Memahami Penggalian Hukum Kewajiban Menegakkan Khilafah
Oleh: Yuana Ryan Tresna
MuslimahNews.com, TSAQAFAH – Di antara bentuk nikmat Allah adalah ketika salah satu ajaran-Nya yang semula begitu asing, kini menjadi bahan perbincangan. Simbolnya (panji dan bendera Rasulullah) dibahas di mana-mana.
Seiring waktu, umat mulai mengenal salah satu simpul ajaran Islam yang telah lama lepas. Ajaran yang pada akhir-akhir ini dicitraburukkan dan dikriminalisasi sebagai ideologi berbahaya. Ajaran tersebut tiada lain adalah al-Khilafah al-Islamiyyah. Sebuah model kepemimpinan politik yang sudah menjadi ijmak di kalangan ulama ahlusunah waljamaah.
Misalnya, muncul tuduhan bahwa tidak ada kewajiban menegakkan Khilafah baik dalam Alquran maupun al-Sunnah. Demikian juga anggapan bahwa tidak ada model baku sistem Khilafah dalam Alquran dan al-Sunnah.
Untuk tujuan itulah tulisan ini dibuat; membuktikan bahwa kewajiban menegakkan Khilafah memiliki landasan normatif yang kukuh berdasarkan dalil-dalil syariah, dan bahwasannya Islam telah mengisyaratkan model baku sistem kepemimpinan politik bagi umat ini yakni sistem Khilafah.
Mengapa Begitu Asing?
Untuk menjawab mengapa sistem politik agung yang pernah berjalan selama 13 abad ini menjadi terasa asing, alangkah baiknya kita memulai dari membangun kesadaran bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal. Allah SWT berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan kami telah menurunkan kepadamu Alquran sebagai penjelas atas semua perkara, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi kaum muslim.” (QS Al-Nahl: 89)
Abdullah Ibn Mas’ud ra. menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.[1]
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui Alquran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi Saw bersabda,
لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad).
Lafaz عُرْوَةً عُرْوَةً menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.[2] Adapun maksud kalimat وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan.
Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.[3]
Belum lagi hal itu karena kelemahan internal umat Islam. Kelemahan tersebut disebabkan karena mereka terlampau cinta akan kehidupan dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Saw. terkait penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati).
Bagaimana tidak, kitab kecil semacam Ghayah wa al-Taqrib (Matan Abi Syuja) saja isinya mulai bab thaharah, shalat, hingga membahas bab jihad, ghanimah, jizyah, dan qadha (peradilan). Buku Fikih Islam karya KH. Sulaiman Rasyid saja membahas mulai dari thaharah hingga Khilafah.
Demikian juga ketika mengkaji hadis, dalam Shahih Bukhari ada Kitab al-Ahkam dan dalam Shahih Muslim ada Kitab al-Imarah, dalam Sunan Abi Dawud ada Kitab al-Aqdhiyyah, dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah ada Kitab al-Ahkam, serta dalam Sunan Nasa’i ada kitab al-Bai’ah. Jika bab-bab tersebut masih dirasa asing, jangan-jangan umat ini tidak pernah tuntas dalam belajar ajarannya sendiri.
Definisi Khalifah dan Khilafah
Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata Khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[4] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat alquran.
Allah Swt berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS Al-Baqarah: 30)
Demikian juga dengan ayat-ayat berikut ini,
وَهُوَ الَّذِي جعلكُمْ خلائف الأَرْض
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (QS Al-An’âm: 165)
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ
‟Dan siapa yang menjadikan kamu (manusia) sebagai Khalifah-khalifah di bumi?” (QS Al-Naml: 62)
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad Saw. dijadikan Khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”[5]
Demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, “Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”[6]
Adapun makna syar’i dari istilah Khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang teragung). Imam al-Ramli mendefinisikan dengan,
الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan Khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[7]
Prof. Muhammad Rawwas Qal’ahji mendefinisikan Khilafah sebagai,
الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
“Khalifah adalah seseorang yang memegang kepemimpinan umum bagi kaum muslim, yakni pemimpin tertinggi bagi negara Islam (al-Dawlah al-Islamiyyah).”[8]
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih praktis,
الخليفة هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي تنفيذ أحكام الشرع
“Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”[9]
Para ulama mengklasifikasikan kata imam, Khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraduf). Imam Imam al-Nawawi menyatakan,
يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين
“Imam boleh juga disebut dengan Khalifah, imam atau amirul mukminin”[10]
Adapun asal usul kata Khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja Khalafa, jika Khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah Khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Khilafah dan Imamah adalah sinonim.
Imam al-Mawardi mendefinisikan sebagai,
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Imamah itu menduduki posisi untuk Khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”[11]
Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,
الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.”[12]
Definisi yang jami’ dan mani’ (menyeluruh dan mengeluarkan yang tidak perlu) adalah,
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”[13]
Jelaslah, bahwa istilah Khalifah, imam, amirul mukminin, Khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Kewajiban menegakkan Khilafah didasarkan pada alquran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, alquran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau Khalifah.
Nas-nas yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
‟Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS Al-Nisa’: 59)
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan taat kepada yang keberadaannya hanya sunah. Maka berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya, sehingga kewajiban tersebut terlaksana.
Ayat tersebut juga mengandung petunjuk (dalalah), keberadaan ulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri (Khalifah) dan sistem syar’inya (Khilafah). Adanya ulil amri memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkan ulil amri membawa konsekuensi lenyapnya hukum syara’.
Pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman,
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS al-Maidah: 48).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).
Seruan Allah Swt untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah Saw untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah.
Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah Khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah.
Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, muamalat, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin telah diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan alquran dan al-Sunnah.
Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa).
Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah. [MNews/Juan]
Allahu Akbar