Omnibus Menggerakkan Kampus, Sinyal Memutus Rezim Rakus

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si. (Koordinator LENTERA)

MuslimahNews.com, OPINI – Terdapat surat edaran (SE) Kemendikbud kepada pimpinan perguruan tinggi yang mengimbau mahasiswa untuk tidak mengikuti unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker).

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam, pihak yang menerbitkan SE tersebut, berdalih pihaknya tidak mengekang kebebasan berpendapat ataupun akademik melalui imbauan ini. Pihaknya juga mengklaim isi SE tersebut sama sekali tidak bersifat memaksa. (cnnindonesia, 11/10/2020).

Menurutnya, hal tersebut sebagai wujud tanggung jawab pihaknya agar mahasiswa tetap terjaga dari penyebaran virus Corona di tengah pandemi. Untuk itu, ia menyarankan kampus mendorong kritik melalui kajian akademis kepada DPR dan pemerintah.

Mahasiswa-Akademisi vs Rektor?

Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim meminta Kemendikbud tidak alergi dengan sikap mahasiswa yang mengkritisi UU Ciptaker, karena itu semua wujud kebebasan akademik. Jadi, Kemendikbud memang tak semestinya mengekang.

Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa adalah bagian dari ekspresi setelah pemerintah dan DPR mengabaikan aspirasi penolakan yang disampaikan pihak buruh dan aktivis lingkungan terhadap pengesahan UU Ciptaker.

Pun polemik yang mewarnai UU Ciptaker mencerminkan bahwa dalam pembahasannya, pemerintah dan DPR tidak membuka banyak ruang dialog dan partisipasi masyarakat dengan baik.

Kendati ada SE tersebut, aksi mahasiswa ini didukung para dosen/akademisi. Lebih dari 200 akademisi menandatangani pernyataan penolakan UU Ciptaker, terdiri dari para dekan, profesor, dan akademisi dari 67 universitas di Indonesia (voaindonesia, 08/10/2020).

Bahkan diberitakan, ada seorang dosen yang akan memberi nilai A kepada mahasiswanya yang ikut aksi unjuk rasa tersebut. (republika, 08/10/2020).

Menariknya, di balik pengesahan UU Ciptaker, juga diketahui terdapat 12 rektor dari perguruan tinggi negeri dan swasta masuk dalam anggota Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia KADIN) untuk Konsultasi Publik Omnibus Law. Satgas membantu penyusunan RUU Omnibus Law yang wujudnya berupa UU Ciptaker yang disahkan DPR 5 Oktober lalu. (tirto.id, 09/10/2020).

Susunan pembentukan satgas dimuat dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 378 Tahun 2019, yang ditandatangani Menteri Airlangga Hartarto pada 9/12/2019. Namun demikian, Satgas Omnibus Law ini juga sedang dalam sorotan karena ada kemungkinan nama-nama mereka dimasukkan tanpa ada pemberitahuan, persetujuan, maupun pelibatan.

Baca juga:  Mampukah Investasi Menciptakan Lapangan Kerja?

Berikutnya, muncul pernyataan tritagonis dari Forum Rektor Indonesia (FRI) yang meminta pemerintah membuka salinan resmi Omnibus Law UU Ciptaker kepada publik. Ketua Dewan Pertimbangan FRI yang juga Rektor Universitas Diponegoro, Yos Johan Utama mengatakan hal itu dilakukan agar semua pihak memiliki landasan yang pasti dalam menentukan sikap terkait UU Ciptaker. FRI berharap, salinan ini sebagai pedoman dalam memberikan pendampingan atau melayani konsultasi. (tirto.id, 12/10/2020).

Apakah ini bisa dikatakan sebagai suasana memecah belah berikut upaya mengekang pemikiran (represif) insan terdidik perguruan tinggi? Bisa jadi.

Atmosfer Pendidikan Ber-tasaqfah Asing

Para mahasiswa itu sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang menyambungkan rakyat dengan penguasa. Semestinya kampus memfasilitasi mahasiswa agar menjadi intelektual yang dapat membela situasi rakyat, termasuk melalui berbagai aksi unjuk rasa.

Demikian halnya para akademisi. Kekritisan mereka layak diacungi jempol, mengingat pekatnya arus World Class University (WCU) yang telah mengalihkan dunia mereka. Kampus yang semestinya menjadi pusat peradaban dan agen perubahan, telah terlalu lama terpasung dalam kebekuan berpikir dan menara gading. Aspek pengabdian masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, sejauh ini sebatas tindakan normatif namun kosong dari visi sistemis kebijakan negara.

Bersumber dari konsep pendidikan nasional yang jauh dari nilai-nilai Islam, pendidikan tinggi selalu terbenakkan oleh filosofi bebas nilai. Padahal, konsep seperti ini hanyalah kamuflase sekularisme itu sendiri. Imbasnya, intelektual dan kaum terpelajar terjebak di persimpangan antara perasaan mereka sebagai bagian dari negeri muslim dengan pemikiran yang dibutuhkan umat menuju kehidupan yang lebih baik.

