: 104.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Syekh Taqiyuddin an Nabhaniy menyatakan, kebenaran akan meruntuhkan kesombongan, baik sombong karena harta, kedudukan, maupun ilmu. Orang-orang yang jiwanya memiliki kesucian, kebeningan hati, dan kebenaran, mereka menanggalkan permusuhan dan kesombongan diri mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyerahkan wajah mereka kepada Allah, semata-mata karena mengetahui kebenaran dakwah Islam dan juru dakwahnya. (Negara Islam, 2000:35).
Wahai para intelektual, mari kukuhkan pilihan untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menerima seruan dakwah untuk menyongsong terbitnya fajar cahaya Khilafah. Alhamdulillaahi Rabb Al-Alamiin. [MNews/Gz]
BismiLlah. Allahu Akbar
Masya Allah