Intelektual Nasional Bahas Vaksin Covid-19, Sepakati Perlunya Perbaikan Sistem Politik Kesehatan
MuslimahNews.com, NASIONAL — Diketahui, pemerintah Indonesia telah mengimpor vaksin untuk penyakit Covid-19 sebagai salah satu bentuk penanganan pandemi. Namun yang menjadi polemik adalah perkara nominal harga vaksin tersebut.
Sebelumnya sudah terjadi, harga uji rapid test Covid-19 yang mahal. Maka, ketika pada akhirnya ada vaksin, tentu harga vaksin ini juga mengundang reaksi di masyarakat.
Karena bagaimanapun, pandemi Covid-19 ini telah sangat berdampak buruk pada kondisi ekonomi masyarakat, bahkan disebutkan Indonesia menjelang resesi.
Harga vaksin yang mahal, sementara masyarakat sangat membutuhkan, maka ini tentu akan semakin membebani ekonomi masyarakat.
Terkait hal ini, para pakar, intelektual, dan akademisi muslim menyepakati perlunya perbaikan sistem politik kesehatan nasional dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.
Demikian hasil webinar Muslim Intellectual Circle (MIC) #3 bertema Vaksin Covid-19: Menanti Solusi dan Menepis Konspirasi tersebut, Kamis (3/9/2020).
Webinar tersebut disiarkan secara langsung melalui akun YouTube Channel Forum Akademisi Muslim. Sementara itu, di ruang webinar Zoom, acara ini diikuti ratusan peserta yang berasal dari seluruh Indonesia.
Bertindak selaku pemateri yaitu Dr. Berry Juliandi, Ahmad Rusydan Utomo, Ph.D., dan KH Shiddiq Al-Jawi.
Vaksin sebagai Salah Satu Ikhtiar
Pemateri pertama, Dr. Berry Juliandi, Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Dr. Berry menjelaskan mengenai imunitas dan sistem pertahanan tubuh, serta sejarah penemuan vaksin secara umum.
“Memang di antara metode pembuatan vaksin adalah dengan melemahkan bakteri atau virus yang masih hidup (live-attenuated),” papar Dr. Berry.
“Namun, vaksin bukan satu-satunya solusi. Vaksin hanya meningkatkan peluang bagi tubuh kita untuk bisa mengatasi penyakit dengan lebih baik,” lanjutnya.
Jadi, keberadaan vaksin ini, menurut Dr. Berry, sifatnya adalah sebagai salah satu ikhtiar kita untuk bisa menghindari suatu penyakit.
“Yang oleh karena itu, vaksin juga bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi pandemi Covid-19,” simpulnya.
Perjalanan Riset yang Masih Panjang
Kemudian pemateri kedua, Ahmad Rusydan Utomo, Ph.D., seorang konsultan independen di bidang genetika molekuler. Beliau menjelaskan tentang bisnis dan konspirasi vaksin Covid-19.
“Negara-negara saat ini di dunia sedang berebut stok vaksin. Mereka, khususnya tentu saja adalah negara-negara kaya, sedang berlomba-lomba memesan vaksin tersebut,” ungkap Ahmad.
“Padahal, penelitian untuk membuat vaksin Covid-19 ini perlu waktu lama hingga bisa mencapai uji klinis fase 3. Karena uji klinis fase 3 ini diperlukan untuk melihat bukti proteksi terhadap virus penyebab Covid-19,” jelasnya.
Soal pengujian vaksin Covid-19 ini, para akademisi biasanya sebatas berpikir teknis, yakni masih di fase 1 (aspek keamanan) dan fase 2 (aspek keamanan dan imunogenisitas).
Fase 1 adalah untuk mengetahui tingkat keamanan vaksin ketika disuntikkan kepada manusia, termasuk memperkirakan apakah vaksin tersebut akan menyebabkan kematian atau tidak.
Selanjutnya, fase 2 adalah untuk mengetahui dosis berapa kali suntik hingga tubuh kita mampu menghasilkan antibodi.
“Jadi perjalanan riset mengenai vaksi Covid-19 ini masih sangat panjang sekali untuk sampai pada fase 3 sebagai indikator keberhasilan proteksi dari vaksin tersebut terhadap virus penyebab Covid-19,” lanjutnya.
Dari aspek risiko finansial, untuk mencapai fase 2 saja, diperkirakan akan menghabiskan dana hingga Rp1 triliun. Hal ini menimbulkan pertanyaan, dana sebesar ini siapa yang akan membiayainya dan apakah pemerintah kita mau melakukannya?
Berikutnya, jika terjadi risiko kematian, maka siapa yang bertanggung jawab? Dan jika terjadi risiko gagal uji klinis, misal terjadi borderline yang artinya hasil uji proteksi vaksin tersebut hanya 50% bahkan idealnya hanya 70%, tentu vaksin ini berpotensi tidak diterima atau tidak laku di pasaran.
Kemudian, jika dipertanyakan faktor penyebab mahalnya harga vaksin, menurut Ahmad, maka ada sebuah konsep berpikir ala Barat yang menggejala di kalangan intelektual.
“Yakni meliputi intellectual property, lisensi, dan indirect cost,” tambahnya.
Negara-negara besar seperti Eropa, AS, Jepang, Inggris, dan Brazil sudah memesan vaksin Covid-19 dengan jumlah total sekitar 1 miliar dosis.
Padahal di sisi lain, ada 92 negara berkembang yang mereka ini “memperebutkan” 1 miliar dosis juga. Khususnya di Inggris, sudah memesan 5 dosis untuk per orang.