Buktinya, ketika dunia pendidikan tinggi bergelimang penghargaan dan peringkat sebagai perguruan tinggi terbaik nasional maupun internasional, nyatanya tak berdampak signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Krisis multidimensi masih saja menghantui, padahal negeri ini sudah 75 tahun merdeka. Ini tentu tak terjadi begitu saja. Pasti ada problematik di baliknya.

Baca juga:  Omnibus Law RUU Cipta Kerja Zalim pada Buruh

Tak lain, ini semua justru akibat penjajahan yang terjadi sejak era Perang Dunia I dan menguat pada era Perang Dunia II. Meski akhirnya “berhadiah” kemerdekaan, namun ide-ide dan tsaqafah penjajah ternyata juga terjejak di seluruh dunia Islam.

Dampaknya bisa kita rasakan hingga detik ini. Keberadaan tsaqafah penjajah yang sudah pasti asing dengan masyarakat Islam tersebut, sangat memengaruhi perjalanan hidup mereka hingga masa mendatang. Tak heran jika di kemudian hari ada Muslim yang membenci Islam, bahkan cenderung membela bangsa asing yang notabene bukan Islam.

Metode paling efektif untuk memantau daya sebar dan dampak signifikansi tsaqafah asing ini adalah melalui sistem pendidikan. Pada akhirnya, kita temukan segolongan besar intelektual dan kaum terpelajar yang acuh, bahkan apatis dengan politik dan arah gerak perubahan sosial di tengah masyarakat. Wajar jika kemudian masyarakat tetap lekat dengan keterpurukan.

Inilah yang terjadi, ketika revolusi dan kemajuan sistem pendidikan di dunia Islam termasuk Indonesia, tidak terformat untuk meraih kebangkitan umat.

Intelektual, Agen Perubahan

Harus diakui, intelektual adalah aktor kunci kebangkitan. Perlu dicatat, aktor kunci yang dimaksud tidaklah yang terdefinisi negatif sebagaimana provokator. Akan tetapi, ketika intelektual selaku aktor kunci kebangkitan ini berfungsi dengan baik, pengaruhnya bagi umat juga akan besar.

Fungsi aktor kunci ini dapat diwujudkan ketika terjadi keserasian antara pemikiran dan perasaan di dalam benak kaum intelektual. Ketika fungsi ini sudah terealisasi,  niscaya mereka akan berjuang demi negerinya dengan benar.

Mereka juga akan berkorban untuk kepentingan rakyat dengan sempurna. Perjuangan mereka pun bukan sebatas emosional sesaat, yang akan langsung habis ketika mereka telah beroleh capaian pribadi maupun jabatan.

Demikianlah, pentingnya kaum intelektual tidak hanya bergulat dengan dunia menara gading. Namun jauh dari sekadar itu, peran intelektual untuk membangkitkan umat adalah ketika mampu mengajak umat tertunjuki pada landasan perubahan hakiki disertai pengamalan kehidupan yang sesuai dengan perintah Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan.

Ke sanalah intelektualitas dan perubahan harus diarahkan. Karena, baik kaum intelektual maupun masyarakat, mereka semua adalah sesama makhluk Allah. Maka demi Allah sajalah perubahan sosial itu layak untuk diupayakan. Bukan hanya pada niat yang terkandung, namun secara amalan juga terwahanakan hanya untuk kemenangan din-Nya.

Baca juga:  [News] Pengamat: Terfragmentasi, Gerakan Mahasiswa akan Habis Energi

Firman Allah SWT:

لَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al-A’raf [07]: 179).

Khatimah

Karena itu, sangat disayangkan ketika intelektualitas tidak berbanding lurus dengan ketaatan. Yang ada, hanya akan tercipta intelektual-intelektual sekuler yang mudah tergiur iming-iming dan kemanfaatan dunia.

Arah gerak perubahan tanpa spirit iman yang kukuh, tak ubahnya pergerakan yang membabi buta, tak jelas mengarah ke mana. Ketika ilmu tidak bersanding dengan iman, mustahil derajat yang tinggi selaku aktor kunci kebangkitan itu akan terwujud.

Firman Allah SWT:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11). 

Dengan munculnya kesadaran berbagai pihak di kalangan akademisi dan kaum terpelajar bahwa negeri ini semakin “tidak baik-baik saja” dengan adanya Omnibus Law UU Ciptaker, dapat membantu mengaruskan kesadaran yang setimbang di tengah masyarakat.

Besar harapan, fungsi intelektual sebagai aktor kebangkitan yang hakiki dapat terealisasi, agar sinyal memutus kepercayaan kepada rezim rakus berpeluang menguat di seluruh lapisan masyarakat. Hingga masyarakat bersatu melakukan perubahan yang terjiwai keimanan yang sejati. [MNews/Gz]

4 komentar pada “Omnibus Menggerakkan Kampus, Sinyal Memutus Rezim Rakus

  • 14 Oktober 2020 pada 10:27
    Permalink

    Berjuang untuk perubahan yang hakiki

    Balas
  • 13 Oktober 2020 pada 17:06
    Permalink

    Lindungi lah kami ya Allah

    Balas
  • 13 Oktober 2020 pada 12:39
    Permalink

    Hanya khilafah solusinya

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.