Adopsi Ekonomi Neoliberal, Indonesia Terjual
Oleh: Rindyanti Septiana, S.H.I.
MuslimahNews.com, OPINI – Sempat ada opini beredar di tengah masyarakat bahwa Indonesia bisa bubar. Apa penyebabnya? Khilafah.
Dilansir dari jpnn.com (26/8/2020), menurut Alissa Wahid selaku Koordinator Jaringan Gusdurian, “paham” Khilafah dapat membubarkan Indonesia.
Tudingan yang tak bertanggung jawab, menuduh dengan mudahnya bahwa Khilafah bisa bubarkan Indonesia. Sementara, mereka tutup mata dengan sistem demokrasi-kapitalis yang saat ini diterapkan.
Jutaan rakyat masih hidup kelaparan, dimiskinkan sistem, ditambah lagi dampak ekonomi yang karut-marut akibat pandemi yang belum mereda.
Padahal, yang berpotensi membubarkan negeri ini ialah sistem demokrasi-kapitalis yang memuluskan kebijakan ekonomi liberal.
Sistem demokrasi-kapitalis melanggengkan liberalisasi di berbagai sektor publik. Hajat hidup orang banyak dikuasai segelintir pemilik modal atas nama investasi. Meski rakyat hidup di negeri yang subur dan kaya sumber daya alam, namun kesejahteraan tak pernah mereka dapatkan. Miris bukan?
Kritik yang Mengalir
Baru-baru ini, aktivis Petisi ’28 Haris Rusly Moti menyampaikan kritikannya tentang kinerja pejabat di negeri ini lewat akun Twitternya.
“Sobat, aku bingung dengan sejumlah pejabat negara yang begitu vokal bela kepentingan RRC di Indonesia. Padahal mereka disumpah bela Indonesia.” (news.idtoday.com, 14/9/2020)
Kritikan tersebut mudah dipahami publik, sebab publik dapat melihat jelas keberadaan Cina yang belakangan makin mendominasi di Indonesia. Dominasi itu dapat dilihat lewat sektor ekonomi, tambang, dan telekomunikasi. Ini yang membahayakan dan harus diwaspadai.
Bukan hanya Haris Rusly Moti saja yang berikan kritikan terkait penguasaan asing di Indonesia. Sebelumnya, Kwik Kian Gie, mantan Menteri di kabinet Megawati mengkritik pemerintah kala itu yang menetapkan Exxon Mobil dalam pengelolaan Blok Cepu.
Menurutnya, pemerintah terlalu lembek. Padahal, apabila Blok Cepu dikelola bangsa Indonesia, keuntungannya sangat besar dan mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Tiga tahun lalu, Bambang Brodjonegoro yang menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menyatakan pengelolaan ladang migas yang diserahkan ke asing terjadi karena negara tak sanggup menggarap semua blok migas itu sendiri lewat tangan Pertamina.
Ia mengungkapkan kenapa migas dikuasai perusahaan raksasa asing berskala besar seperti Chevron, Total, Shell, kemudian sekarang ada Petrochina, karena memang modal untuk eksplorasi migas itu luar biasa besar dan Pertamina sebagai BUMN plat merah tak mampu dengan segala beban pembiayaannya. (finance.detik.com, 24/2/2017)
Alasan Palsu Menipu Rakyat
Namun, apakah dibenarkan dengan alasan tak memiliki modal lantas memberikan kepada asing mengelola migas?
Kalau dikatakan tidak punya modal, sumber daya manusia dan sumber daya alam itu sebenarnya adalah modal. Tetapi kita ditipu oleh satu cara perhitungan modal.
Apakah kekayaan alam kita pernah dihitung sebagai modal? Tidak pernah, kan? Sekarang yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah suatu perusahaan asing mendapatkan kontrak untuk melakukan eksploitasi kekayaan alam di Indonesia, mereka punya uang? Tidak.
Lantas apa yang mereka lakukan? Kekayaan alam kita langsung menjadi jaminan agar bank-bank internasional menggelontorkan uang. Tanah kita digadaikan perusahaan swasta dan asing.
Jadi, sebenarnya yang punya modal siapa? Alasan yang mereka sampaikan pada publik adalah alasan palsu untuk menipu rakyat.
Lebih ironis lagi, pada 2018, pemerintahan Jokowi-JK merevisi daftar negatif investasi (DNI) yang memberikan peluang Penanaman Modal Asing (PMA) untuk berinvestasi di Indonesia di beberapa bidang usaha.
Tak tanggung-tanggung, ada 54 DNI yang dibebaskan untuk dikelola pihak asing. Beberapa di antaranya industri rokok, kayu, rajut, hingga pembangkit listrik di atas 10 MW. (merdeka.com, 19/10/2018)
Apakah ini kebijakan yang merakyat dan Pancasilais? Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan keputusan pemerintah merevisi DNI ini adalah liberalisasi di sektor ekonomi yang akan berdampak negatif terhadap perekonomian rakyat. Karena pihak asinglah yang diuntungkan dengan adanya kebijakan tersebut.