“Selaku intelektual kita harus mulai berpikir secara overall dan mencoba mencari solusi alternatif agar dapat mengatasi permasalahan pandemi ini secara lebih baik. Karena itu, hendaknya para intelektual tak sekadar berpikir untuk meraih hak kekayaan intelektual ketika terlibat dalam riset vaksin ini,” lanjutnya.
Masalah yang tak kalah urgen untuk diperhatikan, lanjut Ahmad, yakni terkait pembiayaan kesehatan untuk publik agar harga vaksin ini tidak berat membebani ekonomi masyarakat.
“Sebagai komparasi, berdasarkan sejarah, sudah masyhur bahwa pada masa kekhalifahan Islam, pelayanan kesehatan bisa diakses semua lapisan masyarakat. Bahkan pada masa-masa berikutnya, para Khalifah senantiasa memfasilitasi pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Tidak terkecuali dalam hal vaksinasi, yang digratiskan bagi rakyat secara sistematis,” jelasnya.
Vaksin dalam Fikih Islam
Selanjutnya, pemateri ketiga adalah KH Shiddiq Al-Jawi, yang menyampaikan tentang vaksin Covid-19 perspektif fiqih Islam. Beliau memaparkan tiga poin besar, yang terdiri atas hukum syara seputar vaksin, hukum syara seputar politik kesehatan, dan hukum syara seputar pengadaan vaksin dari luar negeri (membeli dari China).
“Hukum vaksinasi secara syara’ adalah sunah (mandub, mustahab) karena mengamalkan hukum asal berobat. Namun ini harus memenuhi dua syarat, yaitu bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis dan vaksinasi yang dilakukan tidak menggunakan bahan yang menimbulkan mudarat,” papar KH Shiddiq.
Namun demikian, lanjutnya, hukum berobat yang asalnya sunah ini bisa berubah menjadi wajib jika seseorang yang memilih tidak berobat dapat terancam jiwanya.
Berikutnya tentang hukum syara’ seputar politik kesehatan, menurut KH Shiddiq, ada tiga macam kebutuhan umat Islam yang harus dijamin secara gratis oleh negara. Yaitu meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
“Untuk perihal kesehatan, haram hukumnya negara menetapkan harga. Karena dalam Islam, pelayanan kesehatan untuk rakyat harus gratis. Namun, jika ada individu yang ingin berobat secara berbayar kepada swasta, maka itu diperbolehkan (tidak dilarang),” tambah KH Shiddiq.
Beliau mengutip sabda Rasulullah Saw., yang artinya: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
“Maka, berdasarkan politik kesehatan dalam syariah Islam ini, rencana pemerintah untuk menjual vaksin kepada masyarakat, maka itu jelas-jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam,” ungkap KH Shiddiq.
Kemudian tentang hukum syariat seputar pengadaan vaksin dari luar negeri yang dibeli dari Cina, kata KH Shiddiq, maka harus dipahami fakta Cina adalah negara kafir harbi secara de facto. Cina, lanjut KH Shiddiq, terbukti menyiksa dan membunuh umat Islam etnis Uighur.
“Karena itu, diharamkan umat Islam untuk bermuamalah dengan negara kafir harbi fi’lan. Jika pun untuk urusan vaksin memang hendak impor, maka lihatlah dulu negara mana selaku produsen yang diajak bermuamalah dalam rangka penyediaan vaksin impor tersebut,” tegas KH Shiddiq.
Wajib Memiliki Cara Pandang Sistem Politik Kesehatan
Sebagai pungkasan webinar, kesimpulan yang diperoleh dari webinar ini adalah bahwa sebagai orang berilmu, para intelektual seyogianya memiliki ruang berpikir lain di samping keilmuannya perihal vaksin Covid-19 ini.
Yakni harus memiliki cara pandang mengenai sistem politik kesehatan yang menjadi aspek paling urgen dalam penanganan pandemi Covid-19.
Intelektual harus mampu mengedukasi masyarakat pada masa pandemi ini. Intelektual harus menggunakan keilmuan sainsnya dan mengajak masyarakat untuk mengaitkan sains tersebut dengan konsep ikhtiar dan tawakkal kepada Allah.
Dan andaikata pemerintah mewajibkan rakyat menggunakan vaksin dari Cina dan vaksin tersebut berbayar, maka kebijakan tersebut tidak wajib ditaati. Melainkan, hanya sebatas boleh ditaati.
Karena ketundukan publik pada kebijakaan ini, bukan sekup ketaatan kepada ulil amri, yang seringkali menjadi dalih “wajib”-nya ketaatan rakyat kepada rezim.
Masalahnya, rezim saat ini bukanlah penguasa muslim yang menerapkan syariat Islam, sebagaimana makna syar’i ulil amri. Sebagaimana penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Nizhomul Hukmi fil Islam.
Jadi jelas, rezim saat ini tidak memenuhi definisi ulil amri. Karena itu, andaikata vaksin Covid-19 diwajibkan kepada seluruh rakyat Indonesia, maka kebijakan ini tidak wajib ditaati. Dan jika tidak menaatinya, maka umat Islam tidak berdosa.
Kecuali memang ada risiko kematian sehingga mengharuskan seorang individu muslim tetap menjalani vaksinasi meski rezimnya bukanlah ulil amri, maka hukum menjalani vaksinasi tersebut menjadi wajib bagi dirinya. [MNews|Ndr]
MasyaAllah
Dengan khilafah pandemi tdk akan selama ini
MashaAllah…
Allahu Akbar
Saatnya Khilafah mengurusi kesehatan masyarakat dunia