[News] Ustaz Yuana: Omnibus Law Banyak “Dharar”, Wajib Dihilangkan
MuslimahNews.com, NASIONAL – Disahkannya Omnibus Law telah menimbulkan gejolak dan penolakan berbagai pihak. Ustaz Yuana Ryan Tresna dalam Kajian Online “Omnibus Law dan Bahaya yang Harus Dihilangkan” di kanal Khilafah Channel (7/10/2020) menilai, dari kompleksnya persoalan yang muncul menunjukkan ada bahaya di Omnibus Law ini yang harus dihilangkan.
Melalui salindia yang ditayangkan di kanal tersebut, Ustaz Yuana menyatakan hal ini sesuai hadis Rasulullah,
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺقَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُمَا مُسْنَدًا، وَرَوَاهُ مَالِكٌ فِي المُوَطَّأِ مُرْسَلاً عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺفَأَسْقَطَ أَبَا سَعِيْدٍ، وَلَهُ طُرُقٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا.
Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja ataupun disengaja.”[1]
Hadis ini menunjukkan nahi (larangan), “Jangan membuat dharar dan dhirar,” tegasnya. Beliau melanjutkan dalam riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi ada tambahan,
َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
“Barang siapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barang siapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.”[2]
Ustaz Yuana menjelaskan, Islam mendorong untuk menghilangkan bahaya dan dilarang memberikan bahaya kepada orang lain.
“Bahaya ini bisa diberikan pada badan, harta, anak, hewan, ternak, dan lainnya. Hadis ini berisi kaidah syariat yaitu menghilangkan dharar dan dhirar,” paparnya.
Ustaz Yuana mengutarakan, dalam Kitab syarah Hadits Arba’in karya Al Qadi Al Imam Al ‘Alamah Ibnu Daqiq Al Ied, hadis ini berkaitan dengan larangan atau haramnya kezaliman yaitu menzalimi yang lain.
“Menjadi perkara yang makruf bahwa tindakan zalim adalah haram,” tegasnya.
Kemudian beliau mengutip hadis qudsi dari Abudzar Al Ghifari dari Rasulullah Saw., sesungguhnya Allah SWT telah berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”
“Sebagian ulama berpendapat dharar dan dhirar maknanya sama,” urainya.
Dharar dan Dhirar
Pengulangan kata dharar dan dhirar, adalah sebagai bentuk penegasan. Namun, dijelaskan Ustaz Yuana, ada pendapat lain yang menyatakan maknanya berbeda.
Dharar bermakna memberi bahaya kepada orang lain, tetapi memberikan manfaat bagi dirinya. Dimaknai pula dengan merugikan orang lain, namun tidak merugikan dirinya. Sedangkan dhirar adalah merugikan orang lain yang merugikan dirinya pula, yakni membalas keburukan dengan yang lebih buruk.
“Kalau dharar saja dilarang, lebih-lebih lagi dhirar,” tandasnya. Lalu, tambahnya, para ulama kemudian menyatakan hadis ini bermakna “janganlah kamu berlaku khianat atau zalim kepada orang lain.”
Ustaz Yuana memaparkan, para ahli fikih membuat kaidah fikih terkait hadis tersebut sebagai berikut:
Pertama,
الأصل في المضار التحريم
“Hukum sesuatu yang mudarat adalah haram.”
Ustaz Yuana menyatakan, “Kaidah ini sangat relevan dengan UU Cipta Kerja yang secara nyata berisi dharar dan dhirar, serta merupakan kezaliman. Sehingga isi dari omnibus law ini haram.”
Kedua,
كلّ فرد من أفراد المباح إذا كان ضارًّا أو مؤدّياً إلى ضررٍ حرّم ذلك الفرد و ظلّ الأمر مباحاً
“Setiap bagian dari perkara-perkara yang mubah apabila berbahaya atau akan mengakibatkan bahaya, maka bagian tersebut diharamkan, sementara perkara yang mubah lainnya tetap berada dalam kemubahannya.”
Namun Ustaz Yuana menyatakan, kaidah ini kurang relevan bila dilihat dari fakta Omnibus Law.
Ketiga,
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan.”
Ketika menjumpai dharar, maka harus dihapuskan dan dihilangkan.
Keempat.
دَرْءُ الْـمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْـمَصَالِحِ
“Menghindarkan kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
Menurut Ustaz Yuana, sedikitnya ada 3 (tiga) kaidah yang relevan terkait Omnibus Law. Berbagai narasi yang menyatakan ada sisi positif dari sisi negatifnya seperti melancarkan investasi asing, menggairahkan ekonomi, akan terbantahkan dengan kaidah ini.
“Kalaupun ada secuil kemaslahatan dari banyaknya kemudaratan, maka menghindarkan mafasid (kerusakan) lebih diutamakan daripada kemaslahatan,” tukasnya.
Rincian Dharar dalam Omnibus Law
Ada enam dharar yang dirinci Ustaz Yuana. Pertama, kezaliman membuat hukum, yaitu menempatkan manusia sebagai Hakim -yang menetapkan hukum- yang berkaitan dengan masalah tasyri’.
Kedua, memberikan jalan kemudahan kepada para kapitalis/pemodal asing menguasai kaum muslimin. Ketiga, makin lemahnya peran negara sebagai institusi yang menegakkan hukum dan memelihara rakyatnya.
Keempat, membuka jalan dikuasainya sektor-sektor strategis oleh swasta. Kelima, menyengsarakan dan menyulitkan rakyat kecil. Dan keenam, menimbulkan kerusakan lingkungan.
“Pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi sebelum ada Omnibus Law, maka saat Omnibus Law ini diundangkan oleh Kemenkumham, pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah tidak ada, karena undang-undangnya sudah membolehkan (pelanggaran tersebut –red.),” kritiknya.
Ustaz Yuana mengingatkan semua dharar (bahaya) tersebut adalah haram dan harus dihilangkan.
“Hukum yang menimbulkan bahaya harus diganti dengan hukum Islam yang berasal dari Rabb semesta alam,” tegasnya. [MNews/Ruh-Gz]
Catatan Kaki:
- (Hadis hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain.)
- (Hadits Abû Sa’îd di atas memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat lain, di antaranya ‘Ubâdah bin ash-Shâmit (Ibnu Mâjah, no. 2340), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (Ibnu Mâjah, no. 2341), Abu Hurairah, Jâbir bin ‘Abdillâh, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, Abu Lubâbah, dan ‘Aisyah Radhyallahu anhum. Hadits ini dinilai hasan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Arba’în, Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam.)
Astaghfirullah.. ya Allah
Dzolimnya kebangetan