Mengapa Indonesia Mudah Dikuasai Asing?
Perjanjian demi perjanjian yang dilakukan pemerintah dengan negara lain membuka pintu gerbang masuknya asing lewat kerja sama ekonomi dan perdagangan.
Misal, begitu derasnya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang datang dari Cina, hingga berinvestasi di berbagai sektor disebabkan perjanjian Turnkey Project Management yang disepakati dengan pemerintah Indonesia.
Turnkey Project mengatur terkait masuknya investasi Cina, mulai dari penggunaan produk, alat mesin, dan tenaga kerja dari mereka. Pemerintah beralasan hal itu dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Lewat perjanjian itu, Cina telah menciptakan lapangan kerja bagi penduduknya yang mencapai lebih dari 1,5 miliar jiwa. Lalu, setelah perjanjian tersebut disepakati, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? Diam.
Pengamat politik Siti Zuhro pun bersuara dengan mengatakan pemerintah diam saja; meski ramai TKA Cina yang terus masuk ke Indonesia, pembangunan perumahan untuk mereka, masuknya narkoba melalui kontraktor pembangunan Cina, soal e-KTP yang bisa dipalsukan, bahkan isu masuknya paham komunis Cina ke Indonesia; tak menjadi perhatian negara. (Jurnas.com, 20/12/2016)
Jargon yang Terbantahkan
Ditambah lagi, negeri ini makin mudah dikuasai asing sebab dikendalikan melalui utang luar negeri yang terus menggunung.
IMF dan Bank Dunia berani mendikte berbagai kebijakan negara yang meminjam utang. Hasilnya, mayoritas tambang, migas, dan hutan dikuasai asing.
Rakyat hanya gigit jari tak menikmati hasil pengelolaan SDA, sementara SDA mengalir deras pada asing. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Tentu jawabnya ialah negara.
Dapat diprediksi ke depan, negeri ini akan terjual jika tak melepaskan diri dari penguasaan asing, karena sumber daya alam habis dirampok asing.
Angka pengangguran semakin meningkat karena pasar kerja dikuasai SDM asing. Jeratan utang akan menjadi alat bagi asing untuk mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Belum lagi, rupiah akan anjlok kembali selama ekonomi dunia tidak stabil akibat pandemi. Berbahaya sekali bukan?
Jadi, jargon ekonomi kerakyatan, ekonomi pancasila, dan semacamnya, dapat terbantahkan fakta implementasi berjalannya ekonomi neoliberalisme di negeri ini.
Ekonomi neoliberal mengacu pada prinsip menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi. Maka, jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai agreement perdagangan bebas, termasuk Indonesia.
Islam Menawarkan Solusi Realistis
Islam menawarkan solusi realistis, yaitu dengan mengubah haluan politik ekonomi Indonesia menjadi berbasis Islam dalam institusi Khilafah. Semua kebijakan yang menyengsarakan rakyat akan ditata ulang karena tidak sesuai prinsip Islam.
Menurut Taqiyyuddin An-Nabhani, secara umum, perjanjian-perjanjian internasional hukumnya mubah karena masuk dalam kategori hukum ijarah, bai’, dan sharf. Itu pun dengan memperhatikan status politik negara luar tersebut, apakah memusuhi dan memerangi Islam dan kaum muslimin atau tidak.
Jika di dalam klausul perjanjian mengandung hal yang bertentangan dengan syariat Islam, maka tidak boleh ditindaklanjuti. Misal mengekspor komoditas yang vital bagi negara, memperkuat negara lain, atau mengakibatkan kerugian industri dalam negeri.
Kemudian menata ulang kepemilikan atas aset. Sumber daya alam ditata ulang kepemilikannya, migas, emas, nikel, besi, baja, hutan, laut dan berbagai sumber daya yang lain bukan dimiliki negara melainkan milik umat.
Negara hanya mengelolanya dan mengembalikan hasil pengelolaan pada umat. Hasil dari pengelolaan tersebut dapat dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain.
Tidak hanya sampai di situ, butuh elite politik yang memiliki kemauan kuat untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Tentu jua yang amanah dan bertakwa pada Allah SWT, sehingga mereka akan menjalankan kewajiban pengurusan terhadap rakyat dengan pengurusan yang sesuai syariat.
Keluar dari penguasaan asing ternyata bisa dilakukan jika rezim dan sistem yang diterapkan datangnya dari Islam. Negara tidak mudah terjual karena telah mencampakkan ekonomi liberal. Mempertahankan rezim dan sistem saat ini, berarti masih tetap melanjutkan penguasaan asing bercokol di negeri sendiri. [MNews]
Hanya sistem islam yg akan membawa keberkahan
Butuh politik ekonomi islam
Astagfirullah